Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sikap Tepo Seliro,Budaya Gotong Royong Dan Relevansinya Dalam Kehidupan Masa Kini


Sikap Tepo Seliro,Budaya Gotong Royong Dan Relevansinya Dalam Kehidupan Masa Kini

Dalam sikap dan budaya tepo seliro, terdapat dua macam kaidah utama yang merupakan kaidah dasar dalam falsafah kehidupan suku Jawa yaitu prinsip kerukunan dan prinsip saling hormat menghormati.

Kerukunan bertujuan untuk memelihara dan mempertahankan keharmonisan dalam masyarakat. Kerukunan bisa kita terjemahkan sebagai sebuah kondisi yang selaras, tenang, tentram tanpa adanya percekcokan , pertentangan dan perselisihan dalam masyarakat. 

Sedangkan prinsip saling hotmat menghormati menurut pendapat dari Frans Magnis Suseno (2001:39) menyatakan agar manusia dalam berbicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai derajat dan kedudukannya.

PRINSIP KERUKUNAN

Kerukunan menuntut agar setiap orang dan individu bersedia untuk menomor duakan kepentingan pribadinya, atau jika perlu, seseorang harus melepaskan kepentingan pribadinya demi kesepakatan bersama. 

Masyarakat Jawa selalu mendidik anak-anaknya untuk belajar hidup rukun dalam kehidupannya. Pendidikan tentang kerukunan dimulai dengan cara belajar rukun dengan anggota keluarga yang lain. 

Sikap untuk tidak bertengkar dengan sesama anggota keluarga ditanamkan dengan ungkapan "cecengilan iku ngedohake rejeki". Artinya adalah bahwa pertengkaran dengan sesama saudara atau siapa pun akan mengakibatkan anugerah rejeki semakin jauh.

Perilaku kerukunan dalam masyarakat yang lain adalah budaya Gotong royong, Tepo seliro, dan Rembug. Gotong royong bertujuan untuk saling bantu - membantu dalam melakukan pekerjaan bersama demi kepentingan bersama. 

Masyarakat Jawa sejak zaman dahulu telah melaksanakan budaya gotong- royong sebagai upaya untuk menyadari kepentingan individual (di kutip dari Frans Magnis Suseno, 2001: 57).

Contoh nyata dari budaya Gotong royong dalam masyarakat jawa antara lain :
  • Layat, yakni bertakziah dan membantu orang yang terkena musibah kematian.
  • Gugur gunung, yakni upacara untuk keselamatan desa.
  • Dan sebagainya.

Menurut pendapat Frans Magnis Suseno (2001:61) mengatakan bahwa Tepo seliro adalah sikap individu untuk mengontrol pribadinya berdasarkan kesadaran diri. Tepo seliro membuat masyarakat meletakan dirinya dalam tata pergaulan sosial berdasarkan keputusan diri dan kesukarelaan hati.

Wujud tepo seliro adalah sikap menjaga hubungan baik dalam segala bidang dan aspek kehidupan bermasyarakat. Hubungan yang baik dalam bermasyarakat terkait dengan peranan dari masing-masing anggota masyarakat tersebut. 

Contoh nyata dari sikap tepo seliro antara lain :

1. Lung tinulung ( Bantu membantu ) , adalah merupakan salah satu usaha untuk mencapai kerukunan dalam masyarakat. 

Nilai kerukunan menjadi alasan bagi kita untuk membantu sanak saudara kita yang berada jauh sekalipun, bahkan apabila mereka tidak disukai dan kita sebenarnya merasa tidak peduli pada mereka. 

Alasan kerukunan mengakibatkan munculnya sikap menerima saudara dirumahnya sendiri serta kesediaan menyelenggarakan kebutuhan saudaranya tersebut ( dikutip dari Frans Magnis Suseno, 2001: 48). 

2. Rembug (musyawarah), yaitu merupakan Musyawarah atau rembug merupakan kebiasaan dan usaha untuk menjaga kerukunan. 

Musyawarah atau rembug, yaitu proses pengambilan keputusan dengan saling berkonsultasi. Musyawarah atau rembug adalah prosedur dimana semua suara dan pendapat didengarkan. Semua suara dan pendapat dianggap benar dan membantu untuk memecahkan masalah. 

Musyawarah berusaha untuk mencapai kebulatan kehendak atau pikiran. Kebulatan itu merupakan jaminan kebenaran dan ketepatan keputusan yang akan diambil. Kebenaran termuat dalam kesatuan dan keselarasan kelompok yang bermusyawarah. 

Kebenaran tidak dicari diluar kelompok, atau mereka yang paling berkuasa (dikutip dari Fans Magnis Suseno, 2001: 51).

PRINSIP SALING HORMAT MENGHORMATI

Prinsip hormat - menghormati berfungsi untuk menjaga kesalarasan hubungan antara anggota masyarakat. Sikap hormat menghormati berkaitan dengan budi pekerti dan unggah- ungguh dan tata krama suku Jawa. 

Orang Jawa, selalu mendidik anak - anak mereka sejak dini agar fasih mengaplikasikan sikap hormat menghormati secara tepat. Sikap hormat menghormati terhadap hubungan keluarga yaitu mohon maaf dan restu kepada orang tua atau kepada orang lain yang lebih tua. 

Orang Jawa memohon restu kepada orang tua sebagai sebuah tanda penghormatan. Anak-anak harus menghormati dan mematuhi (ngajeni) orang tua mereka. Penghormatan kepada orang tua dinyatakan dengan kepatuhan dan penggunaan tata bahasa yang sopan. 

Rasa hormat dan patuh seorang anak dinyatakan dengan sikap tunduk. Sikap tunduk biasanya ditunjukan dengan cara menganggukan kepala dan menundukan pandangan matanya. Sikap hormat pada orang tua terdorong oleh ungkapan "wong tuwa ala-ala malati", artinya walaupun jelek, orang tua itu bertuah. 

Tindakan dan sikap tidak menghormati orang tua akan menimbulkan akibat buruk yang disebut kuwalat (di kutip dari Endraswara, 2003a: 83). 

Sikap hormat menghormati juga ditampilkan dalam bentuk sikap unggah- ungguh, Unggah-ungguh merupakan konsekuensi logis dari adanya pengakuan dan segregasi sosial. Segregasi sosial terwujud dalam bentuk perbedaan derajat dan kedudukan dalam masyarakat. 

Sebagai di ketahui bahwa masyarakat Jawa terbagi dalam golongan masyarakat bawah atau disebut wong cilik dan masyarakat dengan label priyayi.

Kedudukan seseorang tergantung pada sejumlah sistem tataran yang berbeda-beda. Kedudukan ini sifatnya bebas, dapat dimiliki lebih dari satu, dapat berbenturan atau memperkuat satu sama lain. 

Seseorang dapat saja berkedudukan tinggi pada jenjang tataran yang satu, akan tetapi rendah pada tataran yang lain. Sistem tataran yang menentukan kedudukan manusia dalam suku Jawa ini penting untuk menentukan tata pergaulannya dalam masyarakat. 

Umur seseorang juga dijadikan sebasgai sebuah ukuran dalam bersikap hormat. Ukuran umur membagi masyarakat dalam golongan orang tua atau sesepuh dan golongan muda atau lazim disebut nom-noman

Unggah-ungguh mencakup beberapa perbuatan baik dalam berbicara maupun bertindak, seperti ragam bahasa dan penampilan diri. 

Pada masyarakat suku Jawa tingkatan tata bahasa terdiri dari : 
  • Ngoko, merupakan tata bahasa Jawa yang biasanya digunakan oleh orang-orang yang mempunyai tingkat kedudukan yang sederajat. 
  • Krama madya, merupakan bahasa campuran antara bahasa krama dan bahasa ngoko yang dipakai dalam pembicaraan antara seorang dengan orang lain yang lebih rendah derajatnya, tapi umumnya digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua. 
  • Krama inggil, merupakan bahasa yang digunakan dalam pembicaraan antara seseorang dengan orang yang dihormatinya. 
Tata krama berbicara sangat erat kaitannya dengan tata krama yang lain, seperti misalnya sikap duduk, sikap menasehati dan sebagainya. Tata krama duduk atau adab duduk pada masyarakat Jawa masih diatur sampai sekarang. Aturan ini berlaku untuk tata cara duduk dengan kursi maupun duduk tanpa kursi. 

Duduk dengan menggunakan kursi tidak memperkenankan bagi golongan muda untuk duduk pada posisi yang lebih tinggi dan bertumpang kaki. Duduk dilantai umumnya dilakukan dengan bersila (bagi laki-laki) dan bersimpuh bagi kaum perempuan. 

Penampilan diri dapat menyertai ungah-ungguh dalam berbicara. Sikap hormat dalam penampilan diri dapat ditunjukan dengan berbagai cara seperti sikap badan, tangan, nada suara, istilah menyapa dan cara berpakaian yang dianggap sesuai dengan keadaan dan kedudukannya.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Sikap Tepo Seliro,Budaya Gotong Royong ternyata masih sangat relevan dengan kehidupan zaman moderen seperti sekarang ini, terutama di lingkungan sekitar kita, adapun perubahan itu dikarenakan perubahan zaman yang menuntut perubahan atau penyesuaian pada penerapannya. 

Kita mugkin tidak bisa melaksanakan hal tersebut secara sempurna karena juga harus disesuaikan dengan kehidupan sekarang. Namun kita perlu untuk mengambil sisi positifnya saja. Agar generasi yang akan datang bisa melestarikan sikap dan budaya tersebut dalam kehidupan sehari - hari.

referensi : http: ivanilasukma.blogspot.com
credit :
Endraswara, Suwardi. 2003a. Budi Pekerti dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta:
Hanindita.
Suseno, Frans Magnis. 1984. Etika Jawa Sebuah Analisa Filsafati Kebijaksanaan
Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.

Posting Komentar untuk "Sikap Tepo Seliro,Budaya Gotong Royong Dan Relevansinya Dalam Kehidupan Masa Kini"