Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Upaya Mempopulerkan Kembali Batik Kudus

Upaya Mempopulerkan Kembali Batik Kudus

Upaya Mempopulerkan Kembali Batik Kudus - Awalnya Miranti Serad Ginanjar, penulis buku “Batik Kudus The Heritage” jatuh cinta pada motif dan detail batik Kudus dengan kombinasi warna yang artistik. 

Dari situlah ia kemudian mencari tahu dan menceritakan sejarah dan peristiwa perjalanan batik Kudus dari masa ke masa sebagai salah satu simbol dari bagian kekayaan budaya di Indonesia lewat sebuah buku.

Buku ‘Batik Kudus The Heritage’ diluncurkan pada 2 Oktober silam bertepatan dengan hari batik nasional. Lantas pada Senin, 26 Oktober 2015 bertempat di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta Pusat, Miranda Ginanjar bersama Ari Juliano Gema (Deputi Fasilitasi HKI & Regulasi Badan Ekonomi Kreatif), Vande (Komunitas Sobat budaya, Gerakan Sejuta Data Budaya), dan Nita Kenzo (Pimpinan Galeri Batik Jawa) membahas isi buku ‘Batik Kudus The Heritage’.

Batik Kudus diperkirakan mulai populer tahun 1880 – 1940-an, kemudian terus berkembang sampai tahun 1970-an. Batik Kudus kalah populer dibanding batik-batik lain, hal ini dikarenakan masyarakatnya yang memilih bekerja di industri. Sejak tahun 1980 produksi batik Kudus semakin menurun.

Miranti Serad Ginanjar bercerita, selain kagum pada motif batik Kudus yang khas dengan motif-motif klasik dengan ornamen rumit, penulis sekaligus Pembina Batik Kudus ini terinspirasi dari seorang kurator asal Jerman, Rudolf Smend. 

Wanita yang akrab disapa Mira ini menemukan salah satu koleksi Rudolf, batik Kudus yang menjadi rebutan dunia, harganya pun fantastis, mencapai 20 ribu dolar AS.

Rudolf saat ditemui Mira mengatakan batik Kudus sejak 1010 dan 1930 sudah terkenal dengan detailnya, dan hingga Rudolf yang sangat mencintai batik terus menambah koleksi batiknya. 

Sebagai bentuk kecintaannya, ia membangun sebuah museum batik bernama Galeri Smend di Koln, Jerman, yang sudah ada sejak 1973.

Ada juga cerita pengusaha batik Semarang dan Kudus yang membawa batik mereka ke sebuah pasar malam di London sekitar tahun 1870-an. Saat ini batik-batik tersebut tersimpan rapih di British Museum, Inggris. 

“Mereka saja mencintai batik, sayang sekali kalau batik Kudus sampai hilang tergerus zaman. Bersama Djarum saya membina dan mengajak anak muda untuk belajar agar batik Kudus semakin berkembang dan kembali populer,” papar Mira.

Dalam buku setebal 272 halaman itu juga diceritakan kekayaan corak dan filosofi batik Kudus, yang mencerminkan percampuran budaya Islam dan Hindu yang dipelopori Sunan Kudus. 

Posisi Kudus yang berada di jalur perlintasan antara Rembang, yang dulu dikenal sebagai pelabuhan terbesar di Jawa Tengah, menuju pusat Jawa (Solo dan Yogyakarta) menghasilkan percampuran corak dan warna yang beragam.

Ada juga cerita pewarna alami Indigo yang digunakan oleh mayoritas batik di tanah Jawa. Indigo atau yang dikenal dengan nama tarum merupakan pewarna dari jenis polong-polongan yang mampu menghasilkan pewarna biru alami yang tahan lama.

Warna indigo utamanya banyak ditemukan di pewarnaan batik Suku Baduy dan Jawa pesisir kuno, kecuali Lasem yang identik dengan warna merah, warna-warna indigo ini terlihat dalam koleksi-koleksi perancang Denny Wirawan melalui lini Bali Java yang baru saja meluncurkan koleksinya dengan warna-warna dan potongan batik Kudus yang segar dan muda.

Mira berharap buku ini bisa menjadi inspirasi dan dapat mengajak masyarakat untuk lebih mengenal batik Kudus yang merupakan bagian dari batik pesisir dan sejarah batik di Indonesia.

Posting Komentar untuk " Upaya Mempopulerkan Kembali Batik Kudus"