Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Batik Lasem: Lambang Akulturasi Jawa Cina

Batik Lasem: Lambang Akulturasi Jawa Cina
credit:instagram@batiklasemtiganegeri

Batik tidak selamanya dikonotasikan dengan kain memiliki motif dengan beberapa warna cokelat, hitam, merah tua, biru tua, atau putih. Menyimak batik lasem, kita akan mendapati warna yang lain dari tipe warna cerah seperti merah muda, hijau muda, kuning ceria, dan lain-lain.

Dalam khazanah batik Nusantara, batik lasem mempunyai tempat tertentu karena kekhasan yang dipunyainya itu. Tidak saja pada supremasi warna ceria, tetapi pada beberapa unsur pola hias yang unik dan berlainan dari batik umumnya.

Kita mengenali pola parang, kawung, truntum, ceplok, dan lain-lain. Pola-motif itu dikenali dalam batik solo dan batik yogya. Tetapi, pada batik lasem, kita akan mendapati pola lain berbentuk burung hong, bilah bambu, bunga mawar, dan lain-lain.

Akulturasi Budaya

Bila batik solo dan batik yogya sebagai budaya yang berkembang dari balik tembok istana, karena itu batik lasem kebalikannya. Dia ialah budaya rakyat yang menggambarkan pembauran beberapa etnis dengan lambang budaya semasing.

Batik lasem mengarah pada wilayah aslinya, yaitu Lasem yang disebut sisi dari Kabupaten Rembang, Jawa tengah. Batik Lasem dikuasai oleh budaya Cina Tionghoa, budaya Keraton Surakarta dan Yogyakarta.

Batik lasem jadi tapak jejak kombinasi beragam budaya itu dengan diakomodasinya pola Tionghoa berbentuk burung hong, kikin (seperti singa), dan bilah bambu. Pola itu tergabung serasi dengan pola kawung dan parang dampak dua keraton Jawa, tanpa tinggalkan keunikan batik lokal yang memercayakan warna ceria merah, biru, hijau, dan kuning.

Warna merah seperti darah ayam ialah ciri-ciri yang mencolok pada batik lasem, karena warna merah itu didapat dari air lokal wilayah itu dan tidak ada pada wilayah yang lain. Karenanya, warna merah batik lasem hampir tidak dapat diikuti.

Arti Filosofis

Sebagai batik rakyat, batik lasem memanglah tidak mempunyai nilai falsafah yang njelimet seperti dalam batik keraton. Batik lasem condong memvisualisasikan kehidupan rakyat jelata, kehidupan sosial yang penuh pembauran, keinginan-harapan yang biasa dalam warga, dan lain-lain.

Batik lasem pun tidak mengenali penekanan pemakai, seperti batik keraton yang umumnya mengenali satu tipe batik cuman bisa dipakai kelompok tertentu. Batik lasem, seperti polanya yang membatalkan batasan-batas bangsa, secara budaya juga membatalkan ketidaksamaan kelas dan strata sosial.

Dengan karakternya yang begitu membuat batik lasem condong lebih lentur, tidak kaku, dan memiliki nuansa lebih cerah. Keluwesan itu memungkinkannya batik lasem bermotif berbentuk mata uang, bunga seruni, burung hong, atau cerita pertalian cinta sampek-engtay, yang berjajar dengan pola udan riris, parang hancur, sidomukti, dan lain-lain.

Pola Batik Lasem

Beberapa pola batik lasem yang populer misalkan pola latohan dan watupecah. Pola latohan ambil ide dari alam pantai. Pola hiasnya berbentuk stilasi wujud tumbuhan latoh, semacam rumput laut. Sedang pola watupecah kabarnya sebagai gestur warga Lasem yang kecewa pada Daendels yang membuat jalan raya.

Ada pula tipe pola sekar jagad, tiga negeri, tambal, sisik, pukel, klerek, dan sebagainya. Modifikasi pada pola hias dapat berjalan benar-benar kendur hingga hampir tidak dapat ditetapkan secara detil berkenaan muatan filosofisnya.

Pada umumnya, pola batik keraton yang dipungut ke batik lasem berisi falsafah aslinya, tetapi dengan penafsiran yang lebih kendur. Misalkan pola kawung memiliki makna tuntunan hidup, kebijakan dan keadilan. 

Pola parang memiliki makna dinamika dan semangat yang tidak pernah stop. Pola bulu-bulu garuda memvisualisasikan kehidupan alam atas atau alam arwah.

Pola bilah bambu yang dipungut dari warga Tionghoa memiliki kandungan falsafah kerukunan keluarga, saran untuk berpadu dan tidak terpecah iris seperti rumpun pohon bambu yang bersama sama-sama menyokong. 

Pola burung hong dan naga memiliki kandungan falsafah kehidupan alam arwah seperti pada pola bulu-bulu garuda.

Adapun pola lain seperti kelopak bunga melati sebagai falsafah Islam yang berkembang di wilayah pesisir. Dilukiskan tuntunan Islam seperti bunga melati yang putih bersih dan bau wangi. Pola bunga mawar dipungut dari budaya Barat. Dan ada banyak kembali pola yang lain berbagai macam macam hiasnya.

Sekarang ini, reputasi batik lasem condong turun. Makin jarang-jarang diketemukan perajin batik lasem yang bertahan dengan serangan budaya urban dan kebutuhan hidup di zaman kekinian. Perlu usaha keras dari seluruh komponen warga supaya kebudayaan ini masih tetap lestari.

Posting Komentar untuk " Batik Lasem: Lambang Akulturasi Jawa Cina"