Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Degung Sunda, Irama Khas Tanah Pasundan

degung-sunda
credit:instagram@stellaarisandy

Salah satu kekayaan musik tradisional yang dimiliki oleh Suku Sunda adalah musik yang dimainkan menggunakan seperangkat alat musik yang disebut degung. Apakah degung itu?

Degung merupakan sekumpulan alat musik tradisional khas suku Sunda yang serupa dengan gamelan di Jawa Tengah. Laras (nada) pada degung terdiri atas lima nada, yaitu mi (2), la (5), da (1), na (3), dan ti (4).

Degung adalah salah satu dari beberapa jenis gamelan yang pernah ada dan masih terus dilestarikan di daerah Jawa Barat hingga sekarang di samping Gamelan Salendro dan Pelog.

Gamelan Salendro biasanya digunakan sebagai musik pengiring dalam pertunjukan wayang, tari-tarian, kliningan, jaipongan, dan sebagainya. Sebenarnya Gamelan Pelog juga bisa berfungsi seperti Salendro, tetapi sayangnya tidak terlalu populer di kalangan masyarakat maupun musisi.

Gamelan degung dianggap sebagai perangkat yang bisa mewakili karakter khas masyarakat Pasundan. Penggunaan dan pengembangan degung di masa kini diperkirakan sebagai turunan dari Gamelan Renteng yang berasal dari wilayah Kabupaten Bandung.

Seorang peneliti kebangsaan Belanda yang bernama Jaap Kunst pernah mendata keberadaan perangkat Degung Sunda pada  tahun 1934. Kunst mencatat bahwa terdapat lima perangkat di Bandung, tiga perangkat di Sumedang, satu perangkat di Cianjur, Ciamis, Kasepuhan, Kanoman, Darmaraja, Banjar, dan Singaparna.

degung-sunda-irama-khas-pasundan

Budaya Kerajaan Sunda Galuh yang berada di daerah hulu sungai diyakini memiliki pengaruh besar terhadap warna kesenian Degung Sunda, mengingat lagu-lagunya banyak mencerminkan nuansa sungai, seperti Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk, dan Sang Bango.

Terdapat dugaan bahwa degung awalnya merupakan musik kerajaan atau keraton, artinya musik jenis ini hanya dimainkan untuk keluarga bangsawan, mengingat kata “degung” berasal dari kata “ngadeg” (berdiri) dan “agung” (megah), atau “pangagung” (kaum bangsawan).

Pendapat di atas didukung oleh E. Sutisna, salah seorang nayaga (pemain) Degung Parahyangan, yang menyatakan bahwa dahulu perangkat degung biasanya hanya dimiliki oleh para “pengagung”  atau pemimpin daerah (bupati).

Gamelan-gamelan degung yang bersejarah dan antik di antaranya adalah Gamelan Degung Keraton Kasepuhan dan Gamelan Degung Pangasih di Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang.

Perangkat degung di Sumedang tersebut merupakan peninggalan dari Pangeran Kusumadinata, yang juga dikenal sebagai Pangeran Kornel, Bupati Sumedang di tahun 1791 sampai dengan 1828.

Di masa kejayaan para priyayi, gamelan degung tidak dimainkan dengan iringan nyanyian, melainkan hanya secara instrumental (gendingan). Bupati Cianjur pada masa 1912 sampai dengan 1920, RT Wiranatakusumah, menyebut degung dengan nyanyian sebagai sesuatu yang rucah atau kurang serius.

Namun, beliau ini memang benar-benar serius melestarikan degung dan membawa perangkat degung Pamagersari ke mana pun ia bertugas. Pada waktu-waktu selanjutnya, degung tidak lagi menjadi monopoli kaum bangsawan Sunda. 

Masyarakat biasa mulai menggunakan degung sebagai musik pengiring untuk memeriahkan pesta (hajatan) pribadi maupun umum.

Selain dimainkan dalam pesta-pesta, degung kemudian mulai memasuki panggung pertunjukan. Di antaranya Opera Sunda Kolosal Loetoeng Kasaroeng pada 18 Juni 1921 dalam menyambut Culturcongres Java Institut. 

Ketika Loetoeng Kasaroeng dibuat ke dalam film cerita pada 1926, Degung Sunda kembali menjadi musik ilustrasinya.

Pertunjukan lain yang dimeriahkan oleh degung adalah Opera Mundinglaya Dikusumah karya M. Idris Sastraprawira dan Rd. Djajaatmadja pada 1931 di Purwakarta.

Lagu-lagu degung yang terkenal di kalangan masyarakat Sunda di antaranya adalah Sang Bango, Pajajaran, Manintin, Beber Layar, Padayungan, Kadewan, dan lain-lain. 

Sementara lagu-lagu yang terbilang baru atau modern dengan pola lagu rerengongan adalah Surat Ondangan, Hariring Bandung, Kalangkang, Bentang Kuring, dan sebagainya.

Musik yang dihasilkan Degung Sunda kini sering diperdengarkan dalam pesta-pesta pernikahan, upacara adat, acara pemerintahan daerah, atau festival dan pertunjukan kesenian lainnya.

Ada hal ironis yang terjadi pada beberapa kesenian dan kebudayaan tradisional Indonesia, yaitu kurangnya minat generasi muda lokal untuk melestarikannya, sehingga pengembangan dan pelestariannya lebih banyak dilakukan oleh orang-orang bangsa asing.

Misalnya, pengembangan degung yang dilakukan University of California di Amerika Serikat, para mahasiswa di Inggris, Jepang, Kanada, dan Australia, sementara didalam negeri sendiri kurang mendapatkan perhatian di kalangan pelajar dan mahasiswa.

Hal ini menjadi tantangan serius bagi kita untuk kembali mengenalkan musik degung ini kepada kalangan milenial sehingga mereka merasa tertarik kembali untuk mempelajarinya.

Posting Komentar untuk " Degung Sunda, Irama Khas Tanah Pasundan"