Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tradisi Luhur Masyarakat Suku Baduy Yang Tetap Lestari


Tradisi Luhur Masyarakat Suku Baduy Yang Tetap Lestari

Seperti yang sudah saya pernah sampaikan pada artikel sebelumnya mengenai Kearifan Lokal Suku Baduy Provinsi Banten Yang Tetap Terjaga, maka pada artikel kali ini saya akan lanjutkan dengan mengupas tentang Tradisi Luhur Masyarakat Suku Baduy Yang Tetap Lestari.

Suku Baduy yang tinggal di Kabupaten Lebak, provinsi Bnaten terdiri dari dua golongan yakni suku Baduy Dalam dan suku Baduy luar. Ada sejumlah ciri yang bisa kita kenali dari kedua golongan suku Baduy ini, salah satunya adalah dari cara mereka berpakaian (terutama corak warnanya). Pakaian adat suku Baduy Dalam di dominasi oleh warna putih sedangkan suku Baduy luar di dominasi oleh warna hitam dan biru.

Jika kita berbicara tentang filosofi suku Baduy, maka tentu ada kaitannya dengan adat istiadat dan tradisi yang menjadi keseharian mereka dalam bermasyarakat. Ada banyak sekali contoh tentang Tradisi Luhur Masyarakat Suku Baduy Yang Tetap Lestari hingga sekarang yang dapat kita pelajari.

Beberapa tradisi luhur tersebut akan saya bagikan kepada Anda di bawah ini, jadi silahkan membaca artikel ini hingga selesai agar mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam.

Tradisi Luhur Masyarakat Suku Baduy Yang Tetap Lestari
image via instagram@diditdees

1. TRADISI SEBA

Suku Baduy memiliki sebuah tradisi luhur yang disebut tradisi "SEBA". Tradisi Seba ini di lakukan oleh suku Baduy pada setiap tahunnya. Pada tradisi Seba ini sekitar 1.500 masyarakat suku Baduy dengan cara berjalan kaki ini akan datang dan menggeruduk pusat kota Rangkasbitung untuk berjumpa dengan bupati Raskabitung.

Setelah bertemu dengan Bupati, maka keesokan harinya, perjalanan Seba dilanjutkan ke Kota Serang untuk bertemu dengan gubernur Banten yang mereka sebut sebagai 'Bapak Gede'. Pada masing-masing pertemuan dengan kepala daerah tersebut, para pemangku adat akan menyampaikan pesan-pesan penting tentang adat suku Baduy.

Tradisi Seba adalah tradisi luhur suku Baduy yang di wariskan secara turun temurun dari generasi pertama ke generasi berikutnya dan (disebut) sebut sebagai tutup tahun sebagai ajang silaturahmi.  

Tradisi dan ritual Seba yang merupakan pertemuan antara warga Baduy dengan para kepala daerah bukan hanya menjadi sebuah ajang rutinitas tahunan semata. 

Tradisi ini juga dijadikan sebagai pelaksanaan amanat dari para leluhur dan permintaan adat supaya alam di provinsi Banten tetap dijaga kelestariannya dan di cegah dari berbagai kerusakan yang terjadi.

Tradisi Seba merupakan sebuah upacara wajib yang harus dilakukan setelah dilaksanakannya tradisi upacara lain yang disebut tradisi Kawalu. Jarak yang di tempuh ketika melakukan tradisi Seba ini sekitar 100 kilometer dan harus dilaksanakan dengan cara berjalan kaki, serta tidak di perbolehkan dengan naik kendaraan bermotor atau sejenisnya.

2. TRADISI KAWALU

Tradisi Luhur Masyarakat Suku Baduy Yang Tetap Lestari
image via instagram@anggunpratiwip

Tradisi kedua yang dilaksanakan oleh masyarakat suku Baduy, dalam hal ini adalah suku Baduy Dalam adalah tradisi ritual Kawalu yang artinya wilayah pemukiman suku Baduy Dalam ini tertutup dari orang luar (wisatawan/pendatang). 

Ritual Kawalu ini merupakan agenda rutin tahunan sebagai aktualisasi menjaga nilai-nilai luhur masyarakat adat  suku Baduy. Nnatinya setelah selesainya ritual Kawalu ini akan di lanjutkan dengan tradisi yang lain yakni tradisi Seba seperti yang sudah diuraikan di atas.

Penetapan mengenai waktu pelaksanaan tradisi ritual Kawalu didasarkan pada kesepakatan Tangtu Tilu dengan Kepala Desa Kanekes. Untuk waktu pelaksanaan tradisi Kawalu tahun ini di mulai dari tanggal 25 Februari hingga 30 Mei 2020 yang lalu. Tradisi Kawalu ini disebut Kawalu Tembey (mulai tanggal 1 Safar menurut Kalender suku Baduy).

Ketika sedang menjalani ritual Kawalu ini masyarakat suku Baduy Dalam akan menutup diri dari orang luar selama tiga bulan lamanya dan akan berlangsung dalam tiga tahapan, yakni Kawalu Tembey (awal), Kawalu Tengah, dan Kawalu Tutug (akhir).

Menurut penuturan dari Uday Suhada, yang merupakan seorang pendamping masyarakat Adat Baduy , momentum ritual Kawalu ini dapat diartikan sebagai semacam penutupan wilayah (lockdown) seperti saat ini, untuk menghindari segala macam penyakit, baik fisik maupun nonfisik, yang dibawa oleh para pendatang yang berkunjung ke pemukiman mereka.

Tradisi Kawalu ini merupakan salah satu contoh dan teladan dari kearifan lokal suku Baduy dalam melindungi komunitas mereka terhadap penyebaran penyakit seperti saat ini. 

Dalam pelaksanaan tradisi Kawalu ini ketiga kampung suku Baduy Dalam yakni  Kampung Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo semua menutup diri dari orang luar. Semua akses menuju ke lokasi tiga kampung tersebut benar - benar di tutup untuk masyarakat umum, mulai dari Ciboleger, Cisimeut, Cibeo.

Barang-barang yang diperkirakan mengandung penyakit dan wabah, semuanya disingkirkan. Demikian pula dengan pola hidup yang merusak tradisi hidup berdampingan masyarakat suku Baduy dengan alam juga di singkirkan.

Masyarakat suku Baduy telah menerapkan berbagai macam kebijakan dengan keteladanan dengan aksi nyata mereka. Ada begitu banyak aturan yang tidak tertulis di masyarakat suku Baduy yang tidak boleh dilanggar, melainkan untuk dipatuhi. 

3. MEMASAK DENGAN KAYU BAKAR


Tradisi Luhur Masyarakat Suku Baduy Yang Tetap Lestari
image via instagram@3dywu

Suku Baduy masih mempertahankan cara memasak makanan yang diwariskan oleh para leluhur mereka di masa lalu. Dalam memasak makanan ini, mereka masih menggunakan cara - cara tradisional, seperti penggunaan tungku tradisional dan bahan bakar kayu sebagai alat untuk memasak. 

Maka, tidak megherankan jika kayu bakar menjadi salah satu bahan pokok yang harus dipenuhi untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat suku Baduy.

Hal ini juga dilakukan oleh kelompok masyarakat suku Baduy luar. Meskipun mereka  sudah mengenal praktik membeli makanan dari luar kampung, suku Baduy Luar masih memakai cara memasak tradisional dalam mengolah makanan mereka, yakni menggunakan kayu bakar tersebut.

4. ARSITEKTUR RUMAH TANPA SEMEN TAPI TETAP KOKOH


Tradisi Luhur Masyarakat Suku Baduy Yang Tetap Lestari
image via instagram@dewie_shahab

Dalam membangun rumah mereka, masyarakat suku Baduy menggunakan bahan-bahan konstruksi yang mereka peroleh dari alam seperti kayu dan batu kali. Bahan - bahan bangunan semacam batu bata atau semen yang lazim digunakan di kota tidak akan bisa ditemui di perkampungan suku Baduy ini.

Fungsi dari semen dan batu bata sebagai konstruksi utama bangunan rumah digantikan oleh kayu, bambu, dan bahan-bahan alami lainnya. Potongan kayu digunakan sebagai tiang untuk menopang berdirinya rumah mereka, sementara anyaman bambu digunakan sebagai lantai rumah dan juga sebagai dinding rumah.

Sebagai pengikat bahan-bahan tersebut, warga Baduy pada umumnya menggunakan serat dari rotan atau serat kayu yang dapat dengan mudah mereka peroleh dihutan.

5. MENGUBURKAN JENAZAH TANPA NISAN

Sebagai mahluk hidup maka suku Baduy juga mengalami apa yang disebut sebagai kematian. Dan masyarakat suku Baduy memiliki tradisi yang khas dalam penguburan jenazah yang unik dan berbeda dengan yang kebanyakan orang lakukan.

Ketika menguburkan jenazah, mereka akan menggali lubang untuk menguburkan jenazah orang yang telah meninggal tersebut. Akan tetapi kuburan tersebut tidak dibuat seperti gundukan pada umumnya melainkan di buat rata seperti tanah di sekitarnya. 

Setelah melewati masa tujuh hari, maka mereka akan membiarkan lahan tersebut ditumbuhi oleh tumbuhan liar, dan bahkan akan menggunakan kembali lahan tersebut untuk berladang.

6. TRADISI PERKAWINAN SUKU BADUY


Tradisi Perkawinan Suku Baduy
image:https://gebyarpernikahanindonesia.com

Tradisi perkawinan suku Baduy adalah salah satu tradisi perkawinan yang unik yaitu perkawinan Monogami. Dalam tradisi perkawinan ini seorang laki-laki suku Baduy tidak boleh beristri lebih dari seorang dan perkawinan poligami merupakan suatu hal yang tabu dan dilarang. Jika mereka nekat melanggarnya maka mereka akan di kucilkan dan diasingkan oleh masyarakat.

Perkawinan anak laki-laki yang pertama (kakak) dari suatu garis keturunan dengan anak perempuan yang terakhir (adik) dari garis keturunan yang lain. Dalam tradisi perkawinan ini seorang adik tidak boleh melangsungkan perkawinan sebelum kakaknya melangsungkan perkawinan (ngarunghal), artinya tidak boleh melangkahi kakaknya.

Dalam realitasnya, masyarakat suku Baduy tidak mengenal perbedaan antara saudara sepupu dan persamaannya dan saudara antarsepupu,  sehingga bisa saja perkawinan tersebut terjadi dalam keluarga yang paling dekat, dan dapat terjadi sampai dengan sepupu tingkat keempat. Dalam istilah masyarakat suku Baduy disebut dengan baraya.

Bagi masyarakat suku Baduy Dalam, pernikahan adalah satu hal yang akan mereka lakukan sekali untuk seumur hidup. Mereka tidak mengenal adanya kata perceraian. Perceraian hanya bisa terjadi ketika salah satu diantara mereka meninggal dunia. 

Janda ataupun duda yang ditinggalkan diperbolehkan untuk menikah lagi. Proses yang harus ditempuh sebelum perkawinan tersebut adalah upaya untuk mendapatkan pendamping yang tepat demi kelanggengan pernikahan mereka nantinya. Sementara untuk suku Baduy Luar telah mengizinkan adanya perceraian tanpa adanya kematian diantara mereka. 

Demikianlah ulasan artikel tentang Tradisi Luhur Masyarakat Suku Baduy Yang Tetap Lestari. Semoga bermanfaat dan bisa menambah wawasan pengetahuan Anda semua.

Posting Komentar untuk "Tradisi Luhur Masyarakat Suku Baduy Yang Tetap Lestari"