Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengenal Mantra sebagai Sastra Lama

Mengenal Mantra sebagai Sastra Lama

Sastra lama merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia. Nilai-nilai budaya dan sastra tersebut diciptakan dan diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang kita hingga sekarang.

Pada saat zaman belum mengenal tulisan, belum mengenal produk teknologi yang dapat memudahkan penyebaran ilmu pengetahuan maupun kepercayaan masyarakat pasa masa lampau, mulutlah yang menjadi media dan memiliki peran penting dalam penyebaran ilmu pengetahuan atau kepercayaan. Begitupun dalam sastra lama yang penyebarannya menggunakan mulut atau lisan.

Daya simak leluhur kita sangat, kuat hingga kita pun sebagai penerusnya masih dapat pula mengetahui bentuk-bentuk kepercayaan dan pengetahuan yang disampaikan secara lisan. Berbagai hal dalam kehidupan disampaikan secara lisan. 

Mulai dari pembelajaran bahasa, sastra, kepercayaan, pengetahuan, hingga bentuk-bentuk budaya. Itu semua, akhirnya menjadi bukti kekayaan budaya sekaligus intelektual suatu masyarakat.

Pembagian Sastra Lama

Sastra lama dibagi dalam tiga ragam besar, yakni puisi rakyat, cerita rakyat, dan teater rakyat. Puisi rakyat termasuk di dalamnya syair, pantun, gurindam, karmina, dan mantra. Cerita rakyat termasuk di dalamnya mite, legenda, dan dongeng. 

Sementara teater rakyat adalah bentuk tontonan tradisional yang menggunakan bahasa sebagai media penyampaian pesan. Misalnya lenong di Betawi, randai di Sumatra Barat, dan longser di Jawa Barat.

Sastra lama selalu dikaitkan dengan fenomena atau gejala alam yang terjadi ketika itu. Sastra lama yang berbentuk puisi lama, yakni mantra selalu dikaitkan dengan persoalan magis. 

Mantra masuk ke dalam penggolongan sastra ini, karena dapat diteliti dari segi estetika bahasanya yang tampak di rima. Itu sebabnya mantra dipelajari dalam ilmu sastra, bukan dikaji dari segi unsur magisnya. Meski hal tersebut tidak dapat dipisahkan.

Sastra lama memiliki beberapa ciri, yaitu bersifat anonim (penciptanya tidak diketahui), memiliki kegunaan kolektif, terdiri dari banyak versi, menggunakan kata-kata klise atau rumus berpola (seperti penggunaan kata konon), bersifat pralogis (tidak sesuai dengan penalaran atau logika), bersifat tradisional, penyebarannya secara lisan, menjadi milik bersama, dan cenderung lugu, polos, serta spontan. 

Sementara fungsi sastra lama, yaitu sebagai sistem proyeksi, sebagai pengesahan lembaga kebudayaan masyarakat, sebagai alat pendidikan bagi anak, dan sebagai alat kontrol atas norma yang ada dan berkembang di masyarakat.

Kepercayaan atau pengetahuan dari segi pengobatan yang berupa kata-kata dan dipercaya memiliki khasiat untuk menyembuhkan orang sakit, seperti mantra, memiliki banyak fungsi. Mantra merupakan ucapan yang mengandung kepercayaan gaib sebagai media pertolongan untuk menyembuhkan atau mencelakakan.

Dalam penggolongan sastra lama, mantra termasuk ke dalam mantra atau disebut juga dengan istilah mantra. Dalam sastra daerah, terdapat banyak istilah untuk merujuk pada hal yang berhubungan dengan magis. 

Istilah tersebut digunakan sesuai fungsinya, misalnya saja mantra untuk mengobati; rajah untuk mengucap syukur atau meminta sesuatu, juga digunakan sebagai pembuka, pelet untuk menarik seseorang agar terpikat, asihan sebagai daya tarik, santet untuk mencelakakan orang, jangjawokan sebagai doa peminta sesuatu. Dalam penggolongan sastra lama Indonesia, berbagai istilah itu disebut dengan mantra. 

Contoh Sastra Lama Mantra

Sastra lama berkembang secara turun temurun dan melalui proses pelisanan. Sastra berupa mantra masih dipercayai dan dipelihara oleh beberapa orang di kalangan masyarakat. Mantra umumnya tidak disebarkan secara bebas. 

Biasanya, mantra diturunkan atau diwariskan secara turun temurun atau diwariskan pada orang terpilih. Pada orang terpilih ini biasanya ditandai dengan firasat tertentu, atau merasa mendapat wangsit untuk mewariskannya pada orang lain. 

Zaman dahulu, proses penciptaan mantra bersifat spontan, polos, dan menuruti firasat tertentu yang dirasakan oleh dukun/pawang. Teks mantra merupakan teks turun temurun dan tidak diketahui lagi siapa penciptanya. Sesuai dengan ciri sastra lisan, yakni bersifat anonim (tidak diketahui siapa pengarangnya).

Itu sebabnya, teks mantra sudah menjadi milik bersama dari kolektif masyarakat tertentu. Teks mantra memiliki kegunaan kolektif dalam hidup bersama yaitu sebagai media menyembuhkan orang sakit, selain mempunyai kegunaan kolektif lainnya, sebagai alat didik kepada anak (dalam hal pewarisan ilmu). 

Berikut ini merupakan contoh dari teks mantra yang berkembang di daerah Jawa Barat:

Cakakak di leuweung: Tertawa di hutan

Injuk talina: Injuk pengikatnya

Dihakan dibeuweung: Dikunyah

Hitut jadina: Kentut hasilnya

Plong blos plong blong: Plong blos plong blong

Teks sastra lama tersebut terdiri atas lima larik. Kelima larik tersebut dikategorikan fungsi tiap lariknya sebagai satu kalimat. Jadi teks tersebut terdiri atas lima kalimat. Jika dianalisis, larik pertama terdiri atas satu klausa dan satu frase. 

Menurut Ramlan (1982: 62), klausa adalah satuan gramatik yang terdiri atas (S) P (O) (PEL) (KET). Tanda kurung menandakan, apa yang terletak dalam kurung bersifat mana suka, artinya boleh ada atau tidak. 

Cakakak di leuweung merupakan klausa yang memiliki fungsi S, P, dan O. Kata cakakak sebagai predikat (P) yang tergolong ke dalam kategori verba (V), dan memiliki peran kata sebagai tindakan.

Di leuweung merupakan frase eksosentrik. Frase eksosentrik adalah frase yang tidak memiliki distribusi yang sama dengan semua unsurnya. Di leuweung menempati fungsi keterangan (K) yang tergolong ke dalam kategori nomina (N). Peran kata di leuweung adalah sebagai tempat.

Larik kedua merupakan sebuah frase yang isinya menyatakan injuksebagai pengikatnya. Injuk talina memiliki fungsi keterangan (K) yang tergolong ke dalam kategori nomina (N). Dapat dikatakan, kedua larik tersebut (larik pertama dan kedua) termasuk ke dalam formula jenis kalimat. 

Hal tersebut disebabkan tiap-tiap kata pada larik tersebut memiliki fungsi, kategori, dan peran yang sama dalam kalimat.    

Larik ketiga termasuk ke dalam kalimat berita. Dihakan dibeuweungmerupakan frase endosentris. Frase endosentris ialah frase yang memiliki distribusi yang sama dengan semua unsurnya. Dihakan dibeuweung yang artinya "dikunyah" menduduki fungsi predikat (P). 

Larik keempat termasuk frase yang isinya menyatakan "kentut hasilnya".Hitut jadina menduduki fungsi keterangan (K) dengan kategori nomina (N). Larik kelima merupakan kalimat frase endosentris. 

Plong blos merupakan frase yang menduduki fungsi keterangan (K) dengan kategori nomina (N).Plong blos plong blong tidak diartikan secara harfiah, sebab frase tersebut dimaksudkan sebagai penegas.

Pilihan kata dalam teks mantra tersebut termasuk ke dalam bahasa yang arkaik, yaitu bahasa yang lazim digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Hal tersebut terlihat pada kata cakakak, dihakan, dan dibeuweung. 

Bahasa yang terdapat dalam mantra terkesan kasar. Namun, hal tersebut sesuai dengan salah satu ciri sastra lisan, yakni cenderung lugu, polos, dan spontan. Kespontanan dan kepolosannya tersebut yang menyebabkan terkesan kasar.

Dalam penggunaan diksi, terdapat pararelisme. Pararelisme menurut Keraf (dalam Rohaeni, 2006: 30) adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa, yang menduduki fungsi sama dalam bentuk gramatikal yang sama. 

Menurut Van Luxemburg (dalam Badrun 2003: 35), pararelisme sering disertai dengan pengulangan kata, frasa, atau konstruksi gramatikal yang sama. Pararelisme terdapat pada kata plong blos plong blong.

Mantra tersebut digunakan untuk menyembuhkan perut kembung. Caranya, dibaca sambil mengoleskan daun eurih (alang-alang). 

Fungsi mantra tersebut untuk mengobati perut kembung. Hal tersebut sesuai dengan satu fungsi yang terdapat pada sastra lama, khususnya sastra lisan, yakni memiliki fungsi sebagai sistem proyeksi. Artinya sebagai bentuk/ungkapan keinginan, khayalan/fantasi, atau cita-cita.

Keinginan agar kata-kata yang diucapkan menjadi kenyataan, agar kata-kata tersebut dapat menjadi pengobat rasa sakit. Hal tersebut menunjukkan bahwa mantra acapkali berlaku jujur dalam menunjukkan proyeksi emosi penciptanya atau suatu masyarakat. 

Fungsi lain dari mantra yakni sebagai alat pendidikan. Mantra tersebut dipercaya memiliki khasiat dapat menyembuhkan perut kembung. Melalui cara penyebaran mulut ke mulut inilah, terjadi proses edukasi pada generasi selanjutnya. 

Generasi yang diwariskan ilmu mantra mendapat pembelajaran mengenai sikap apa yang mesti dilakukan dalam menghadapi sebuah situasi, misalnya mengobati orang sakit. Fungsi pendidikan dari mantra tersebut ialah sebagai alat pengobatan.

Itulah sekelumit pembahasan mengenai sastra lama, terutama mantra. Semoga bisa menambah pengetahuan tentang kekayaan budaya kita, khususnya sastra.

Posting Komentar untuk " Mengenal Mantra sebagai Sastra Lama"