Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah dan Prasasti Mataram Kuno

prasasti-canggal

Prasasti Mataram Kuno merupakan peninggalan dari zaman Kerajaan Mataram Kuno, dari prasasti tersebutlah kita bisa mengetahui kejayaan dari kerajaan Mataram Kuno beserta dengan sejarah lain yang menyertainya.

Masing-masing raja dan keturunannya, biasanya mendirikan suatu prasasti sebagai suatu dokumentasi atau tonggak penanda.

Prasasti peninggalan Raja Sanjaya ditemukan di Magelang, tepatnya di Desa Canggal. Prasasti Canggal ini ditulis dalam bahasa Sansekerta menggunakan huruf Pallawa.

Isi dari prasasti yang mencantumkan angka tahun 732 M ini adalah mengenai peringatan pendirian suatu lingga di atas bukit yang terletak pada suatu daerah di Kunjarakunja.

Lingga merupakan lambang dari pendirian kerajaan. Letak lingga ini diketahui berada di Desa Canggal juga, tepatnya di Gunung Wukir.

Tak ditemukan lagi prasasti Prasasti Mataram Kuno lain peninggalan Sanjaya dan keturunannya sampai abad ke-9. Tetapi ada prasasti peninggalan Syailendra, para Syailendra ini mendesak keluarga Sanjaya.

Namun demikian Sanjaya masih berkuasa di sebagian daerah di Jawa Tengah. Ada kerjasama dalam hal tertentu antara wangsa Syailendra dengan wangsa Sanjaya, hal ini dapat diketahui dari isi Prasasti Kalasan.

Walaupun prasasti Kalasan ini juga berbahasa Sansekerta, tetapi huruf yang digunakan adalah Pranagari.

Prasasti Kalasan berangka tahun 778 M dan disebutkan bahwa Maharaja Tejah purnapana Panangkaran telah berhasil dibujuk oleh para Guru keluarga raja wangsa Syailendra untuk membangun Candi Kalasan dan Candi Sari.

candi-kalasan
credit:instagram@secret_temples

Candi Kalasan adalah bangunan suci bagi Dewi Tara, sedangkan Candi sari adalah suatu biara bagi para pendeta. Maka Desa Kalasan pun dihadiahkan dari Panangkaran untuk para sanggha.

Lalu siapa itu Panangkaran? Nah, kita bisa mengetahuinya dari prasasti Mataram Kuno lainnya yang dibuat beberapa ratus tahun kemudian, yaitu Prasasti Poh Pitu. 

Prasasti ini dibuat pada tahun 907 oleh Raja Balitung yang bernama Sri Maharaja Rakai Watukura dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu.

Informasi dalam prasasti tersebut mengungkapkan bahwa pengganti Sanjaya adalah Tejahpurnapana Panangkarana yang merupakan Rakai Panangkaran.

Selain pemerintahan wangsa Syailendra, terlihat bahwa pemerintahan wangsa Sanjaya tetap berlangsung. Keluarga Syailendra memeluk agama Buddha Mahayana yang cenderung condong ke Tantrayana. Sedangkan keluarga Sanjaya memeluk agama Hindu yang memuja Dewa Siwa.

Mengacu pada candi-candi Hindu abad ke-8 dan ke-9 yang berdiri di Jawa Tengah bagian utara, maka dapat disimpulkan bahwa kekuasaan Sanjaya ini berada di Jawa Tengah bagian Utara.

Sedangkan di Jawa Tengah bagian Selatan, terdapat candi-candi Buddha, ini berarti daerah kekuasaan Syailendra berada di wilayah tersebut. Namun kedua wangsa tersebut bersatu seiring dengan ikatan tali pernikahan antara Pramodhawardhani dengan Rakai Pikatan di pertengahan abad ke-9.

Pramodhawardani ini menyandang gelar Sri Kahulunan. Pasangan suami istri ini pun banyak membangun candi. Candi Hindu dibuat oleh Rakai Pikatan dan candi Budha oleh Pramodawardhani. Salah satu candi yang didirikan oleh Rakai Pikatan adalah Candi Prambanan.

Peresmian penyerahan sawah dan tanah demi pemeliharaan Kamulan di Bhumisambhara tertuang pada dua prasasti yang berangkakan tahun 842. 

Kamulan ini merupakan bangunan suci yang ditujukan untuk memuliakan nenek moyang, yaitu Borobudur. Candi Borobudur ini dibangun sekitar tahun 824 oleh keturunan Syailendra yang bernama wangsa Syailendra.

candi-borobudur
credit:instagram@ryan_fareld

Sayangnya kehidupan damai antara wangsa Syailendra dan wangsa Sanjaya pun tak selalu berjalan mulus. Balaputra yang merupakan adik Pramodawardhani dari ibu yang berbeda, pada tahun 856 berupaya melakukan kekuasaan Rakai Pikatan, namun gagal.

Tetapi dia berhasil meraih tahta di Sriwijaya. Kerajaan ini juga terdesak oleh wangsa Syailendra seperti halnya Mataram Kuno pada zaman Panangkaran.

Pada prasasti Nalanda disebutkan bahwa telah dihadiahkan tanah oleh Dewapaladewa demi keperluan pendirian biara oleh maharaja di Swarnadwipa yang bernama Balaputra.

Prasasti Nalanda tersebut berasal dari tahun 860an, dan Dewapaladewa adalah seorang raja Pala di Benggala. Sedangkan Balaputra adalah anak dari Samaragrawira atau Samaratungga, yaitu seorang pengganti Raja Dharanindra.

Balaputra juga merupakan cucu raja Jawa, yaitu Sri Wirawairimathana, gelar ini setara dengan gelar raja Dharanindra. Hal ini sebagaimana tertuang pada Prasasti Mataram Kuno Kelurak yang bertahunkan 782 di Prambanan.

Di Jawa sendiri, kekuasaan wangsa Syailendra pun berhasil dihapus oleh Rakai Pikatan, beliau pun turun tahta di tahun 856 dan digantikan oleh Rakai Kayuwangi. Rakai Kayuwangi yang bernama Dyah Lokapala memegang tampuk pemerintahan hingga tahun 886.

Gelar yang disandang oleh Rakai Kayuwangi adalah Abhiseka Sri Sajjanotsawatungga, namun sebutan yang biasa digunakan adalah Sri Maharaja.Abhiseka merupakan tanda keturunan Syailendra.

Tampuk pemerintahan Mataram Kuno pada tahun 886 hingga 898 dipegang oleh Rakai Watuhumalang. Setelah itu digantikan oleh Raja Balitung atau Rakai Watukura yang berkuasa dari tahun 898 hingga 910.

Rakai Watukura inilah yang banyak membuat peninggalan prasasti Mataram Kuno, termasuk prasasti Poh Pitu yang sempat dibahas sebelumnya. Prasasti-prasasti Rakai Watukura ini banyak tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Hal ini menandakan bahwa kekuasaannya meluas tak hanya di Jawa Tengah, tetapi di Jawa Timur juga. Kemungkinan Kerajaan Kanjuruhan di Jawa Timur juga berhasil ditaklukkan oleh Rakai Watukura ini. Hal ini juga didukung adanya jabatan Rakyan Kanuruhan pada masa Mataram Kuno.

Setelah Rakai Watukura, raja berikutnya adalah Daksa yang sempat duduk di jabatan tertinggi di bawah raja, yaitu rakyan mahamantri I hino. Tampuk kekuasaannya berada di kurun tahun 910 hingga 919.

Kemudian dilanjutkan oleh Tulodong pada tahun 919 hingga 924. Gelar yang disandang Tulodong adalah Rakai Layang Dyah Tulodong Sri Sajanasanmatanuraga Tunggadewa. Sejak tahun 924 hingga 929 kepemimpinan dipegang oleh Wawa yang menyandang gelar Wijayalokanamottungga.

Pemerintahan Mataram Kuno sejak tahun 929 dipegang oleh keturunan keluarga yang lain dari wangsa Isana, yaitu Mpu Sindok. 

Sejak tahun tersebut prasasti pun hanya bisa ditemukan di Jawa Timur, karena perpindahan pusat pemerintahan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.

Seiring dengan itu masa kekuasaan wangsa Sanjaya pun berakhir. Begitu banyak prasasti yang dibuat oleh Mpu Sindok, selain itu dilakukan juga penghimpunan kitab suci Sanghyang Kamahayanikan yang berisi ajaran dan ibadah aliran Buddha Tantrayana.

Prasasti Mpu Sindok pun kebanyakan berisi mengenai pembebasan pajak bagi tanah yang diperuntukkan bagi pendirian bangunan-bangunan suci.

Permaisuri Mpu Sindok adalah Sri Prameswari Sri Wardhani mpu Kbi yang menyandang gelar Sri Maharaja rake hino sri Isyana Wikramadharmottunggadewa. Permaisuri adalah putri dari Sri Wijayalokanamottungga.

Tampaknya Mpu Sindok ini naik tahta berkat hubungan pernikahannya, karena sebelumnya tidak ada gelar maharaja yang disandang oleh Mpu Sindok. Gelar Mpu Sindok adalah rakyan Sri Mahamantri mpu Sindok sang Sri Sand Tunggadewa Wijaya.

Putri Mpu Sindok, yaitu Sri Isanatunggawijaya, mengganti tampuk pemerintahan ayahnya. Hal ini dapat diketahui dari Prasasti Calcutta yang dibuat oleh Airlangga. Suami dari Sri Isanatunggawijaya adalah Raja Lokapala. Mereka dikaruniai anak lelaki yang bernama Makutawangsawardhana.

Kemudian Makutawangsawardhana pun memiliki putri bernama Mahendradatta yang kemudian diperistri oleh Raja Udayana. Raja Udayana dan Mahendradatta kemudian memerintah di Bali sejak tahun 989. 

Demikianlah sejarah yang dapat ditelisik dari prasasti Mataram kuno. Semoga berguna dan bermanfaat.

Posting Komentar untuk " Sejarah dan Prasasti Mataram Kuno"