Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kanekes, Sejarah Suku Baduy dan Kehidupannya

suku-baduy
credit:instagram@denikoes

Suku Baduy merupakan salah satu suku asli yang masih tersisa di Indonesia. Dengan letak yang tidak jauh dari ibu kota, Suku Baduy sering menjadi pusat penelitian oleh para  budayawan dan wartawan yang tertarik dengan kehidupan mereka yang terisolir. 

Tahukah Anda sejarah Suku Baduy?

Mengapa Suku Baduy menyebabkan rasa penasaran dan ketertarikan tersendiri bagi orang luar? Hal itu karena kesuksesan mereka dalam menjaga kemurnian tradisi dan budaya mereka di tengah zaman modern seperti sekarang ini, bahkan dengan lokasi tempat tinggal mereka yang relatif dekat dengan pusat kota.

Adakah semua ini berhubungan dengan sejarah Suku Baduy itu sendiri atau karena cara pandang mereka dalam melihat kehidupan ini? Untuk mengetahuinya ada baiknya jika kita menilik terlebih dahulu tentang suku Baduy ini.

Suku Baduy, Orang Kanekes

Ada sebabnya Suku Baduy tidak mau dipanggil Baduy? Hal itu karena Suku Baduy merupakan tribe atau suku yang kurang terpelajar di Arab dan bersifat nomaden atau berpindah-pindah. Mereka lebih suka dipanggil dengan sebutan orang Kanekes. Kanekes adalah nama daerah tempat dimana suku mereka tinggal.

Kanekes merupakan wilayah yang terletak di kaki pegunungan Kendeng, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung provinsi Banten. 

Dengan jumlah populasi sekitar 800 jiwa, orang Kanekes terbagi menjadi tiga wilayah utama, yaitu Desa Cibeo, Cikeusik dan Cikerta Warna. 

Pembagian yang sesungguhnya terdiri atas tiga kelompok, yaitu:

1. Kelompok Tangtu

suku-baduy-dalam
credit:instagram@ferdinantagaroa

Orang-orang yang termasuk kelompok Tangtu adalah orang-orang Kanekes dalam yang tinggal di tiga desa yaitu Desa Cibeo, Cikeusik dan Cikerta Warna. Mereka adalah orang Kanekes yang paling memegang teguh adat istiadatnya. 

Berikut ini adalah contoh adat istiadat yang mereka pegang teguh, antara lain:

a. Tidak diperkenankan menggunakan teknologi apapun.

b. Tidak ada listrik.

c. Menggunakan pakaian berwarna putih atau hitam yang ditenun sendiri.

d. Tidak boleh menggunakan alas kaki.

e. Tidak boleh menggunakan sarana transportasi sama sekali. Orang Kanekes terbiasa berjalan kaki ke mana-mana, tidak peduli berapapun jauhnya.

f. Tidak menggunakan produk apapun dari luar Kanekes, seperti produk kebersihan (sabun, odol, sikat gigi, dan lain sebagainya).

Orang Kanekes menggunakan tanaman yang tumbuh di sekitar tempat tinggal mereka sebagai alat kebersihan, seperti sabut kelapa untuk sikat gigi dan larek untuk mencuci baju. Di Kanekes tidak terdapat kamar mandi. Semua kegiatan dilakukan di sungai, mulai dari mandi sampai buang hajat.

g. Tidak merokok.

h. Tidak mabuk-mabukan.

i.  Tidak boleh berfoto.

j. Orang asing dilarang masuk wilayah mereka.

k. Pintu rumah harus menghadap ke arah utara atau selatan, kecuali rumah ketua adat yang dipanggil puun. Rumah puun tidak bisa dimasuki oleh sembarang orang tanpa adanya keperluan khusus, ada anggapan tidak sopan untuk bertandang ke rumah puun.

l. Tidak diperkenankan untuk menikah dengan orang luar sehingga pernikahan mereka tidak mempedulikan hubungan persaudaraan atau pertalian darah. Pasangan hidup hanya satu seumur hidup dan tidak diperkenankan ada perceraian.

Jika aturan-aturan tersebut tersebut dilanggar, maka akan diberi sanksi atau hukuman dengan diusir dari daerah Kanekes dalam dan kemudian berdiam di Kanekes luar.

2. Kelompok Panamping

suku-baduy-luar
credit:instagram@denikoes

Orang-orang kelompok Panamping dikenal juga sebagai orang Kanekes luar. Mereka tinggal di Kanekes luar karena melanggar adat istiadat yang berlaku di Kanekes dalam. Pelanggaran yang paling banyak dilakukan adalah penggunaan teknologi atau penggunaan produk dari luar Kanekes.

Walaupun penggunaannya masih dilakukan secara diam-diam karena aturan pelarangan menggunakan peralatan teknologi berlaku baik di Kanekes dalam maupun Kanekes luar.

Salah satu penyebab mereka tinggal di Kanekes luar adalah karena mereka menikah dengan orang Kanekes luar. Hal ini tentu saja bertentangan dengan adat yang berlaku di Kanekes dalam.

Ciri-ciri orang Kanekes luar adalah sebagai berikut:

a. Mereka menggunakan pakaian adat berwarna hitam atau biru.

b. Anak-anak Kanekes luar tidak bersekolah, sama seperti anak Kanekes dalam. Bagi mereka bersekolah merupakan pelanggaran terhadap adat yang berlaku.

c. Mereka boleh bercerai dan masing-masing keluarga hanya boleh memiliki empat orang anak.

d. Tersedia fasilitas kamar mandi walaupun seadanya.

e. Orang Kanekes luar masih menerima dan melaksanakan aturan adat orang Kanekes dalam.

3. Kelompok Dangka

Orang Baduy Dangka adalah orang Baduy yang sudah terlepas sama sekali dari Kanekes, baik itu secara wilayah maupun secara adat istiadat. Mereka masih keturunan Kanekes dalam maupun Luar, namun biasanya sudah tidak bermukim lagi di wilayah tersebut.

Berbagai Versi Sejarah Suku Baduy

wanita-suku-baduy
credit:instagram@fotobaduy

Versi Orang Kanekes

Menurut mereka, orang Kanekes merupakan keturunan Batara Cikal. Batara Cikal adalah salah satu dari tujuh dewa yang turun ke bumi yang memiliki tugas mengatur keseimbangan di muka dunia.

Hal ini serupa sama dengan Nabi Adam dalam Islam yang merupakan manusia pertama yang turun ke bumi. Orang Kanekes pun percaya bahwa mereka keturunan Nabi Adam dan bertugas untuk menjaga harmoni dan keseimbangan dunia.

Versi Para Sejarawan

Berdasarkan prasasti yang ditemukan, para ahli sejarah menemukan bahwa orang Kanekes sangat erat hubungannya dengan Kerajaan Pajajaran (Sunda), yang berpusat di Bogor. Pada abad ke 16, Banten masih merupakan bagian dari Kerajaan Pajajaran dan merupakan pelabuhan yang sangat ramai.

Sementara Sungai Ciujung yang bermuara di Banten merupakan lalu lintas perdagangan yang sangat vital. Untuk menjaga keamanan Sungai tersebut, maka prajurit-prajurit pilihan harus tinggal di muara sungai tersebut dan kelak menjadi Suku Baduy atau orang Kanekes.

Hal ini berhubungan dengan sifat keterisolasian Suku Baduy karena para prajurit pilihan tersebut menutup identitas mereka agar tidak diketahui oleh musuh.

Versi Von Tricht

Teori yang dikemukakan oleh para sejarawan disangkal oleh seorang dokter yang bernama Von Tricht yang berkunjung ke Baduy pada tahun 1928. Von Tricht mengadakan penelitian dan menemukan bahwa Suku Baduy merupakan suku asli yang ada di sana sejak lama.

Menurutnya Suku Baduy mempunyai sifat daya tolak yang sangat keras terhadap kebudayaan dan pengaruh luar, sekaligus juga tidak mampu mengadopsi kebudayaan di sekelilingnya yang terus berkembang.

Pendapat ini sesuai dengan pendapat Danasasmita dan Djatisunda. Menurut mereka, raja yang berkuasa di daerah Baduy saat itu adalah Rakeyan Darmasiksa dan memerintahkan masyarakat Baduy untuk menjaga kabuyutan. Kabuyutan adalah tempat pemujaan nenek moyang.

Tempat pemujaan nenek moyang itu dijaga kesuciannya dan dinamakan Mandala (suci). Kabuyutan itu dikenal dengan Kabuyutan Jati Sunda atau Sunda Asli atau Sunda Wiwitan. Karena hal tersebutlah hingga saat ini kepercayaan orang Kanekes disebut sebagai Sunda Wiwitan.

Versi Prabu Siliwangi

Alkisah, Prabu Siliwangi memiliki putra yang bernama Kian Santang. Kian Santang berniat menyiarkan agama Islam, namun ditolak oleh Prabu Siliwangi dan pindah ke wilayah Rangkasbitung, Lebak.

Prabu Siliwangi yang kemudian bergelar Prabu Kencana Wungu, menetap di Rangkasbitung bersama empat pengikutnya. Mereka dan keturunannya lah yang kemudian dikenal sebagai Suku Baduy.

Kehidupan Suku Baduy Saat Ini

Suku Baduy sangat memegang teguh adat istiadat yang dilaksanakan sejak dahulu, walaupun adat tersebut hanya berupa lisan yang diberitakan secara turun temurun. Kepercayaan mereka disebut Sunda Wiwitan, dengan intisari terpentingnya adalah ‘tidak merubah apapun’.

Suku Baduy memiliki semboyan: “Lojor henteu beunang dipotong, pendek teu beunang disambung” yang artinya “panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung”.

Hal ini mencerminkan sifat Suku Baduy yang menghormati alam sekitarnya sehingga dalam bercocok tanam pun mereka tidak menggemburkan tanah demi terjaganya harmoni alam yang mereka diami.

Walaupun mengisolasikan diri, namun mereka mengakui adanya pemerintahan. Hal ini tercermin dalam pemberian seba (hasil pertanian) kepada Pemerintah Daerah Banten melalui Bupati Lebak. Pemberian seba ini dilaksanakan dalam upacara adat yang dilaksanakan setahun sekali.

Dibalik ketertutupannya, sebetulnya Suku Baduy mencerminkan bentuk pertahanan dan pelestarian adat yang diwariskan secara turun menurun. Persaudaraan di antara orang Kanekes sangat erat dengan interaksi satu sama lain. Hal ini tentu saja sangat positif karena pelestarian budaya Suku Baduy dapat terjaga seterusnya.

Demikianlah artikel tentang Kanekes, Sejarah Suku Baduy dan Kehidupannya. Semoga bermanfaat dan dapat menambah wawasan Anda.

Posting Komentar untuk " Kanekes, Sejarah Suku Baduy dan Kehidupannya"