Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Iceberg Phenomenon, Masalah Sosial Budaya

 

Iceberg Phenomenon, Masalah Sosial Budaya
credit:instagram@budayanusantara_

Iceberg Phenomenon, Masalah Sosial BudayaDari sekian banyak fenomena alam di bumi ini, salah satu yang salah satu yang paling menarik adalah fenomena gunung es. Gunung es ini terjadi karena adanya bagian es di daratan yang jatuh ke lautan.

Bongkahan gunung es ini dapat ditemukan di daerah perairan kutub, dan sejak semakin panasnya suhu bumi akibat global warming maka bongkahan gunung es ini juga semakin banyak terlihat.

Namun, bila diperhatikan ternyata bagian es yang tenggelam di bawah permukaan air ternyata jauh lebih besar, yaitu 2/3 bagian dari es yang menyembul dan terapung di atas permukaan air yang hanya 1/3 nya saja.

Banyak orang yang tertipu dengan Iceberg Phenomenon ini. Mereka hanya melihat apa yang ada di permukaanya saja tanpa memperhatikan di kedalamannya. Padahal sangat riskan apabila mengabaikan bagian es yang tak terlihat ini.

Banyak kapal yang menabrak dan karam di lautan karena mengabaikan bagian es yang tak terlihat ini. Anda pasti ingat dengan tragedi karamnya kapal Titanic.

Jadi tak elok rasanya bila dalam segala hal kita hanya fokus pada hal-hal kecil yang kasatmata, namun mengabaikan hal yang lebih besar, lebih mendasar dan lebih prinsip tetapi tidak banyak orang yang tahu.

Saat ini kondisi sosiografi di Indonesia nampaknya sesuai dengan iceberg phenomenon di atas. Banyak orang melihat indikasi kesuksesan pembangunan hanya dilihat dari penampilan fisiknya semata.

Pertumbuhan infrastruktur, seperti jalan raya, gedung, apartemen, pusat perbelanjaan, perumahan, kendaraan dan lain sebagainya. Penikmatnya? Siapa lagi kalau bukan orang yang tinggal di kota-kota besar, seperti Jakarta.

Di kota, masyarakatnya seperti berlomba-lomba pamer penampilan. Indikasinya, setiap tahun produksi kendaraan bermotor terus meningkat sehingga membuat macet jalan.  Terkadang dalam satu keluarga masing-masing anggota mempunyai mobil sendiri-sendiri.

Pemakaiannya pun sering irasional, sekedar membeli pulsa saja harus ke mall terdekat yang berjarak 2-3 km dengan menggunakan mobil, seperti tak ada cara lain yang lebih ramah laingkungan.

Padahal jumlah orang kota jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah keseluruhan penduduk, namun ternyata kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya jauh lebih besar dan menimpa ke semua orang.

Sementara masyarakat desa yang tinggal di pelosok, atau masyarakat miskin kota yang terselip di antara bangunan tinggi jumlah mereka jauh lebih besar, namun hanya seperti penonton yang menyaksikan derasnya pembangunan dengan mulut yang ternganga. Ibarat es yang terapung, mereka ada di bagian bawah yang tidak terlihat.

Mereka akan menunggu dengan sabar kue pembangunan yang disebar. Namun, bila mereka diacuhkan dan dianggap orang barbar yang tak pernah pintar, maka akan timbul ketidakpuasan dan ketidakpercayaan di masyarakat. 

Itulah sebabnya sering timbul aksi massa dan kerusuhan horisontal antarwarga, disertai dengan penyerangan terhadap simbol-simbol pemerintah yang ada.

Sepertinya fenomena gunung es telah menjadi masalah sosial budaya yang melanda negeri tercinta. Tak ada satu pihak pun yang mampu menjamin kapan episode terakhir permasalahan ini, termasuk pemerintah sekali pun. 

Apabila terus terjadi pembiaran, maka peristiwa yang dialami Titanic akan terjadi, kapal menabrak es, sang nakhoda hanya memperhatikan bongkahan es yang terlihat di permukaan, namun mengabaikan bagian es yang ada di bawah permukaan, padahal jumlahnya jauh lebih besar, sehingga kapal karam dan tenggelam.

Kita tentu tak mau hal ini terjadi di sini, di negeri tercinta Indonesia.

Posting Komentar untuk " Iceberg Phenomenon, Masalah Sosial Budaya"