Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Akulturasi dalam Kebudayaan Riau

baju-pengantin-adat-riau
credit:instagram@puspita_nagari

Kebudayaan Riau merupakan hasil dari akulturasi beberapa kebudayaan. Akulturasi dapat dipahami sebagai perpaduan berbagai kebudayaan membentuk kebudayaan baru, namun pengaruh kebudayaan awal masih dapat terlihat bentuknya. Bisa juga akulturasi dipahami sebagai terserapnya berbagai pengaruh dalam suatu kebudayaan.

Di Riau, Melayu merupakan kebudayaan dominan, namun pengaruh Islam sangat kuat terasa, pun demikian dengan pengaruh Kebudayaan Minangkabau dan kebudayaan pra Islam.

Kebudayaan Melayu dan Pengaruh Islam

Suku dengan populasi terbesar di Provinsi Riau adalah suku Melayu. Suku ini tersebar merata di seluruh kabupaten dan kota. Riau diyakini sebagai tempat asal dan induk dari suku Melayu. Suku Melayu di Riau berada dalam dua wilayah provinsi, yaitu Provinsi Riau dan Provinsi Riau.

Di Provinsi Riau, suku Melayu terbagi dalam dua wilayah utama, yaitu daerah pesisir (Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Meranti, Kota Dumai, Kabupaten Indragiri Hilir), daerah pedalaman (Kabupaten Kuantan Singingi, Kabupaten, Kampar, dan Kabupaten Rokan Hulu).

Dalam kehidupan sehari-hari, Suku Melayu mengenal ungkapan Adat Melayu bersendikan Syarak, dimana Syarak sendiri bersendikan pada Kitabullah. 

Ungkapan ini memiliki arti bahwa segala macam adat istiadat harus sesuai dengan peraturan yang ada, dan peraturan yang ada bersumber dari pada kitab suci (sumber ajaran Agama Islam).

Ada pula ungkapan “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” yang berarti “barang siapa mengenal dirinya kenallah dia dengan Tuhannya” merupakan salah satu prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Riau.

Prinsip ini dapat dimaknai bahwa masyarakat Riau adalah orang-orang yang tahu diri dan mengenal dengan baik kepribadiannya masing-masing.

Pengaruh Agama Islam cukup kuat dalam kebudayaan di daerah Riau. Pengaruh ini tidak dapat dipungkiri karena di Riau pernah berdiri beberapa Kerajaan Melayu yang bercorak Islam.

Salah satu kerajaan Melayu yang cukup besar berdiri di Riau adalah Kerajaan Siak Indrapura. Kerajaan ini memiliki kekuatan maritim yang cukup kuat sehingga memiliki pengaruh kekuasaan hingga Sambas (Kalimantan Barat).

Setelah runtuhnya Sriwijaya dan Samudera Pasai, Kerajaan Siak merupakan penguasa pelayaran di Selat Malaka. Kerajaan Siak merupakan pecahan dari Kesultanan Johor.

Johor yang telah dihancurkan oleh Portugis, berhasil direbut oleh Sultan Abdul Jalil pada tahun 1718. Namun perselisihan dengan Raja Sulaiman anak Bendahara Johor pada tahun 1722, menyebabkan Sultan Abdul Jalil pindah ke Bintan dan mendirikan pusat kerajaan yang baru.

Pusat kerajaan didirikan pada tahun 1723 mengikuti aliran Sungai Siak, dan kemudian diberi nama Siak Inderapura. 

Kerajaan Siak dapat bertahan hingga cukup lama, namun secara resmi berakhir pada tahun 1945, saat raja terakhir yaitu Sultan Syarif Kasim II menyatakan Siak Indrapura bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tradisi Barzanji

Beberapa tradisi mendapat pengaruh agama Islam seperti tabot, burdah, dan ghazal. Namun, ada pula tradisi Islam yang dilakukan dengan warna lokal Melayu yaitu barzanji. Barzanji merupakan pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW.

Di beberapa daerah di Indonesia, barzanji kerap dilakukan saat peringatan kelahiran Nabi atau (Maulid Nabi). Di Riau, barzanji dilakukan dengan perpaduan iringan rebana dan seni musik tradisional Melayu.

Sebagai suatu karya tradisi, Barzanji dan Melayu merupakan perpaduan sangat setara. Barzanji terdiri dari syair-syair bernilai sastra tinggi, sedangkan dalam Kebudayaan Melayu telah dikenal tradisi sastra dan literasi yang sangat baik. Tentu saja, tradisi ini semakin memperkaya kebudayaan Riau.

Rumah Lontik dan Pengaruh Minangkabau

rumah-lontik-riau

Rumah tradisional Riau adalah rumah panggung dengan bentuk persegi. Rumah tradisional yang lengkap terdiri atas beberapa bangunan, yaitu balai selasar jatuh tunggal, rumah Melayu beratap limasan, rumah melayu beratap kajang, dan rumah Melayu beratap Lontik.

Rumah Lontik memiliki bentuk yang khas. Rumah ini beratap runcing dan melengkung ke atas. Dinding rumah sedikit miring ke arah luar.

Pada kaki dinding terdapat hiasan mirip perahu atau lancang. Jumlah anak tangga selalu berjumlah ganjil, terutama rumah Lontik yang selalu beranak tangga berjumlah lima.

Tiang utama bangunan disebut tiang seri yang terletak masing-masing sudut rumah. Tiang ini harus berasal dari kayu utuh dan tidak boleh ada sambungan. Tidak semua rumah adat Riau terdiri atas beberapa bangunan lengkap.

Dalam satu rumah, biasanya terdiri atas tiga bagian, yaitu selasar/serambi, rumah induk, dan dapur. Selasar terdiri dari tiga jenis, yaitu selasar luar yang terpisah dari rumah induk, selasar jatuh yang bersambung dengan rumah induk.

Namun memiliki lantai yang lebih rendah, dan selasar dalam yang berada dalam rumah induk. Selasar jatuh biasa difungsikan sebagai tempat musyawarah adat.

Hiasan dan ornamen pada rumah adat biasanya berupa ukir-ukiran yang di gayakan (distilir) bentuk tumbuh-tumbuhan, ombak, itik pulang petang, dan lebah yang bergantung. Pada bagian atap terdapat ornamen yang mencuat ke atas persilangan.

Ukiran selembayung atau solo buyung biasanya terdapat pada ornamen di atas atap ini. Ukiran yang di gayakan merupakan suatu kemampuan unik dari seniman lokal nusantara.

Seperti diketahui bersama, penggambaran makhluk hidup tidak diperbolehkan dalam ajaran Agama Islam karena dapat menimbulkan syirik. 

Namun, penggambaran tumbuhan dan hewan merupakan bagian dari lambang adat-istiadat masyarakat.

Oleh karena itu, bentuk dan motif ukiran tidak dibuat secara langsung, namun agak disamarkan. 

Segala macam ukiran yang ada di rumah memiliki makna tertentu dan menandakan status sosial dari keluarga penghuninya. Semakin raya ukiran, semakin tinggi pula status sosial keluarga pemilik rumah.

Pengaruh arsitektur Minangkabau dapat dilihat dari bentuk atap rumah Lontik. Bentuk atap yang melengkung ke atas, mirip dengan tanduk kerbau, sedikit mirip dengan bentuk atap rumah gadang (rumah tradisional Minangkabau).

Hanya saja, atap rumah Lontik tidak bertingkat/bertumpang seperti halnya rumah gadang. Sebaran rumah Lontik memang lebih banyak ditemukan di daerah yang berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat, provinsi yang banyak didiami oleh Suku Minangkabau.

Tradisi Tepuk Tepung Tawar

Tradisi Tepuk Tepung Tawar
credit:instagram@sayebudaye

Salah satu daerah di Riau yang banyak ditempati orang Melayu adalah Selat Panjang.  Di daerah ini terdapat suatu tradisi tepuk tepung tawar.

Walaupun bukan tradisi utama, namun tepung tawar kerap dilakukan mengiringi berbagai upacara, antara lain upacara perkawinan, upacara penyambutan tamu, hingga upacara shalawatan bersama.

Tradisi tepuk tepung tawar sudah ada sebelum Islam masuk ke daerah Selat Panjang. Tepuk tepung tawar merupakan ritual penyembuhan orang sakit melalui perantaraan makhluk.

Upacara ini dilakukan oleh seorang dukun atau dalam bahasa setempat disebut bomo. Ketika orang-orang Melayu di Selat Panjang mulai memeluk Islam, tradisi tepung tawar tidak ditinggalkan begitu saja.

Dengan prinsip Adat Melayu bersendikan Syarak, Syarak bersendikan Kitabullah, maka tradisi tepuk tepung tawar dilakukan namun dengan menghilangkan unsur-unsur yang tidak sesuai dengan syariat. 

Makhluk halus dan bomo tidak lagi digunakan. Ulama maupun tokoh agama menggantikan fungsi dan peran bomo ritual tradisi.

Tepuk tepung tawar dapat berarti menepuk-nepukan bedak atau tepung pada punggung atau telapak tangan orang yang didoakan. Pada tradisi ini, selain menepukkan tepung atau bedak, orang yang didoakan juga diperciki dengan air mawar yang telah dicampur dengan air jeruk nipis.

Alat pemerciknya adalah beberapa lembar daun yang diikat (direnjis). Kemudian, pemimpin upacara melempari atau menaburi orang yang didoakan dengan beras kunyit, basuh, bertih dan bunga rampai sembari dibacakan shalawat.

Beberapa upacara yang kerap diiringi tradisi tepuk tepung tawar antara lain upacara perkawinan, upacara pemberangkatan jemaah haji, upacara sunatan, hingga pemberian nama bayi.

Masyarakat Melayu di Riau merasa kurang afdal jika segala upacara yang mereka selenggarakan tidak dilengkapi dengan tradisi tepuk tepung tawar. Walaupun sudah memeluk agama Islam, namun keterikatan terhadap tradisi leluhur tetap mereka pegang teguh.

Pada titik inilah tradisi yang berasal dari masa pra Islam untuk mengundang roh halus, sekarang telah berubah menjadi kegiatan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Fenomena yang terjadi pada kebudayaan Riau lumrah terjadi di beberapa daerah di Indonesia, dimana berbagai pengaruh budaya bercampur dengan selaras. Kebudayaan Melayu di Riau sebagai kebudayaan dominan sangat terpengaruh dengan ajaran Agama Islam.

Namun, tetap dapat mengakomodasi adat-istiadat dan tradisi yang berasal dari masa pra Islam. Kedekatan geografis dengan Kebudayaan Minangkabau memberi warna yang unik pada rumah adat Riau.

Posting Komentar untuk " Akulturasi dalam Kebudayaan Riau"