Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengenal Seni Karawitan Suku Jawa


Gamelan Jawa

Dalam perspektif kebudayaan seni Karawitan (gamelan Jawa) adalah sebuah pernyataan musikal yang mempunyai bentuk kompleks dan perkembangan yang tinggi. Salah satu fungsi seni karawitan yang sangat menonjol adalah sebagai sarana komunikasi. Suatu bentuk kesenian yang berbobot haruslah mampu untuk menyampaikan suatu pesan atau berkomunikasi dengan baik kepada masyarakat. 

Sebuah pesan ataupun sebuah  makna dari suatu karya seni tidak akan sampai ke dalam hati masyarakat apabila komunikasinya kurang efektif. Hubungan antara karya dan yang menyaksikannya menjadi kurang mantap atau dalam bahasa lain di katakan kurang menyatu. 

Dalam konteks komunikasi dengan masyarakat, seni karawitan dapat berfungsi sebagai sebagai sarana komunikasi yang efektif, baik komunikasi secara vertikal dengan Tuhan Yang Maha Esa maupun secara horisontal dengan masyarakat.

Dalam konteks komunikasi secara vertikal dengan Tuhan, terwadahi dalam bentuk gending dengan berbagai jenis karakter yang oleh sebagian masyarakat dapat digunakan sebagai sarana komunikasi dengan sang Pencipta. 

Sementara dalam konteks komunikasi secara horisontal, komunikasi pada seni karawitan tercermin dari hasil sajian yang merupakan hasil kerjasama antar unsur yang ada pada seni karawitan, bersifat kolektif, saling mendukung untuk memberi tempat berekspresi sesuai dengan hak dan kewajibannya masing - masing.  

Hal ini tentu sangat sesuai dengan pola hidup masyarakat Jawa yang sebagian besar menganut asas gotong-royong, yang lebih mengutamakan kebersamaan dalam keseharian dan kehidupan mereka.

Sementara seni karawitan sendiri dalam penyajiannya merupakan hasil perpaduan antara permainan instrumen dengan instrumen, instrumen dengan vokal, serta berlaras slendro, atau pelog. 

Di Jawa Tengah sendiri, khususnya di daerah Surakarta dan Yogyakarta, kumpulan instrumen dengan nada yang berlaras slendro, dan atau pelog dinamakan sebagai gamelan. Alat musik tradisional ini biasa digunakan sebagai pelengkap berbagai berbagai macam kegiatan ritual dan upacara adat, kesenian, dan hiburan oleh masyarakat. 

Kata Gamelan secara etimologi berasal  dari kata gamel yang artinya pukul, sehingga gamelan dapat diartikan sebagi instrumen yang bunyinya dengan cara dipukul. Sementara itu jika  tinjauannya adalah mengenai maknanya, maka gamelan berarti kelompok-kelompok instrumen yang membentuk kesatuan jenis tabuhan.

Mengenal Seni Karawitan Suku Jawa
image : flickr.com

Sebagai salah satu cabang  dari kebudayaan, kedudukan sebuah kesenian dalam masyarakat tidak kalah pentingnya dengan bidang-bidang yang lain. Kesenian selalu hadir dan berada di tengah-tengah masyarakat. Kesenian akan  selalu melekat dalam kehidupan setiap manusia, dimanapun ada manusia tinggal maka disitu pula akan ada kesenian ( di kutip dari Driyarkara: 1980: p. 8). 

Dengan demikian maka antara kesenian dengan keberadaan manusia adalah hal yang  tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling membutuhkan. Manusia membutuhkan kesesenian untuk keperluan hidupnya, sedangkan kesenian membutuhkan manusia sebagai pendukungnya. 

Dan sebagai pendukungnya, maka diharapkan agar  manusia dapat melestarikan dan mengembangkan melalui karya-karya baru yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi zaman. 

Disadari ataupun tidak, dalam mengembangkan suatu bentuk kesenian tentu tidak akan lepas, dan selalu bersinggungan dengan aspek-aspek yang lain, seperti aspek sosial, aspek ekonomi, aspek kepercayaan, aspek adat-istiadat, dan sebagainya.

Dalam perkembangan sekarang ini, kesenian tidak selalu menduduki tempat yang sama dalam kehidupan masyarakat. Persepsi dan kegemaran masyarakat terhadap sebuah bentuk kesenian antara daerah yang satu dengan lainnya berbeda - beda. Peran perubahan sosial dalam berbagai aspek kehidupan manusia pun ikut menentukan keberadaan suatu bentuk kesenian. 

Sebagai penentu  atas mati dan hidupnya suatu bentuk kesenian, maka manusia berhak untuk  menciptakan, melestarikan, dan mengembangkan bentuk-bentuk kesenian yang disesuaikan dengan kondisi dimana dan kapan ia hidup. 

Dan itu artinya, selama manusia hidup dan berpikir, maka kesenian tidak akan pernah mati, melainkan akan lestari dan turun-temurun, berputar mengikuti perkembangan zaman, sesuai dengan kodrat dan hidup manusia. 

Hal ini tentu sesuai dengan sifat kebudayaan sebagai sesuatu yang superorganic, yakni kebudayaan yang terus hidup, dan turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya, walaupun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan kematian dan kelahiran (di kutip dari Soerjono Soekanto: 1990: p. 188).

Dalam kehidupan bermasyarakat khususnya bagi masyarakat suku Jawa, seni karawitan adalah sebuah seni yang sangat penting, dimana hubungan tersebut bisa berupa tekstual maupun kontekstual.

Pada sebuah gamelan, terutama pada gaya Surakarta dan Yogyakarta terdapat beberapa kelompok yang di bagi berdasarkan cara atau teknik membunyikannya. Pengelompokkan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Kelompok Pukul

Kelompok ini adalah kelompok instrumen yang cara membunyikannya adalah dengan cara di pukul. Kelompok ini terdiri dari tiga jenis yaitu :
  • Kelompok Bilah, terdiri dari Gender barung, Gender penerus, Gambang, Slenthem, Demung, Saron barung, Saron penerus.
  • Kelompok Pencon, terdiri dari Bonang penembung, Bonang barung, Bonang penerus, Kenong, Kempul dan Gong.
  • Kelompok Kulit, yakni Ricikan bedug yang pada karawitan gaya Yogyakarta tidak semua memakainya.
2. Kelompok Tiup

Kelompok ini adalah kelompok instrumen yang cara membunyikannya adalah dengan di tiup. Alat musik yang termasuk dalam kelompok ini adalah Suling.

3. Kelompok Gesek

Kelompok ini adalah kelompok instrumen yang cara membunyikannya adalah dengan di gesek. Alat musik yang termasuk dalam kelompok ini adalah Rebab.

4. Kelompok Petik

Kelompok ini adalah kelompok instrumen yang cara membunyikannya adalah dengan di petik. Alat musik yang termasuk dalam kelompok ini adalah Siter, Clempung.

5. Kelompok Kebuk

Kelompok ini adalah kelompok instrumen yang cara membunyikannya adalah dengan di kebuk. Alat musik yang termasuk dalam kelompok ini adalah Kendang ageng (Bem), Batangan (Ciblon, Kosek dan Ketipung)

Masyarkat sering menganggap bahwa menabuh dan memukul adalah sebuah istilah yang sama, padahal dalm konteks karawitan kedua hal tersebut adalah hal yang berbeda. Menabuh mempunyai arti yang lebih luas yakni sebuah aktivitas yang mengkombinasikan antara ketrampilan membunyikan alat musik dengan perasaan.

Secara lebih dalam, menabuh dalam karawitan adalah membunyikan ricikan yang keras lirih, dan tekniknya sudah diatur dengan sedemikian rupa, sehingga menimbulkan harmoni atau suara yang enak apabila didengarkan. 

Jadi pengertian menabuh tidak hanya sebagai sebuah aktifitas fisik belaka, melainkan disertai dengan perasaan, sementara  itu memukul lebih pada sebuah aktifitas fisik belaka, dan cenderung tidak tertentu keras lirih, maupun kriteria suara yang dihasilkan.

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN KARAWITAN

Berdasarkan pada catatan sejarah, keberadaan gamelan ini sudah ada berabad-abad lamanya, hal tersebut dibuktikan dari tulisan-tulisan, ataupun prasasti-prasasti pada dinding sejumlah Candi yang ditemukan. 

Salah satu bukti tertua mengenai keberadaan alat-alat musik tradisional Jawa dan berbagai macam bentuk permainannya dapat ditemukan pada piagam Tuk Mas yang bertuliskan huruf Pallawa. 

Keserdehanaan bentuk, jenis dan fungsinya tentu berkaitan erat dengan pola hidup masyarakat pada waktu itu. Pada piagam tersebut terdapat gambar sangka-kala, yaitu semacam terompet kuno yang digunakan untuk perlengkapan upacara keagamaan (Bram Palgunadi: Op. Cit.: p. 7).

Sementara itu perkembangan Seni Karawitan pada waktu lampau tidak dapat di lepaskan dari sejarah perkembangan seni karawitan ketika kerajaan-kerajaan besar berkembang di Nusantara , seperti kerajaan Majapahit, dan kerajaan Mataram. 

Pada masa kerajaan-kerajaan tersebut, gamelan (seni karawitan) mengalami perkembangan yang sangat pesat, sehingga menarik para ilmuwan asing untuk mempelajari dan mendokumentasikannya. Banyak penemuan-penemuan yang di hasilkan dari  penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan asing tersebut. 

Sebagian dari hasil penemuan tersebut selanjutnya digunakan sebagai salah satu referensi dan rujukan dalam mempelajari seni karawitan.

Peran Raja sebagai penguasa tunggal sangat besar dalam menentukan hidup dan matinya suatu bentuk seni pada masa lalu. Meskipun tidak ada dokumen yang secara eksplisit menyebut seni karawitan, namun dalam kakawin Negarakertagama puisi abad ke-14 diutarakan, kerajaan Majapahit mempunyai sebuah lembaga khusus yang bertanggung jawab dalam mengawasi program seni pertunjukan (Sumarsam: Op. Cit: p. 19).

Selanjutnya, perkembangan seni karawitan berlanjut dengan munculnya Kerajaan Mataram. Pada masa kerajaan Mataram  ini dianggap sebagai tonggak dari seni karawitan, khususnya untuk gaya Yogyakarta dan Surakarta. 

Bukan hanya pada penambahan jenis-jenis gamelan saja, melainkan juga pada fungsi seni karawitan itu sendiri juga mengalami perkembangan. Selain sebagai sarana upacara keagamaan, seni karawitan juga berfungsi sebagai sebuah hiburan. 

Pada masa lalu seni karawitan produk kraton hanya dapat dinikmati di lingkungan istana saja, namun selanjutnya karena keterbukaan kraton dan palilah Dalem, akhirnya seni karawitan produk kraton sudah berbaur dengan masyarakat pendukungnya di luar istana. 

Realitas tersebut  menggambarkan begitu kuatnya peran penguasa dalam menentukan keberadaan suatu bentuk kesenian. Istilah “Sabda pandhito ratu” merupakan kebiasaan yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan masyarakat pada waktu itu.

Hubungan antara seni karawitan dan masyarakat adalah ibarat simbiosis mutualisme, keduanya saling ketergantungan, dan saling membutuhkan. Perkembangan seni karawitan sangat tergantung pada perubahan sosial yang terjadi di tengah masyarakat. 

Dewasa ini sebagaian besar masyarakat sudah menganut konsep hidup “ praktis dan ekonomis “, dimana salah satunya adalah berdampak pada semakin banyaknya gending-gending srambahan yang disajikan dalam suatu hajatan.

Dahulu keberadaan dari gending-gending dalam sebuah hajatan menjadi primadona bagi masyarakat. Orang akan senang mendengarkan, menikmati gending-gending ageng, tengahan, disertai dengan minum kopi, dan ngobrol kesana kemari hingga  menjelang pagi hari. 

Namun sekarang fenomena tersebut sudah sangat jarang ditemui. Kecenderungan yang terjadi adalah gending - gending tersebut hanya menyesuaikan dengan kebutuhan acara saat itu. 

Perubahan tersebut tentu berdampak pada keberadaan gending-gending ageng, tengahan yang semakin menghilang dan  kurang dikenal masyarakat. Masyarakat sudah mulai meninggalkan gending-gending ageng, tengahan, bahkan sudah tidak mengenalnya lagi. 

Kalaupun masih ada yang masih  mengenal mungkin hanya terbatas pada gending-gending srambahan, dolanan, atau kreasi baru. Kebanyakan masyarakat beranggapan bahwa keberadaan gending-gending ageng, tengahan sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Akhirnya, menjadi tugas kita sebagai pewaris seni karawitan sebagai sebuah budaya untuk terus mempertahankan keberadaan seni karawitan tersebut agar tetap eksis dan lestari di tengah masyarakat. Jika kita tidak berusaha untuk merawat dan melestarikannya maka suatu saat nanti seni karawitan ini pasti akan hilang dan punah.

Terima kasih sudah mampir ke blog saya.

referensi : p4tksb.kemdikbud.go.id

Posting Komentar untuk "Mengenal Seni Karawitan Suku Jawa"