Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Estetika Budaya Jawa

 

Estetika Budaya Jawa
credit:instagram@bumijawa_

Mengkaji realitas pada hakekatnya adalah mempertanyakan eksistensi dan sejarah, keberadaan setiap kejatidirian selalu mengusung masa lalu, didalamnya termuat hal ikhwal yang kompleks, termasuk bagaimana pikiran kita memahami sebuah “dunia”.

Para ahli fenomenologi percaya bahwa “dunia” diciptakan oleh pikiran manusia itu sendiri, karena dengan pikiran itulah manusia mengenal pribadinya dan sekaligus ketahanan hidupnya. Pandangan ini bersandar pada logika yang positif, yaitu mengakui tentang realitas yang realitsik, yaitu sesuatu yang mampu dijangkau dan diperbincangkan untuk selalu diperdebatkan.

Obah Tapi Gak Owah (berubah tetapi tidak terubah), ini jelas tidak hendak membicarakan “realitas yang realitsik”, tetapi bukan berarti mengarah pada perbincangan yang “realitas yang non realistik”. Artinya hal ini mengarah pada sebuah pemahaman yang bersifat “transcendental”, artinya Obah Tapi Gak Owah itu adalah sebuah nilai tentang “kehakikian”

Dalam pemikiran religius disebut “ke-Esa-an” dalam pemikiran ke-Jawa-an disebut “tan kinaya ngapa” artinya “jangan ditanyakan seperti apa”, dalam simbol seni Jawa dikenal “mandala”, dalam pengertian yang harfiah “mandala” adalah “areal”, tetapi dalam pemikiran filosofis “mandala” adalah ruang yang tidak nyata, tetapi ada.

Dimaknai ”ada”, karena memiliki sumber energi yang mampu menggerakkan kesemestaan. Termasuk hakekat ”owah – gingsir”, (berubah dan berpindah) adalah sebuah realitas yang realistik, bahkan menjadi hukum alam atau kodrat sesuatu yang berwujud. 

Maka semua yang ada di Bumi ini bersandar pada hukum tersebut. Maka para pemikir religius selalu menyatakan bahwa sesuatu yang abadi itu adalah ”perubahan” itu sendiri.

Penulis menyadari, bahwa tema yang diusung pada diskusi ini bukan berarti menolak pada hukum ”owah – gingsir”, tetapi sebuah pemikiran yang mencoba untuk menolak dinamika kehidupan yang meninggalkan ”ke-jati-diri-an”, maka obah ya obah o, ning aja nganti owah. Ini adalah sebuah pandangan ”paradoksal” yang umum dalam pemikiran Jawa.

PARADOKSAL

Estetika Budaya Jawa

Paradoksal yang menjiwai ”dunia Jawa” menjadi pola pikir yang selalu muncul ketika sesuatu yang bersifat kehakikian tidak dapat didiskripisikan (dijelaskan) atau tidak dapat dijangkau oleh sebuah pokabuler kata-kata Jawa. 

Ketidak terjangkauan ini disebabkan ada yang disebut ”wadi”; sesuatu yang tersembunyi, tidak dapat diceritakan secara fulgar. Tetapi ”sinengker” (disimpan dengan rapat).

Sistem pola pikir Jawa tersebut adalah menjadi sumber potensial dalam pemburuan makna yang berkaitan dengan keberadaan sesuatu yang bersifat non realitas, yaitu ”kehakikian”. Kehakikian dalam pemikiran Jawa adalah ”obah” atau ”gerak”. 

Apa yang menyebabkan ”obah” orang Jawa selalu menjawab ”karep” (keinginan atau kehendak) yang bersandar pada ”ambisi” akan mengakibatkan ”owah” (berubah). Tetapi hukum ”owah – gingsir” bukan ”Karep” tetapi alamiah. 

Perhatikan segala sesuatu yang tumbuh, apakah ada orang yang benar-benar mengetahui; kapan tanaman tumbuh besar. Tetapi ketika tanaman tidak berubah maka tanaman itu dapat dipastikan ”mati”. Tetapi tanaman yang mati juga disebut ”owah”, karena kemarin hidup, tetapi sekarang mati.

Pemikiran yang selalu berkecamuk dalam diri orang Jawa selalu mencarian hal-hal yang bersifat menjauhi realitas, yaitu pada aspek transendental, sebab realitas hadir selalu dipahami sebagai ”pakartine pancadriya” atau dikenal dalam bahasa arab disebut ”nafsu”. Bahkan ”pakartine pancadriya” yang mawujud sebagai realitas kognitif sebagai 4 anasir.

1. Arah Penjuru (Kiblat)

Timur (etan), Barat (kulon), Selatan (kidul), Utara (lor)

2. Simbol Warna

Putih, Kuning, Merah, Hijau

3. Nama Nafsu Manusia

Mutmainah, Supiah, Amarah, Aluamah

4. Pancadriya

Hidung, Mata, Telinga, Mulut

5. Nafsu

Kebaikan, Kesombongan, Amarah, Serakah

Fenomana ”pakartine pancadriya” menunjukan dorongan naluriah manusia yang tidak dapat dibendung, yaitu disebut sebagai ”karep” atau keinginan. Inilah yang ditakutkan oleh sebagaian orang Jawa yang bertolak pada aspek historical. Pekerjaan pancaindra benar-benar memberikan tantangan yang menyebabkan sesuatu yang ”owah” atau berubah.

Pemikiran Jawa meyakini realitas kognitif ”pakartine pancadriya”, tetapi dilain pihak jalan pembebasan atau upaya keras mengeliminir relitas tersebut dengan jalan ”Tapa” , ”Semedi”, ”Nyepi” yang artinya ”diam”, diam itu adalah ”ora obah”, dan laku-laku yang lain agar semua ”pakartine pancadriya” tersebut tidak menjadi ”karep” atau ”keinginan”.

Skema pemikiran Jawa yang bersifat paradoksal memungkinkan semua orang mampu mencapai sebuah tataran yang disebut ”wicaksana”; posisi atau status sifat tersebut diposisikan sebagai ”dalang sejati” atau ”sejatining dalang”. 

Kata ”dalang” dalam pemikiran ini bukan dalang sebagai ”artis” atau ”seniman” pencerita wayang. Tetapi ”dalang’ yang dimaksud adalah sifat hidup yang transendental, sehingga dalam aliran keyakinan Jawa memunculkan pemikiran istilah ”Kawula-Gusti”. 

Sebuah padu padan yang bersifat transendental dan sekalukis bersifat imanensi. Tataran ini menunjukan sebuah kepasrahan dan sekaligus penyerahan jatidiri human ke jatidiri supra human. 

Kepasrahan dengan dasar tanpa pamrih adalah sebuah jalan ”datang dan sekaligus kembali”; artinya kehadiran atau kesadaran ”ada” bukan karena keinginan ada, tetapi ”ada” adalah sebuah kenyataan ”tiada”. Semua yang ada sebenarnya ”tiada” karena tidak pernah menghasilkan apa-apa.

Semua kesibukan dunia ini adalah ’selimuran” atau dengan istilah tertentu disebut sebagai ”dinamika semu”. Tetapi pikiran mendorong sebuah keyakinan Jawa yang telah mencapai sebuah titik kesadaran supra human tersebut selalu dipengaruhi oleh realitas yang riel. 

Bahwa kehidupan ini membutuhkan piranti hidup menunju ke arah kasampurnan; dengan cara ”polah” yaitu sebuah daya upaya mengatasi berbagai kesulitan menuju ke-tiada-an. Maka keyakinan tertentu menyebut bahwa hidup ini adalah ”ilusi” (bayangan), maka yang mencapai kebijakan akan melihat ”kasunyatan”.

OBAH TAPI GAK OWAH itu sebenarnya apakah sebuah ”polah” atau ”kasunyatan”, keduanya tidak dapat ajukan sebagai pilihan, tetapi dengan melakukan introspeksi yang bersifat tansendensi dimungkinkan dapat menjawab paradoksal Jawa yang diajukan dalam pembahasan kali ini.

 Demikianlah ulasan terkait dengan Estetika Budaya Jawa. Semoga dapat menambah wawasan Anda.

Posting Komentar untuk " Estetika Budaya Jawa"