Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Kerajaan Samudra Pasai

Sejarah Kerajaan Samudra Pasai
credit:instagram@jalurrempahri

Nama lain untuk Kerajaan Samudra Pasai adalah Kesultanan Pasai, atau Samudra Darussalam. Lokasi keberadaan Kerajaan Samudra Pasai ini berada di daerah pesisir pantai utara pulau Sumatra yakni berada di sekitar Kota Lhokseumawe Aceh Utara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Para arkeologi, masih belum banyak menemukan bukti-bukti faktual terkait keberadaannya sebagai salah satu pembuktian sejarah, tetapi para sejarawan menempuh penelusuran jejak Kerajaan Samudra Pasai melalui teks-teks hikayat di kalangan raja-raja Kerajaan Samudra Pasai.

Kemudian, hal ini dikaitkan dengan beberapa penemuan yang bisa membantu menyingkap tabir sejarah Kerajaan Samudra Pasai dengan ditemukannya makam-makam raja dan juga ditemukannya koin dengan bahan dasar emas dan perak di mana di dalamnya tertera sebuah nama rajanya.

Hal inilah yang kemudian menjawab pertanyaan besar seputar eksistensi Kerajaan Samudra Pasai yang disebut-sebut sebagai pintu masuknya ajaran Islam di Indonesia.

Dalam rentang sejarah yang cukup lama, informasi mengenai bagaimana kehidupan di Kerajaan Samudra Pasai terkadang sulit dipertanggungjawabkan kebenarannya. Namun, sejarah menyebutkan bahwa Kerajaan Samudra Pasai didirikan oleh Marah Silu yang juga memiliki gelar Sultan Malik As-Saleh sekitar tahun 1267 M.

Berdasarkan data lainnya dutemukan juga keberadaan Kerajaan Samudra Pasai yang termaktub dalam sebuah kitab Rihlah Ila l-Masyriq yang maknanya adalah 'Pengembaraan ke Timur', karya sosok yang dikenal sebagai ulama petualang dunia bernama Abu Abdullah Ibn Batuthah (1304-1368 M) asal Maroko yang kemudian tiba di negeri ini pada 1345 M.

Kerajaan Samudra Pasai sempat mengalami masa kejayaan dengan kondisi pemerintahan yang sangat kondusif serta rakyat yang makmur. Namun pada akhirnya, Kerajaan Samudra Pasai itu sendiri mengalami masa keruntuhan setelah bangsa Portugis melakukan serangan pada tahun 1521 M.

Awal Kerajaan Samudra Pasai

Keberadaan kepemimpinan Kerajaan Samudra Pasai dapat terlihat dari kisah dalam 'Hikayat Raja-raja Pasai' di mana diceritakan bahwa pendirian Kerajaan Samudra Pasai oleh Marah Silu, yang kemudian dikenal dengan dengan gelar Sultan Malik As-Saleh, yang kemudian wafat pada 696 H atau setara dengan tahun 1297 M.

Selanjutnya dijelaskan juga bahwa kursi pemerintahan diteruskan oleh putranya yang bernama Sultan Muhammad Malik Az-Zahir hasil dari pernikahannya dengan dengan seorang putri Raja Perlak. 

Hal ini dibuktikan dengan penggunaan koin emas yang banyak ditemukan oleh para arkeolog maka sejatinya pada Kerajaan Samudra Pasai yang dipimpin oleh Sultan Muhammad Malik Az-Zahir ini, mulailah dibuka pengenalan pada koin emas sebagai mata uang di Pasai.

Hal ini juga bertalian erat dengan masa berkembangnya kawasan Kerajaan Samudra Pasai yang menjelma sebagai kawasan perdagangan yang dilalui berbagai orang dari belahan dunia dan Kerajaan Samudra Pasai yang pada akhirnya menjadi lokasi di mana dakwah agama Islam berkembang dengan datangnya pada juru dakwah di sana sambil berdagang.

Pada tahun 1326 M, Sultan Muhammad Malik Az-Zahir meninggal dunia yang kemudian segera digantikan putrannya sendiri yang bernama Sultan Mahmud Malik az-Zahir. Ia memimpin dan memerintah di Kerajaan Samudra Pasai hingga tahun 1345 M.

Berdasarkan bukti inilah kemudian terlacak perihal Kerajaan Samudra Pasai yang ada dalam teks catatan perjalanan dunia karena pada masa Mahmud Malik Az-Zahir ini, Ibn Batuthah sebagai petualang asal maroko singgah di Kerajaan Samudra Pasai. 

Oleh Ibnu Batutah kemudian diceritakan bahwa sultan di negeri Samatrah alias Samudra telah melakukan penyambutan yang baik dan penuh keramahan, dengan kondisi penduduknya yang menganut Mazhab Imam Syafi'i.

Inilah yang menjadi salah satu jejak penting bahwa keberadaan Kerajaan Samudra Pasai memang ada dan sempat disinggahi oleh Ibnu Batutah. 

Namun, masa kejayaannya tersebut kemudian terkoyak manakala Kerajaan Samudra Pasai yang saat itu dimpin oleh Sultan Ahmad Malik az-Zahir yang tak lain adalah putra Sultan Mahmud Malik az-Zahir mendapatkan serangan dahsyat dari Majapahit pada 1345 dan 1350 M sehingga menyebabkan Sultan Kerajaan Samudra Pasai dengan sangat terpaksa harus melarikan diri dari ibu kota kerajaan demi keselamatan diri.

Namun, Kerajaan Samudra Pasai tidak lantas menghilang begitu saja. Kerajaan Samudra Pasai ini bangkit kembali muncul setelah dipimpin oleh Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir yang memerintah dari 1383 M hingga tahun 1405 M. 

Sepak terjangnya juga kemudian terkenal dalam sebuah kronik Cina di mana sultan ini dikenal dengan nama Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki. Kemudian dkisahkan bahwa ia gugur di tangan seorang raja yang bernama Raja Nakur. Selanjutnya, tampuk kepemimpinan dipegang oleh oleh istrinya yang bernama Sultanah Nahrasiyah.

Sementara itu, batas-batas Kerajaan Samudra Pasai memang sejatinya bersinggungan dengan kerajaan-kerajaan lain yang bisa berpotensi menjadi pintu konflik yang sudah terjadi. 

Hal ini ternyata diungkapkan oleh sebuah armada pelayaran yang dipimpin oleh Cheng Ho yang membawa 208 kapal mengunjungi Kerajaan Samudra Pasai secara berturut-turut dalam kurun waktu 1405 M, 1408 M, dan 1412 M.

Dalam laporan Cheng Ho yang pencatatannya dibantu pembantunya, dikatakan bahwa secara geografis Kerajaan Samudra Pasai memiliki batas wilayah dengan pegunungan tinggi di sebelah selatan dan timur. Apabila ditarik terus ke arah timur maka Kerajaan Samudra Pasai berbatasan langsung dengan Kerajaan Aru.

Sebelah utara Kerajaan Samudra Pasai berbatasan langsung dengan dengan laut. Sebelah barat Kerajaan Samudra Pasai berbatasan dengan dua kerajaan yang salah satunya berkonflik, yaitu Kerajaan Nakur dan Kerajaan Lide.

Sementara itu, kondisi Kerajaan Samudra Pasai jika ditarik terus ke arah barat maka Kerajaan Samudra Pasai ini akan berjumpa dengan sebuah kerajaan yang bernama Lambri atau juga dikenal dengan Lamuri, dengan waktu tempuh saat itu yang bisa memakan waktu 3 hari 3 malam dari Kerajaan Samudra Pasai.

Apa yang dilakukan laksaman Cheng Ho, dalam melakukan laporan perjalanan ini memang membawa manfaat tersendiri bagi kalangan ilmuwan dalam meneliti Kerajaan Samudra Pasai.

Pusat Pemerintahan Kerajaan Samudra Pasai

Sebagai sebuah kerajaan yang sempat mengalami kejayaan maka keberadaan pusat kota Kerajaan Samudra Pasai saat itu terletaknya antara Krueng Jambo Aye (Sungai Jambu Air) dengan Krueng Pase (Sungai Pasai), tepat di bagian kawasan Aceh Utara.

Dalam salah satu keterangan lain yang ditulis oleh Ibn Batuthah, dikatakan bahwa Kerajaan Samudra Pasai ini tidak memiliki sebuah benteng pertahanan dari batu sebagaimana yang biasa dimiliki dan dibangun oleh kerajaan-kerajaan lainnya guna menghalau serangan musuh.

Namun, beberapa meter dari pinggiran pelabuhan Kerajaan Samudra Pasai, ternyata mereka memasang pagar-pagar yang terbuat dari kayu yang mengelilingi kota. 

Di sana, sebagai pusat kota maka dibangunlah sebuah masjid masjid sebagai simbol ibadah umat Islam, juga dbangun pasar untuk aktivitas perekonomian Kerajaan Samudra Pasai, serta lokasi ini juga dilalui oleh sungai tawar yang muaranya adalah ke laut.

Kemudian, muara Kerajaan Samudra Pasai ini menjadi membesar, tetapi ombak di sana sangatlah besar dan sangat mudah untuk membuat kapal menjadi terbalik. 

Para sejarawan menduga bahwa penamaan Lhokseumawe yang bermakna 'teluk yang airnya berputar-putar' kemungkinan berhubungan dengan keberadaan muara ini pada masa lalunya.

Dalam struktur pemeintahannya sendiri, Kerajaan Samudra Pasai menggunakan istilah-istilah, seperti Menteri, Syahbandar, dan Kadi. 

Sementara bagi putra dan putri raja diberi gelar Tun yang kemudian juga berlaku bagi beberapa petinggi kerajaan.

Posting Komentar untuk " Sejarah Kerajaan Samudra Pasai "