Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

6 Tradisi Dan Budaya Masyarakat Lampung Yang Tetap Lestari


image via instagram@budayalampung

Seperti halnya suku bangsa lainnya yang ada di Indonesia, maka masyarakat suku Lampung juga memiliki tradisi dan budaya yang merupakan warisan dari para leluhur mereka. Tradisi dan budaya tersebut sampai saat ini masih terjaga dengan baik dan tetap di jaga kelestariannya di tengah modernisasi zaman yang terus berkembang maju.

Sebagai referensi dan pengingat untuk Anda, maka berikut ini saya akan membagikan kepada Anda tentang 6 Tradisi Dan Budaya Masyarakat Lampung Yang Tetap Lestari, antara lain:

1. TRADISI NGEBUYU 


Tradisi Ngebuyu adalah tradisi mengadakan saweran pada momen - momen tertentu yang dilakukan oleh masyarakat suku Lampung, misalnya momen kelahiran anak, momen perkawinan, kematian dan sebagainya.

Pada hakekatnya proses kelahiran, perkawinan, dan kematian merupakan rangkaian dari siklus hidup manusia di dunia ini. Di berbagai penjuru dunia siklus hidup manusia tersebut terkadang masih dianggap sebagai sebuah peristiwa yang sakral dan selalu diiringi dengan berbagai macam tradisi ritual dan upacara adat. 

Sebagai contoh misalnya peristiwa kelahiran, ada satu tradisi upacara yang hingga kini masih dilaksanakan oleh masyarakat Ulun Lampung Saibatin di Kabupaten Lampung Selatan, yakni tradisi Ngebuyu. Selain Ngebuyu, tradisi ini juga dikenal dengan nama yang lain, misalnya  "Ngabuyu, Kabuyon, Diduayon, Tabur Uang, atau Saweran". Hingga sekarang, tradisi Ngebuyu ini masih bertahan dan di lestarikan terutama oleh masyarakat di Kecamatan Rajabasa dan Kecamatan Way Urang Kabupaten Lampung Selatan.

Tradisi Ngebuyu ini dilaksanakan paling lama dalam waktu 9 sampai 10 hari setelah bayi lahir. Selama waktu tersebut, sang bayi tidak di perbolehkan untuk dibawa keluar rumah sebelum berumur 9 hari dimana seluruh aktifitas bayi dilakukan di dalam rumah. Setelah lebih dari 9 hari tersebut, maka sang bayi baru boleh dibawa  keluar dan boleh dibawa mandi ke sungai (kabuyon atau diduayon). 

Menurut tradisi masyarakat suku Lampung, tradisi Ngebuyu merupakan syarat yang wajib dilakukan sebelum pelaksanaan Aqiqah, yaitu pemotongan kurban hewan dalam syariat agama Islam (di kutip dari Bartoven, 2015: 74). Dalam aturan pelaksanaannya sendiri, apabila tradisi Ngebuyu dilakukan untuk anak pertama, maka dilakukan pada hari kedua (dalam masa 9 hari), dan anak kedua serta seterusnya akan mengikuti pelaksanaan tradisi Ngebuyu pada hari kedua juga.

Ngebuyu sendiri sebenarnya merupakan sebuah ritual upacara tradisional sederhana dan berlangsung secara singkat. Persiapan dilakukan sehari sebelumnya, yakni dengan membeli dan merangkai alat -alat yang dibutuhkan untuk upacara tersebut. Alat - alat upacara terdiri dari beras kuning, kemiri, uang (logam dan kertas), kertas hias, kayu/bambu, lem, dan permen. Kertas hias warna (biasanya dipilih warna merah dan putih), kayu atau bambu, dan lem yang digunakan untuk merangkai uang kertas dan permen hingga menyerupai sebuah pohon. Puncak pohon buatan tersebut diberi foto sang anak yang akan melakukan Ngabuyu. 

Beras kuning, kemiri, dan uang ( yakni uang logam dan receh) diletakkan dalam sebuah baskom yang sudah diberi alas dengan sehelai kain. Sebelum pelaksanaan, para tetangga dan kerabat diberitahu terlebih dahulu bahwa akan dilaksanakan tradisi Ngabuyu. Tradisi Ngabuyu biasanya dilaksanakan pada pagi hari dan bertempat di halaman atau pekarangan rumah orang yang akan melakukan ritual tersebut. 

Tradisi Ngebuyu diawali dengan keluarnya sang tuan rumah beserta dengan bayinya dari pintu depan rumahnya. Setelah memberikan kata sambutan secara singkat, dengan disaksikan oleh ibu yang menggendong bayinya, maka kemudian salah seorang dari pihak penyelenggara akan menaburkan sedikit demi sedikit baskom berisi uang (baik uang logam dan kertas), kemiri, dan beras kuning. Para tetangga dan kerabat (kebanyakan adalah anak-anak) saling berebut untuk mengambil uang yang ditaburkan tersebut. Adapun keberadaan pohon buatan hanyalah sebagai pertanda pelaksanaan tradisi Ngabuyu dan hanya diletakkan di dalam rumah saja.

Beras kuning, uang, kemiri dan permen yang ditaburkan masing-masing memiliki makna dan filosofi tersendiri. Beras kuning memilki makna adanya rasa saling tolong menolong dan saling menghargai makhluk Tuhan yang lainnya sebagai ketaatan kita kepada Sang Maha Kuasa. Kemiri memiliki makna menjauhkan bayi yang baru dilahirkan dari pengaruh buruk yang datang dari makhluk halus (Jin atau Syaitan). Uang memiliki makna sebagai media dalam mempertemukan keluarga dan kerabat. Dan permen memiliki makna adanya rasa saling menyayangi agar bayi yang baru dilahirkan dapat diterima dengan baik ditengah keluarga maupun masyarakat (di Kutip dari Asriningrum, 2010: 27).

Nilai dan makna yang terkandung dalam pelaksanaan tradisi Ngebuyu bagi orang yang melaksanakannya, yakni orangtua sang bayi, adalah sebagai ungkapan rasa syukur karena telah dikaruniai seorang anak. Sementara itu, bagi tetangga, kerabat dan saudara yang diundang dalam pelaksanaan tradisi Ngebuyu dapat diibaratkan sebagai saksi yang akan memperkuat pernyataan bahwa penyelenggara telah dikaruniai seorang anak. 

Fungsi lain dari kehadiran para undangan adalah sebagai bagian dari falsafah "Sakai sambayan" yang masih dipegang teguh oleh masyarakat suku Lampung, yaitu dalam bentuk sikap kegotong royongan, tolong menolong, dan meningkatkan tali silaturrahmi serta mempererat hubungan yang baik antara kerabat maupun antar tetangga di lingkungan sekitar.


2. TRADISI RUWAT LAUT

ilustrasi ruwat laut, image via instagram@cirebonbribin

Tradisi Ruwatan merupakan salah satu bentuk tradisi upacara yang sudah umum dilaksanakan oleh masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa. Nama tradisi ruwatan ada bermacam-macam, sebagai contoh misalnya tradisi Nadran dan hajat laut. Tradisi yang sudah sangat mengakar pada masyarakat di Pulau Jawa ini kemudian juga dapat kita temukan pula di Pulau Sumatra, yakni di Provinsi Lampung. 

Beberapa wilayah pesisir di provinsi Lampung ini ada yang mengadakan tradisi ini, misalnya di Kota Bandar Lampung, di Lampung Selatan, dan di Lampung Barat. Di Kabupaten Lampung Barat, tradisi ruwat laut ini sempat ditinggalkan karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Namun, beberapa tahun belakangan ini, atas inisiatif dari Bupati Lampung Barat, dengan tujuan untuk promosi sektor pariwisata di Kabupaten Lampung Barat, maka upacara ruwat laut kembali diselenggarakan. 

Tujuan utamanya tentu sudah berubah karena tidak lagi sebagai sebuah upacara sakral tapi lebih ditekankan kepada kedekatan hubungan antara manusia (nelayan) dengan laut yang menjadi sumber penghasilan utama mereka. Hal yang sama juga berlaku untuk wilayah kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan. Kini ruwat laut lebih ditekankan sebagai salah satu promosi di bidang kepariwisataan sehingga lebih bermotif pada tujuan ekonomi.

Dalam kebudayaan suku Jawa, ruwat atau ruwatan atau ngeruwat adalah sebagai sebuah upaya pembersihan untuk membebaskan seseorang dari suatu kemalangan yang bukan disebabkan oleh kesalahan diri sendiri. Di kutip dari Koentjaraningrat (1995: 374)

Terlepas dari adanya perubahan dari tujuan yang sakral ke unsur dan tujuan yang bermotif ekonomi, jauh sebelum penyebaran agama Islam di provinsi Lampung, tradisi ruwat laut ini sudah ada. Keterkaitan antara upacara ruwat laut di Lampung dengan acara serupa di pulau Jawa dapat dilihat dari penelitian Saputra (2011) yang berjudul , "Tradisi Ruwat Laut (Ngumbai Lawok) di Kelurahan Kangkung Kecamatan Teluk Betung Selatan Kota Bandar Lampung dalam Perspektif Hukum Islam".

Dalam skripsinya, dijelaskan bahwa pelaksanaan upacara ruwat laut bermula dari kedatangan nelayan Cirebon yang datang dan singgah di wilayah Bandar Lampung. Proses akulturasi budaya membuat beberapa tradisi masyarakat Cirebon tersebut menjadi bagian dalam kehidupan ritual masyarakat di Kelurahan Kangkung yang menjadi wilayah hunian bagi masyarakat Cirebon, Lampung dan beberapa suku bangsa lainnya.

3. TRADISI BELANGIRAN MENJELANG RAMADHAN 

image via instagram@aku_tj

Tradisi Belangiran, Belangigkhan atau disebut juga Pelangegkhan memiliki makna penyucian diri. Tradisi Belangiran ini dilaksanakan oleh masyarakat suku Lampung menjelang datangnya bulan suci Ramadhan. Terminologi dan tradisi dalam menyongsong datangnya bulan Ramadhan ini berlangsung juga di berbagai daerah lainnya di Indonesia. Sebagai contoh misalnya suku Jawa mengenal tradisi Padusan, kemudian di Sumatera Utara mengenal tradisi mandi Pangir alias Marpangir, dan di provinsi Riau dan di Minang mengenal tradisi  Balimau. 



Tradisi Belangigkhan ini biasanya digelar di Kampung Olok Gading, Teluk Betung, Bandar Lampung . Tradisi ini  sudah berlangsung  turun temurun dan digelar rutin tiap tahun. Masyarakat salah satu kampung wisata di Bandar Lampung ini  menggelar acara Belangigkhan di sungai Way Belau tetapi lebih dikenal dengan sebutan  Kali Akar,  Sumur Puteri, Telukbetung, Bandar Lampung.

Tradisi ini sebenarnya tidak hanya berupa mandi bersama untuk menyucikan diri, melainkan juga sebagai ajang silaturahmi antarwarga. Biasanya setelah mandi, ada doa dan cuak mengan alias makan bersama,

Setelah dilakukan ritual dan upacara masyarakat berebutan mencebur ke  sungai yang telah ditaburi untuk mandi bersama dengan diiringi lantunan bubandung—syair yang berisi doa minta untuk keselamatan kepada Allah SWT.

Sedangkan warga yang hadir membasuh wajahnya dengan air yang telah dicampur dengan merang padi yang telah dibakar, jeruk nipis dan kembang setaman alias beraneka macam bunga. Ini merupakan simbol membersihkan pikiran dan hati untuk menghadapi bulan Ramadan agar puasanya lancar terlepas dari godaan.

Menurut tokoh adat Lampung Mawardi R Harirama tradisi unik belangighan ini kalau dikemas dalam format pawai budaya yang lebih tertata diharapkan ke depan dapat dijadikan  salah satu atraksi wisata budaya yang menarik. Setiap suku yang ada telah melaksanakan prosesi adat seperti ini maka suku yang lain dapat melihat persamaan dan perbedaan dari budaya masing-masing suku.“Belangighan merupakan kegiatan tradisi asli budaya Lampung yang rutin dilakukan setiap menghadapi Ramadan Kita bisa saling belajar dan menghargai tradisi.” katanya.


Budaya Bediom Di Lampung Barat

image via https://lampungbaratkab.go.id/

Budaya “Bediom” (pindah rumah) harus terus dilestarikan masyarakat Lampung Barat sebagai warisan leluhur, kata bupati setempat Mukhlis Basri, di Liwa, Minggu.

“Adat budaya yang dimiliki Lampung Barat beragam, sehingga menjadi keunikan dan daya tarik tersendiri, salah satunya adalah ’Bediom’,” kata Mukhlis Basri, di Liwa, Minggu. Dia menjelaskan, tradisi “Bediom” menjadi bagian tak terpisahkan masyarakat adat di Lampung Barat. “Dengan keaslian budaya turun temurun ini, akan membawa dampak yang positif bagi pelestarian budaya di tengah zaman yang serba canggih seperti ini,” kata dia.

Menurut dia, budaya “Bediom” menjadi budaya asli Lampung Barat saat melakukan prosesi pindah rumah.

Kemudian, lanjut dia, Lampung Barat sebagai kawasan zona budaya di Provinsi Lampung. “Beragam keunikan budaya menjadi daya tarik bagi Lampung Barat menjadi kawasan pariwisata, sehingga ini menjadi upaya pemerintah untuk menjadikan Lampung Barat sebagai daerah tujuan wisata nasional dan internasional,” kata Bupati.

“Bediom” merupakan budaya dan adat istiadat masyarakat Lampung Barat yang akan pindah rumah baik itu rumah yang baru di bangun atau rumah yang telah lama berdiri dan akan ditempati oleh penghuni yang baru.
“Bediom” di rumah kediaman yang baru, menurut adat asli Lampung Barat yang sudah dapat mendirikan rumah pribadi yang baru, serta semua peralatan rumah itu serba baru, di tempat yang baru juga maka keluarga tersebut sudah merencanakan untuk “Bediom” di kediaman keluarga yang serba baru itu, jika sudah siap untuk dihuni keluarga, disebut “Bediom” di “lamban” (Rumah).

Budaya “Bediom” menjadi kebiasaan adat yang ketat di Lakukan masyarakat Lampung Barat, sebab “Bediom” ini, bermaksud menunjukkan tanda kesukuran kepada Tuhan atas nikmat yang diberikan.
Doa “bediom” disesuaikan dengan situasi dan kondisi keluarga untuk mengundang keluarga banyak atau tidaknya yang diundang, kalau keluarga tersebut termasuk mampu, maka pelaksanaan “Bediom” akan meriah.
Pelaksanaan “bediom” itu dilaksanakan pada hari-hari yang baik seperti bulan muharam, bulan maulud dan bulan haji.
Menurut penuturan masyarakat adat setempat waktu yang baik untuk melaksanakan “Bediom” adalah pada waktu sebelum subuh dan waktu isha sudah lewat jadi di mulai jam 4.30 Wib, sampai dengan jam 5.00 WIB.
Keluarga yang “bediom” itu mulai berangkat dari tempat yang lama ke tempat yang baru dan keluarga yang “Bediom”, kepala keluarga dan anak istrinya di iringi oleh keluarga yang lain yang hadir pada saat itu sampai ke kediaman yang baru. Sedangkan alat yang di bawa secara simbolis seperti alat tidur, alat masak, lampu, Quran dan sajadah yang kesemuanya dibawa oleh keluarga yang ikut mengiringi “bediom” itu, alat tidur ini menandakan mengawali tidur di tempat yang baru. Peralatan masak pertanda bahwa keluarga akan memulai kehidupan ditempat yang baru, belanga, beras, teko, gula, kopi, serta lampu. Lampu ini dinyalakan mulai dari tempat yang lama ke tempat yang baru.
Quran dan sajadah di bawa oleh kepala keluarga yang bersangkutan dan ini pertanda bahwa kepala keluarga tersebut jadi pemimpin dan imam bagi keluarganya.

“Saya berharap tradisi “Bediom” terus dilestarikan oleh masyarakat Lampung Barat, sehingga adat budaya warisan leluhur, dapat lestari meskipun budaya barat tengah berkembang di tengah masyarakat” katanya.


“Nyubuk” dalam Tradisi Lampung

image via instagram@elthanouna

 Lampung merupakan salah satu daerah yang memiliki berbagai macam budaya yang patut diperhitungkan baik secara nasional maupun internasional. Salah satu tradisi adat yang unik pada masyarakat Lampung Pepadun adalah tradisi nyubuk majeu. Perhelatan nyubuk majew atau meninjau calon pengantin atau pengantin wanita dengan cara menutup wajah menggunakan kain sarung.

Tradisi nyubuk majeu dapat diartikan salah satu proses dari keluarga yang ingin melihat secara langsung kondisi sang gadis arau pengantin setelah sebambangan (membawa lari gadis dengan maksud untuk dinikahi dan bisa dibenarkan secara adat jika ada kesepakatan dua belah pihak — Red.)  oleh mempelai pria atau sebelum dilakukan upacara adat.

Proses nyubuk biasanya dilakukan pada malam hari dan dilakukan oleh ibu-ibu dan/atau gadis. Pada melakukan proses “nyubuk majew”, setiap keluarga mempelai diharuskan memakai penutup wajah (sarung) yang hanya terlihat matanya saja (memang terlihat seperti ninja)

Perhelatan ini selalu menarik bagi masyarakat yang ingin melihat langsung salah satu tradisi masyarakat adat Lampung Pepadun. Tradisi ini biasanya hanya bisa dijumpai di daerah yang masih kental dengan budaya Lampung.


Nyuncun Pahakh

image via instagram@pesisirbarat_

Nyuncun Pahakh atau juga dapat disebut dengan Nyuncun Pahar adalah salah satu tradisi dan kebudayaan dari Suku Lampung, khususnya masyarakat adat Sai Batin yang berupa kebiasaan dan perilaku masyarakat dalam berinteraksi dengan alam dan semesta.[1][2] Tradisi Nyuncun Pahakh terdapat di wilayah Provinsi Lampung, tepatnya di Kabupaten Pesisir Barat, Kabupaten Tanggamus dan Kabupaten Lampung Barat, Lampung. Tradisi Nyuncun Pahakh sendiri sudah tercatat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada 2017 dan sudah terdaftar pada 2018 sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Sertifikat penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut diterima oleh Gubernur Lampung, Muhammad Ridho Ficardo diwakili oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung dan masing-masing bupati dari setiap kabupaten yakni Kabupaten Pesisir Barat, Kabupaten Tanggamus dan Kabupaten Lampung Bara

Posting Komentar untuk "6 Tradisi Dan Budaya Masyarakat Lampung Yang Tetap Lestari"