Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengenal Kebudayaan Batak Toba Sumatra Utara


Kebudayaan Batak Toba Sumatra Utara

Kebudayaan suku Batak yang berada di wilayah provinsi Sumatra Utara terdiri dari beberapa macam. Salah satu dari kebudayaan tersebut adalah kebudayaan suku Batak Toba yang berada di sekitar wilayah Danu Toba. 

Kebudayaan suku Batak Toba memiliki sejumlah keunikan tersendiri yang merupakan ciri khas dari mereka. Setidaknya terdapat sekitar 9 nilai-nilai budaya suku Batak Toba yang kita ketahui, diantaranya sebagai berikut :

1. Nilai Kekerabatan

Nilai kekerabatan adalah sebuah nilai yang mencakup hubungan premordial suku Batak, kasih sayang atas dasar hubungan darah, kerukunan unsur-unsur Dalihan Na Tolu ( Hula-hula, Dongan Tubu, Boru), Pisang Raut (Anak Boru dari Anak Boru), Hatobangon (Cendikiawan) dan segala hal yang berkaitan atau berhubungan dengan kekerabatan sebagai akibat dari terjadinya pernikahan, solidaritas marga dan sebagainya.

2. Nilai Religi

Nilai religi adalah nilai yang mencakup kehidupan rohani dan keagamaan, baik itu agama tradisional (warisan dari nenek moyang atau leluhur) maupun agama yang datang kemudian, yang mengatur tata cara berhubungan dengan Tuhan  serta tata cara berhubungan dengan sesama manusia dan lingkungan hidupnya.

3. Nilai Hagabeon

Orang Batak memiliki prinsip bahwa banyak keturunan dan panjang umur, oleh karena itu saat upacara pernikahan terdapat sebuah ungkapan yang mengharapkan agar kelak pengantin baru tersebut dikaruniai putra 17 dan putri 16. 

Suku Batak berprinsip bahwa Sumber daya manusia merupakan sebuah hal yang sangat penting. Kekuatan yang tangguh hanya dapat dibangun dalam jumlah manusia dan keturunan  yang banyak. 

Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan sejarah suku bangsa Batak yang ditakdirkan memiliki budaya bersaing yang sangat tinggi. Nilai Hagabeon berakar, dari budaya bersaing pada masa lalu yang tercatat dalam sejarah, terwujud dalam perang huta. Dalam perang tradisional ini kekuatan bertumpu pada jumlah tentara yang banyak. 

Sementara itu tentang ungkapan panjang umur dalam konsep hagabeon disebut SAUR MATUA BULUNG (artinya seperti daun yang gugur setelah tua). 

Dapat dibayangkan betapa besar pertambahan jumlah tenaga manusia yang diharapkan oleh orang Batak, karena selain setiap keluarga diharapkan melahirkan putera-puteri sebanyak 33 orang, juga semuanya diharapkan berumur panjang.

4. Nilai Hasangapon

Nilai ini mencakup kemuliaan, kewibawaan, kharisma, dimana itu merupakan sebuah nilai utama yang bisa memberi dorongan kuat untuk meraih kejayaan. 

Nilai tersebut memberi dorongan yang kuat, terlebih kepada orang Batak Toba supaya di zaman modern seperti sekarang ini berusaha untuk meraih jabatan dan pangkat yang memberikan kemuliaan, kewibawaan, kharisma dan kekuasaan.

5. Nilai Hamoraon

Menjadi Kaya raya, adalah salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak, khususnya orang Batak Toba, untuk mencari harta benda dalam jumlah yang banyak.

6. Nilai Hamajuon

Yakni Kemajuan, yang bisa diraih melalui cara merantau dan menuntut ilmu. Nilai budaya hamajuon ini sangat kuat sehingga mendorong orang Batak untuk bermigrasi keseluruh pelosok tanah air. Pada masa lalu, Sumatra Timur di pandang sebagai daerah perantauan oleh orang Batak. 

Tetapi sejalan dengan dinamika orang Batak, tujuan migrasi mereka telah semakin meluas ke seluruh pelosok tanah air untuk memelihara atau meningkatkan daya saing mereka.

7. Nilai Hukum

Patik dohot uhum (aturan dan hukum) adalah merupakan sebuah nilai yang kuat di sosialisasikan oleh orang Batak. Budaya untuk menegakkan kebenaran, berkecimpung dalam dunia hukum merupakan cita - cita  orang Batak. 

Nilai ini mungkin lahir dari tingginya frekuensi pelanggaran hak asasi dalam perjalanan hidup orang Batak pada masa lalu, sehingga secara turun temurun mereka sangat mahir dalam berbicara dan berjuang dalam memperjuangkan hak-hak asasi mereka. 

Hal ini tentu selaras dengan realitas yang ada sekarang ini dimana pada lembaga - lembaga peradilan dan kejaksaan banyak sekali orang Batak yang berkecimpung di dalamnya, apakah menjadi seorang pembela, pengacara, jaksa ataupun hakim.

8. Nilai Pengayoman

Dalam kehidupan sosiologi  dan kultural orang Batak kurang kuat dibandingkan dengan nilai-nilai yang lainnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh kemandirian yang berkadar tinggi. Kehadiran pengayom, pelindung, dan pemberi kesejahteraan hanya diperlukan dalam keadaan yang sangat mendesak.

9. Konflik

Dalam kehidupan orang Batak Toba kadarnya lebih tinggi dibandingkan dengan yang ada di wilayah Angkola-Mandailing. Hal ini dapat dipahami dari perbedaan mentalitas kedua suku Batak ini. 

Sumber konflik terutama adalah kehidupan kekerabatan dalam kehidupan Angkola-Mandailing. Sedang pada orang Toba lebih luas lagi karena menyangkut perjuangan meraih hasil nilai budaya lainnya, contohnya  Hamoraon yang mau tidak mau merupakan sumber konflik yang abadi bagi orang Toba.

Jika kita coba telisik dari sembilan nilai - nilai orang Batak Toba tersebut terdapat nilai kekerabatan yang bisa di gambarkan sebagai berikut :

a. Somba Marhula-hula, Hula-hula artinya saudara laki-laki dari isteri atau pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam adat-istiadat suku Batak Toba sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hula-hula yang diistilahkan dengan somba marhula-hula. 

Sikap somba (hormat) yang diberikan kepada hula-hula (pemberi gadis) didasarkan kepada sebuah pemikiran bahwa putri hula-hula adalah ibu yang melahirkan keturunan yang disebut hagabeon (atau keturunan) dalam bahasa Batak. 

Karena hula-hula telah dianggap sebagai sumber hagabeon (keturunan yang banyak) yang akan meneruskan garis keturunan mereka, maka sikap hormat kepada hula-hula mutlak harus dilakukan.

b. Elek Marboru Boru, diartikan sebagai saudara perempuan atau saudara perempuan yang diperisterikan oleh pihak keluarga dari marga yang lain. Boru menempati posisi paling rendah dan sering disebut sebagai ‘parhobas’ atau pelayan dalam acara adat. 

Walaupun demikian bukan berarti Boru dapat diperlakukan dengan semena-mena. Pihak boru ini sangat dibutuhkan dalam suatu acara adat karena tanpa adanya pihak boru maka acara adat tidak akan lengkap. Oleh karena itu maka Boru ini harus diambil hatinya, dibujuk sehingga diistilahkan dengan elek marboru.

c. Manat Mardongan Tubu, Dongan tubu artinya dalam bahasa Batak adalah saudara laki-laki satu marga. Secara harfiah hal itu diartikan sebagai saudara yang lahir dari perut yang sama. Dongan tubu diibaratkan seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, sehingga saking dekatnya kadang kala terjadi pertikaian. 

Namun, pertikaian tersebut tidak lantas membuat hubungan satu marga dapat dipisahkan. Namun demikian kepada semua orang Batak diwajibkan untuk bersikap bijaksana kepada saudara semarga sehingga diistilahkan dengan manat mardongan tubu.

Budaya Suku Batak

Kebudayaan Batak Toba Sumatra Utara

Menurut sejarawan Batak, Harahap dalam Bungaran Antonious, menjelaskan bahwa tempat asal orang Batak ada dua, yaitu :

1. Dari wilayah utara Utara (namun Harahap tidak menjelaskan dari sebelah utara mana), kemudian pindah ke Filipina, lalu dari Filipina pindah ke daerah Selatan, yakni Sulawesi bagian selatan yang kemudian menurunkan orang Bugis dan Makassar. 

Kemudian bersama dengan  angin timur berlayar ke wilayah barat hingga sampai ke Lampung, kemudian melalui pantai barat pulau Sumatera mendarat di Barus. Dan dari sana kemudian naik ke Pulau Samosir di Danau Toba.

2. Berasal dari India (Hindia muka) lalu ke Burma, kemudian ke tanah genting kera di bagian utara Malaysia, kemudian terus berlayar ke barat hingga tiba di pulau Sumatera. Kemudian melalui Tanjung Balai atau Batu Bara atau Pangkalan Berandan, lalu ke Kuala Simpang dan naik ke Danau Toba.

Menurut Harahap, tentang dari mana asal usul orang Batak, bagaimana mereka sampai disana, dianggap sebagai sebuah spekulasi yang mungkin benar, tetapi mungkin juga salah. Masyarakat. 

Suku Batak Toba sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia memiliki tatanan sosial kemasyarakatan yang disebut dengan nama Dalihan Na Tolu. Pengaruh dan cengkeramannya sudah sedemikian kuat sehingga tidak salah jika menyebutkan orang Batak sebagai masyarakat Dalihan Na Tolu. 

Apa arti Dalihan Na Tolu? Dahlian Na Tolu bermakna tungku berkaki tiga. Ketiga kaki tungku tersebut melambangkan pengakuan atas adanya pembagian masyarakat Batak dalam tiga kelompok utama. Pembagian inilah yang kemudian menjadi struktur kemasyarakatan bagi orang Batak Toba. 

Dongan Sabutuha, yakni orang-orang yang berasal dari satu marga seperti marga Sitorus, Nainggolan, Sinaga, Situmorang dan sebagainya. Karena sebuah pernikahan yang di lakukan antara sesama marga dilarang dan dianggap tabu (incest), maka pernikahan antar marga merupakan perilaku yang diterima sebagai sebuah kelaziman. 

Sebagai akibat dari pernikahan antar marga tersebut, maka timbulah secara bersamaan kelompok Hula-hula, yakni marga asal isteri dan Boru marga asal suami.

Tanpa adanya pernikahan antar marga, maka Hula-hula dan Boru tidak akan pernah ada. Dengan munculnya kelompok tersebut, maka terciptalah sebuah struktur sosial masyarakat Batak yang baku, dimana ketiga kelompok tersebut bergerak, berhubungan selaras, seimbang dan teguh dalam suatu tatanan masyarakat. 

Ketiga kelompok tersebut selalu berinteraksi antara satu dengan lainnya. Selain struktur sosial, pengelompokan tersebut juga menetapkan fungsi sosial dari setiap kelompok yang ada.

Ada tiga fungsi sosial dalam suku Batak, yaitu fungsi sosial sebagai Dongan Sabutuha, fungsi sosial sebagai Hula-hula, dan fungsi sosial sebagai Boru. Ketiga fungsi tersebut terus berinteraksi kedalam dan keluar kelompok sehingga Dalihan Na Tolu tersebut dikategorikan sebagai sistem sosial masyarakat yang sempurna.

Terkadang dalam perjalanannya, diantara ketiga kelompok tersebut terjadi sebuah konflik sehingga memerlukan orang ketiga sebagai juru damai atau mediator. Umumnya mediator dipilih dari penatua marga tetangga dari luar kelompok yang bersangkutan. Mediator inilah yang disebut dengan Sihal-sihal atau batu penyela. 

Dalihan Na Tolu tidak hanya berperan dalam menetapkan struktur sosial dan fungsi sosial masyarakat Batak, akan  tetapi berperan  juga dalam menetapkan sikap dan perilaku yang patut ditampilkan oleh setiap kelompok yang ada. 

Manat atau berhati-hati merupakan sikap terhadap Dongan Sabutuha. Somba atau hormat merupakan sikap yang patut ditampilkan terhadap Hula-hula dan Elek atau lemah lembut merupakan sikap yang patut ditampilkan terhadap Boru. 

Penjabaran dan pelaksanaan dari  ketiga sikap tersebut telah dituangkan dalam Partuturan atau Sistem kekerabatan orang Batak. 

Partuturan telah menggariskan identifikasi seseorang berdasarkan kepada  fungsinya serta menetapkan kata panggilan kekerabatan yang akan dipakai. Kemudian sistem kekerabatan tersebut juga akan menetapkan jenjang dan tata sopan santun dalam hubungan kekerabatan  masyarakat suku Batak.

Perkawinan Suku Batak

Perkawinan dalam adat suku Batak adalah perkawinan yang dilaksanakan dengan orang yang bersal dari luar marganya sendiri. Artinya, sistem eksogami, yaitu patrilokal dengan pengecualian khusus, misalnya adanya uksorilokal. 

Perkawinan dalam satu marga adalah hal yang tabu dan sangat terlarang bagi orang Batak. Sistem perkawinan ideal yang dilakukan sejak zaman dahulu kala ialah marboru ni tulang atau pariban (putri dari saudara laki-laki ibu), atau disebut dengan sistem perkawinan matrilateral cross cousin (di kutip dari Antonius, 2006). 

Hal ini terlihat dalam kenyataan sehari - hari bahwa dalam masyarakat Batak-Toba, orang Batak tidak mengambil isteri dari kalangan kelompok marganya sendiri (na mariboto), perempuan yang sudah menikah akan meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami dan bersifat patrilineal dengan tujuan untuk melestarikan galur suami di dalam garis laki - laki. Hak tanah, milik, nama dan jabatan hanya dapat diwarisi oleh garis keturunan laki-laki. 

Terdapat  dua ciri utama perkawinan dalam masyarakat Batak-Toba, antara lain :
  • Berdasarkan rongkap ni tondi (jodoh) dari kedua mempelai
  • Mengandaikan kedua mempelai memiliki rongkap ni gabe (kebahagiaan, kesejahteraan).
Berdasarkan jenisnya atau tata cara yang di pakai, maka perkawinan suku Batak Toba dibagi menjadi :

Mangadati Perkawinan yang dilaksanakan tidak melalui adat Batak yaitu Dalihan Na Tolu, dimana pasangan yang akan menikah mangalua atau kawin lari sehingga dihari yang telah ditentukan dilakukan acara adat mangadati sebelum pasangan tersebut mempunyai anak.

Pasahat sulang-sulang ni pahompu, yakni Perkawinan yang dilakukan di luar adat Batak yaitu Dalihan Na Tolu dimana pasangan yang bersangkutan mangalua atau kawin lari sehingga di hari yang ditelah ditentukan dilaksanakan acara adat pasahat sulang-sulang pahompu setelah pasangan tersebut telah mempunyai anak.

Mamaholi

Mamoholi disebut manomu-nomu, adalah menyambut kedatangan (kelahiran) bayi yang dinanti-nantikan itu. Di samping itu juga dikenal istilah lain untuk tradisi ini yaitu mamboan aek ni unte yang secara khusus digunakan bagi kunjungan dari keluarga hula-hula atau tulang.

Pada hakikatnya tradisi mamoholi adalah sebuah bentuk nyata dari kehidupan masyarakat Batak tradisional di bona pasogit yang saling bertolong-tolongan (masiurupan). 

Seorang ibu yang baru melahirkan di kampung halaman, perlu beristirahat paling tidak selama 10 hari sebelum dia mampu untuk mempersiapkan makanannya sendiri. 

Dia masih harus berbaring di dekat tungku dapur untuk menghangatkan badannya dan disisi yang lain dia memerlukan makanan yang cukup bergizi untuk menjamin kelancaran ASI untuk bayinya.

Dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka saudara-saudara sekampung akan secara bergantian mempersiapkan makanan bagi si ibu berupa nasi, lauk daging ayam atau ikan (na tinombur), kemudian menyiapkan berbagai jenis sayuran yang dipercaya dapat membantu menambah produksi ASI (seperti bangun-bangun) dan lain-lain. 

Selain makanan siap saji, ada juga yang membawa bahan makanan dalam bentuk mentah seperti beras, ayam hidup, ikan hidup dan kadang dalam bentuk uang. 

Sehingga paling tidak untuk dua atau tiga bulan berikutnya si ibu yang baru melahirkan tersebut tidak perlu merasa khawatir akan kekuarangan makanan yang ia butuhkan untuk merawat bayinya dengan sebaik-baiknya sampai ia kuat untuk melakukan tugas-tugas kesehariannya.

Kunjungan pihak hulahula atau tulang untuk menyatakan perasaan sukacita dan rasa syukur mereka atas kelahiran cucu itu adalah sesuatu yang khusus. Mungkin mereka akan datang beberapa hari setelah kelahiran bayi tersebut dalam sebuah rombongan yang terdiri dari lima atau enam keluarga yang masing-masing akan mempersiapkan makanan bawaannya masing - masing. 

Untuk menyambut dan menghormati kunjungan hulahula tersebu,  maka sang tuan rumah pun akan mengundang seluruh keluarga sekampungnya untuk bersama-sama menikmati makanan yang dibawa oleh rombongan hulahula tersebut. 

Setelah makan bersama - sama, selanjutnya anggota rombongan hulahula akan menyampaikan kata-kata doa restu yang intinya adalah harapan agar si bayi yang baru lahir itu sehat-sehat, cepat besar dan dikemudian hari juga diikuti oleh adik-adiknya.

Kematian

Dalam tradisi suku Batak, orang yang mati atau meninggal dunia akan mengalami perlakuan secara khusus, terangkum dalam sebuah upacara adat kematian. Upacara adat kematian tersebut diklasifikasi berdasarkan usia dan status orang yang meninggal tersebut. 

Untuk yang meninggal ketika masih dalam kandungan (mate di bortian) belum mendapatkan perlakuan adat (artinya langsung dikuburkan tanpa peti mati). Akan tetapi bila meninggal ketika masih bayi (mate poso-poso), meninggal saat anak-anak (mate dakdanak), meninggal saat remaja (mate bulung), dan meninggal saat sudah dewasa tetapi belum menikah (mate ponggol), maka keseluruhan kematian tersebut akan mendapat perlakuan adat, yakni mayatnya ditutupi dengan  selembar ulos sebelum dikuburkan. 

Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orangtuanya, sedangkan untuk mate dakdanak dan mate bulung, ulos berasal dari tulang (saudara laki-laki ibu) orang yang meninggal tersebut.

Upacara adat kematian dalam tradisi suku Batak akan semakin sarat mendapatkan perlakuan apabila orang yang meninggal tersebut dalam kondisi :
  • Telah berumah tangga namun belum memiliki anak (mate di paralang-alangan atau mate punu).
  • Telah berumah tangga dan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil (mate mangkar).
  • Telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang menikah, namun belum memiliki cucu (mate hatungganeon).
  • Telah memiliki cucu, namun masih memiliki anak yang belum menikah (mate sari matua).
  • Telah bercucu tidak harus dari semua anak-anaknya (mate saur matua). Mate Saurmatua menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara kematian tersebut, karena meninggal ketika semua anaknya telah berumah tangga. Memang masih ada lagi tingkat kematian tertinggi yang berada diatasnya, yaitu mate saur matua bulung (mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga, dan telah memberikan tidak hanya cucu, bahkan cicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan) (Sinaga,1999). Namun keduanya dianggap sebagai hal yang sama yakni konsep kematian ideal (meninggal tanpa memiliki tanggungan anak lagi).

Kegiatan Mangapuli

Kegiatan ini adalah memberikan penghiburan kepada keluarga yang sedang berduka cita. Hanya saja Mangapuli tidak dilakukan secara asal-asal, karena semua ada prosedurnya dan prosedur ini sangat erat hubunganya dengan adat Batak Toba.  

Keluarga yang berduka sama sekali tidak direpotkan dengan makanan dan cukup menyediakan wadah atau piring-piring, dan air putih saja. Pihak keluarga yang berduka juga biasanya akan menyampaikan rasa terimakasihnya kepada orang-orang yang sudah datang memberikan penghiburan (dukungan moril) dan hal tersebut biasa disebut dengan  Mangampu hasuhuton.

Referensi :
https://blogsasito.blogspot.com/
credit:
Pola Dan Fungsi Kekerabatan Masyarakat Batak Toba, 1992. Sebuah Studi Deskripsi Pada Perkumpulan Marga Napitupulu, Boru dan Bere di Kotamadya Surabaya. ANTROPOLOGI – Universitas Airlangga, Surabaya.
Antonius, Bungaran Simanjuntak, 2006. Struktur Sosial Dan Sistem Politik Batak Toba Hingga 1945. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Op.Cit : 2 .

Posting Komentar untuk "Mengenal Kebudayaan Batak Toba Sumatra Utara"