Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Pangeran Benowo, Putra Joko Tingkir yang Tersingkir

Kisah Pangeran Benowo

Pada tahun 1568, Raja pertama Pajang, Sultan Hadiwijaya, yang juga dikenal sebagai Joko Tingkir, mulai memerintah. Namun, pada tahun 1587, Sultan Hadiwijaya diperkirakan meninggal dunia, dan terjadi konflik tahta di Kesultanan Pajang. Putra mahkota Sultan Hadiwijaya, Pangeran Benowo, malah tersingkir. 

Meskipun ia hanya menjadi Adipati Jipang, dalam waktu satu tahun, ia berhasil merebut kekuasaan Kesultanan Pajang. Namun, sebagai Raja Pajang, ia hanya bertahan setahun sebelum meninggalkan tahtanya. Inilah kisah Pangeran Benowo.

Dari Adipati Pajang menjadi Raja Pajang

Sebelumnya, Joko Tingkir hanya menjadi Adipati Pajang di bawah Kerajaan Demak Bintoro. Namun, Raja Demak ke-4, Sunan Prawoto, dibunuh oleh Rungkut, utusan Adipati Jipang, Aryo Penangsang. Kemudian, Kerajaan Demak dipindahkan ke Jipang, dan Aryo Penangsang menjadi raja kelima. 

Pembunuhan Sunan Prawoto memicu kemarahan putrinya, Ratu Kalinyamat. Ia meminta Joko Tingkir, yang juga merupakan adik iparnya, untuk membalas dendam. Sebagai imbalan nya, Ratu Kalinyamat berjanji akan memberikan Kerajaan Demak kepada Joko Tingkir.

Joko Tingkir mengutus anak angkatnya, Sutawijaya, Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi, dan Juru Martani untuk misi mengakhiri pemerintahan Aryo Penangsang. Misi ini sukses, dan Kerajaan Demak akhirnya diberikan kepada Joko Tingkir. Ia kemudian menjadi Raja Pajang dengan gelar Sultan Haji Wi, dan pusat Kerajaan Pajang dipindahkan ke Pajang. 

Sebagai ungkapan terima kasih, Sultan Hadiwijaya memberikan wilayah Pati kepada Giban Jawi, Ki Ageng Pemanahan, dan putranya, Nang Sutawijaya. Menariknya, Sutawijaya juga merupakan anak angkat Sultan Hadiwijaya.

Sutowijoyo kemudian menggantikan Ki Ageng Pemanahan sebagai Adipati Mataram pada tahun 1584. Ia kemudian mengembangkan kadipaten tersebut pada tahun 1586. Sutawijaya bahkan memproklamasikan Mataram sebagai kerajaan. Meskipun hal ini membuat Sultan Hadiwijaya marah, setahun kemudian, Sultan Hadiwijaya meninggal dunia. 

Kesultanan Pajang harus mencari pemimpin baru. Setidaknya ada tiga pewaris tahta yang kuat, yaitu putra Sultan Hadiwijaya, Pangeran Benowo, menantunya, Aryo Pangiri, dan Raja Arosbaya. Namun, atas pengaruh Panembahan Kudus, Aryo Pangiri akhirnya menjadi Raja Pajang.

Aryo Pangiri: Raja Kedua Kerajaan Pajang

Maka, raja kedua Pajang adalah Aryo Pangiri, dengan gelar Sultan Ngawan di Pura. Sedangkan Pangeran Benowo, yang merupakan satu-satunya putra kandung Sultan Hadiwijaya, hanya diberi jabatan Adipati Jipang, wilayah bekas Aryo Penangsang. Pangeran Benowo dikenal sebagai sosok yang lembut hati dan tidak terlalu tertarik pada politik. Oleh karena itu, tidak ada konflik berlarut di Pajang. Ia dengan ikhlas hanya menjadi Adipati Jipang.

Namun, Aryo Pangiri ternyata berbeda dengan pendahulunya, Sultan Hadiwijaya. Ia adalah seorang raja yang mudah curiga. Oleh karena itu, Aryo Pangiri mendatangkan banyak penduduk Demak ke Pajang karena masih merasa curiga terhadap beberapa orang Pajang. 

Ia juga mendatangkan pasukan dari Makassar dan Bugis. Lama-kelamaan, penduduk Pajang banyak yang tersisih karena pusat-pusat ekonomi diberikan kepada orang-orang Demak. Pasukan Bugis, Makassar, dan Demak juga lebih dipercaya oleh Aryo Pangiri.

Selain itu, Aryo Pangiri lebih fokus menaklukkan Mataram yang dipimpin oleh Sutowijoyo yang saat itu sudah bergelar Panembahan Senopati. Bagi Arya Pangiri, menaklukkan Mataram sangat penting untuk membulatkan kekuasaan dan pengaruh Pajang. Namun, fokusnya itu membuatnya kurang memperhatikan kesejahteraan rakyat Pajang. Akibatnya, rakyat Pajang semakin tersingkir dan menderita.

Pangeran Benowo dan Panembahan Senopati Bersatu

Keadaan tersebut membuat Pangeran Benowo, yang tadinya tidak terlalu suka politik dan konflik, akhirnya turun tangan. Pangeran Benowo meminta bertemu dengan Sutawijaya, yang juga dikenal sebagai Panembahan Senopati. 

Kedua tokoh ini akhirnya bertemu di Weru, daerah Gunung Kidul. Mereka memutuskan bahwa pemerintahan Aryo Pangiri sudah tidak bisa dibiarkan. Pangeran Benowo dan Panembahan Senopati pun menggabungkan pasukan Mataram dan Jipang untuk menyerang Pajang.

Pasukan Aryo Pangiri ternyata tidak terlalu tangguh. Salah satu sebabnya adalah para tentara bayaran Aryo Pangiri yang didatangkan dari seberang pulau. Mereka tidak memiliki loyalitas yang utuh. Selain itu, strategi perang Panembahan Senopati dan Pangeran Benowo lebih baik. 

Dalam waktu singkat, Pajang berhasil dikuasai oleh pasukan Mataram dan Jipang. Aryo Pangiri ditangkap, namun Pangeran Benowo, sebagai adik iparnya alias adik istri Aryo Pangiri, Ratu Pembayun, akhirnya mengampuninya.

Pangeran Benowo sebagai Raja Ketiga Pajang

Raja kedua Pajang, Aryo Pangiri, kemudian dikembalikan ke Demak. Sejak itu, Pangeran Benowo menjadi raja Pajang ketiga dengan gelar Prabu Wijaya. Namun, Pangeran Benowo memang lebih tertarik pada keilmuan agama. Hanya setahun menjadi raja, Pangeran Benowo menyerahkan kekuasaan Pajang kepada Panembahan Senopati. Ia memilih fokus menjadi ulama.

Ada kisah yang menyebutkan bahwa ia kemudian pindah ke Parakan, Jawa Tengah, dan berdakwah di sana. Namun, versi lain menyebutkan bahwa Pangeran Benowo kemudian pindah dan berdakwah ke daerah Jombang, Jawa Timur. Maka, di Jombang, ada makam Pangeran Benowo, tepatnya di Desa Wonomerto, Kecamatan Wonosalam.

Pangeran Benowo sengaja menyerahkan tahtanya kepada saudara angkatnya, Panembahan Senopati, untuk menghindari konflik keluarga. Sebagai ulama, ia memilih menghabiskan hidupnya berdakwah agama Islam. Mungkin dia sempat ke Parakan, kemudian pindah ke Jombang, sehingga ia meninggalkan petilasan di Jombang dan dimakamkan di sana.

Selain di Jombang, di Kompleks Makam Raja-raja di Masjid Demak, juga terdapat makam Pangeran Benowo. Makamnya berbeda dengan makam lainnya, karena lebih panjang. Makam Pangeran Benowo di Demak berada dekat dengan makam utama, yang terdiri dari Raden Patah dan permaisurinya, Dewi Murtoshima. 

Adipati Unus, Sultan Trenggono, dan Pangeran Surowiyoto entah dimana makam sebenarnya. Pangeran Benowo juga memiliki petilasan di daerah Kerajaan Surabaya, yang diyakini sebagian orang sebagai makam Pangeran Benowo. Nama lain dari Pangeran Benowo adalah Syekh Abdul Halim Benowo.

Banyak yang percaya bahwa makam aslinya ada di Jombang, sementara makam Pangeran Benowo di Masjid Demak hanya sebagai simbol penghormatan. Makam Pangeran Benowo di Jombang juga disertai beberapa peninggalan, seperti pedang, kitab, dan bedug kecil mirip rebana.

Meskipun sebagai anak raja dan memiliki peluang kuat untuk meneruskan tahta raja di Kesultanan Pajang, Pangeran Benowo tidak terlalu berambisi politik. Ia mengalah ketika tersingkir oleh Aryo Pangiri. Setelah berhasil menduduki tahta raja Pajang, Pangeran Benowo memilih menyingkir dari kekuasaan dan mengabdikan hidupnya pada jalan keilmuan dan dakwah agama Islam ke berbagai daerah.

Keturunan Pangeran Benowo kemudian banyak yang menjadi orang besar dan ulama, salah satunya adalah pendiri Nahdlatul Ulama, yakni Kyai Haji Hasyim Ashari. Kyai Haji Hasyim Ashari kemudian memiliki anak, Kyai Haji Wahid Hasyim, dan memiliki cucu, Kyai Haji Abdurrahman Wahid, yang juga dikenal sebagai Gus Dur.

Posting Komentar untuk " Kisah Pangeran Benowo, Putra Joko Tingkir yang Tersingkir"