Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Revitalisasi Tari Tradisional Daerah Pesisir Melalui Pendidikan Formal

Revitalisasi Tari Tradisional Daerah Pesisir Melalui Pendidikan Formal
credit:instagram@priyohandoyo99

Revitalisasi Tari Tradisional Daerah Pesisir Melalui Pendidikan Formal - Problematika terdesaknya tari tradisonal (etnik) daerah pesisir semakin terasa sejak tahun 1980-an, yang diikuti oleh menguatnya keinginan yang dinamakan “kreativitas”, yang ditandai dengan munculnya “Tari Kreasi Baru”. 

Pada waktu itu dimulai dengan semakin menjamurnya kreativitas karya seni tari se[erti misalnya  karya-karya dari seorang seniman tari yaitu Bagong Kussudiardjo dari Yogyakarta.

Karya-karya tari kreasi baru kemudian berhasil menempati ruang publik di kota-kota besar di Jawa, Surabaya, Jogja, Solo, Bandung,  dan Jakarta. 

Kota-kota tersebut adalah merupakan kota besar yang bergerak ke arah metrolopis, sungguhpun kota tersebut belum benar-benar mengadopsi sifat konsumtif, tetapi masih berproses mendaur ulang masyarakat priyayi menjadi elite baru. 

Sementara itu di daerah pesisir, seperti misalnya di Probolinggo dan Pasuruan serta kota - kota yang lain masih menikmati dinamika kehidupan tari tradisional, karena sebagaian besar mereka berprofesi sebagai masyarakat nelayan atau pedagang.

Di tahun 70-an hingga pertengahan 1980-an pemerintah provinsi Jawa Timur mulai menggulirkan forum kompetitif penyajian tari daerah. Hasilnya cukup membanggakan, yaitu bermunculan karya-karya baru hasil kreativitas seniman etnik di berbagai daerah di Jawa Timur. 

Waktu itu seniman akademik yang muncul kurang lebih sekitar 10%, akan tetapi 20 tahun berikutnya seniman akademik yang muncul meningkat hingga menjadi sebesar 80%. Peningkatan ini menunjukan adanya alih tangan dalam proses kreatif tari etnik. 

Berdasarkan fenomena tersebut diperkirakan, bahwa dalam waktu 20 -30 tahun mendatang, semua pemikiran, sikap, dan tindakan kreatif seni tari tradisional (etnik) sangat di tentukan oleh masyarakat seni akademik melalui jenjang pendidikan formal.

Kondisi semacam ini telah dialami oleh cabang seni rupa, sehingga karya etnik menjadi sangat langka. Bahkan cendrung tidak dimasukan dalam ranah percaturan karya seni murni, tetapi didesak ke arah seni terapan (keriya). 

Bidang seni tari mulai tampak adanya pemilahan antara ekspresi tari kreatif yang bernuansa tradisonal (etnik) sebagai materi kompetitif dalam frim karya tari daerah. Karya-karya tersebut merupakan embrio tari terapan yang akan mengisi ruang seni tari wisata.

Ternyata pemikiran strategi tersebut kemudian menguatkan gema kreatif masyarakat seniman tari yang ditumbuhkan oleh lembaga pendidikan formal, artinya mereka yang belajar tari melalui sekolah masih belum mewacana. 

Hal ini dibutuhkan sebuah pemahaman bersama, bahwa perkembangan seni tari pada masa yang akan datang sudah tidak lagi dilakukan anak-anak nelayan yang menari ketika terang bulan, atau anak-anak lengger yang menari di malam hari bersama komunitasnya. 

Tetapi munculnya penari-penari yang menempatkan diri sebagai ”artis”. Tampil pada perpisahan sekolah, acara-acara seremonial pemerintah, atau sebagai duta seni. 

Habitat baru ini membutuhkan sebuah ”kebijakan” dan ”kesadaran” para pengambil keputusan, bahwa institusi sekolah harus benar-benar menjadi tempat penguatan tari tradisional (etnik).

Termasuk dalam hal ini adalah tari tradisional (etnik) yang berada di lingkungan masyarakat pesisir, sebab budaya masyarakat pesisir sudah lama kehilangan ekspresi sebagai masyarakat penari.

Dukungan dan peran serta dari pemerintah, terutama pemerintah daerah setempat sangat dominan dalam rangka melakukan Revitalisasi Tari Tradisional Daerah Pesisir Melalui Pendidikan Formal ini agar nantinya kesenian tari tradisional (etnik) masyarakat pesisir tidak musnah di telan modernisasi zaman.

Posting Komentar untuk "Revitalisasi Tari Tradisional Daerah Pesisir Melalui Pendidikan Formal"