Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Globalisasi Budaya Tontonan

pertunjukan-ballet

Ilmu pengetahuan yang semakin lama semakin berkembang telah membawa manusia menjadi makhluk yang melulu instrumental. Salah satu bagian dari instrumen tersebut adalah terciptanya budaya tontonan secara global, atau dengan kata lain globalisasi budaya tontonan. 

Mazhab Frankfurt adalah kelompok pertama yang membidani penelaahan terhadap rasio manusia yang instrumental tersebut. Di tangan Max Horkheimer dan Theodor Adorno, ilmu pengetahuan dikembalikan lagi pada fungsi yang mereka inginkan, sebagai jalan menuju pencarian hakikat. 

Mereka tidak menginginkan ilmu hanya sekedar menjadi alat untuk pemuasan hasrat manusia. Entah itu hasrat untuk mempertahankan diri atau pun hasrat eksploitasi.

Teknologi yang telah diciptakan manusia cenderung hanya sekadar menjadi alat ketika ilmu pengetahuan sudah dipisahkan dari nilai-nilai. Sering kita mendengar tentang apakah ilmu itu terikat nilai atau terbebas dari nilai. Mazhab Frankfurt memosisikan dan mengusahakan sekuat mungkin agar ilmu itu tetap terikat pada suatu nilai.

Kita tidak dapat mengatakan bahwa senjata, nuklir, atau televisi bebas nilai, karena kita segera akan mengetahui bahwa teknologi merupakan realitas yang pada akhirnya co-existence. Ia memiliki eksistensi sendiri diluar kuasa manusia. Ia membawa suasana lain atau suasana baru ketika berhadapan dengan manusia.

Tontonan

pertunjukan-opera

Tidak jauh berbeda dengan mazhab Frankfurt di Jerman, di Prancis ada seorang pemikir Marxis bernama Guy Debord yang mencurahkan perhatiannya pada perkembangan teknologi dan kapitalisme. Dalam karyanya, The Society of Spectacle, Debord menjelaskan apa yang disebut dengan globalisasi budaya tontonan.

Untuk memahami pemikiran Debord mengenai budaya tontonan, ilustrasi mengenai teater sangat baik untuk menjelaskannya. Banyak pula pihak yang mengatakan bahwa karya Debord tersebut terinspirasi dari karya Sastra berjudul Theatre of Spectacle.

Ketika Anda melihat sebuah panggung pertunjukan teater atau menyaksikan film di bioskop, Anda akan terbawa dalam dunia tontonan yang ditampilkan oleh teater tersebut. Anda akan ikut sedih, senang, haru, atau kesal sesuai ritme dan alur yang dimainkan oleh para artis teater. Saking terbawanya Anda ke dalam cerita tersebut, Anda seolah-olah masuk dalam realitas baru.

Di sini, Anda berada dalam realitas yang dualis. Satu sisi Anda berada dalam realitas riil keseharian Anda, dan di sisi lain Anda juga berada dalam realitas tontonan yang diciptakan sang sutradara. 

Teater dan tontonan yang ada dalam globalisasi budaya ini tidak hanya sekedar kumpulan dari gambar-gambar maupun adegan-adegan. Ia merupakan realitas yang hidup berdampingan dengan diri Anda.

Beberapa yang termasuk dalam globalisasi budaya tontonan di antaranya adalah kapitalisme, fetisisme komoditi, periklanan, maupun budaya konsumtif.

Kapitalisme

Budaya tontonan menyisakan suatu problem, yakni ketimpangan dan keanehan. Sebagai budaya tontonan, kapitalisme menunjukkan adanya jurang perbedaan yang semakin lama semakin melebar.

Tengok saja di sekeliling kehidupan Anda. Sebagian orang sulit mencari uang, namun sebagian lagi dengan mudahnya menghambur-hamburkan uang. 

Sebagian orang hidup dalam kemiskinan yang sangat, dan sebagian lagi hidup dalam kemewahan serta kekayaan yang luar biasa. Ada orang yang dengan mudahnya setiap saat mengganti mobil mereka, ada pula yang susah barang untuk mencari makan.

Sebagai realitas tontonan, kapitalisme tumbuh dengan hukumnya sendiri. Kita berada dalam realitas yang berbeda dengan apa yang berkembang secara global. Begitu pula dengan periklanan. Setiap hari kita disuguhi oleh iklan seolah masyarakat memiliki daya beli yang sangat tinggi.

Semua budaya tontonan yang ada dalam masyarakat global ini menurut Debord tidak lain muncul dan diciptakan oleh kapitalisme. Jadi dalam hal ini, semangat kapital bergerak sebagai sutradara, dan para pemilik modal bermain sebagai aktor dalam tontonan tersebut.

Posting Komentar untuk " Globalisasi Budaya Tontonan"