Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sesajen: Tradisi, Filosofi dan Maknanya

sesajen
credit:instagram@hariankompas

Sesajen adalah sebuah tradisi luhur warisan dari zaman Kerajaan Hindu-Buddha. Artinya tradisi sesajen ini umurnya sudah tua sekali. Bahkan, sebagian ahli sejarah ada yang mengatakan bahwa tradisi sesajen ini sudah ada sebelum masa kerajaan Hindu/Budha.

Namun demikian orang-orang di pulau Jawa dan Bali ternyata masih banyak yang memegang teguh tradisi membuat sesajen, terutama pada waktu - waktu khusus. 

Sesajen dibuat untuk mengucapkan rasa syukur atau sebagai tanda penghormatan kepada Tuhan  atau para  leluhur. Karena kaitannya dengan hal-hal ghaib, dan fungsinya untuk berdoa kepada leluhur, maka banyak yang kemudian mengatakan bahwa penggunaan sesajen adalah hal yang musyrik atau bertentangan dengan nilai-nilai agama, terutama agama Islam.

Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, SESAJEN merupakan sebuah tradisi yang harus ada dalam setiap acara yang berhubungan dengan adat Jawa. Penyebutan sesajen sendiri biasanya bermacam-macam, ada yang disebut dengan Dang Ayu dan ada yang disebut dengan Cok Bakal. Namun demikian, pada dasarnya inti dan tujuannya adalah sama.

Pada postingan saya kali ini, saya akan sedikit menjelaskan tentang apa arti dan simbolisme di balik tradisi sesajen, supaya kita bisa lebih mengerti bahwa sesajen bukanlah hal yang musyrik, namun adalah sebuah tradisi luhur yang sungguh indah dan penuh dengan makna serta filosofinya.

Jika kita cermati, sesajen terbuat dari banyak komponen di dalamnya, biasanya berupa nasi, kembang atau bunga, telur, buah-buahan dan lain sebagainya. Tiap bagian dari sesajen tersebut memiliki makna dan filosofi tersendiri.

Banyak orang yang mengartikan sesajen sebagai pemberian sesajian sebagai tanda penghormatan atau rasa syukur terhadap semua yang terjadi di masyarakat sesuai bisikan ghaib yang berasal dari paranormal atau tetua adat. Maka kemudian banyak yang beranggapan bahwa tradisi warisan budaya Hindu dan Budha ini dianggap sebagai suatu kemusyrikan. 

Sebelum menilai demikian, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu arti simbol-simbol dari salah satu bentuk kearifan lokal ini.

Bagian (Komponen) Sesajen terdiri dari:

Sesajen: Tradisi, Filosofi dan Maknanya
credit:instagram@townshedz

1. Beras/nasi/padi

Biasanya dibentuk sedemikian rupa seperti gunungan (tumpeng), yang melambangkan kesempurnaan, ke-total-an, dan ketuntasan. Sebagai manusia, jika melakukan sesuatu, harus dengan sungguh-sungguh, tidak setengah-setengah, artinya selesaikan apa yang kau mulai. Tumpeng, adalah singkatan dari "tumungkulo sing mempeng" yang berarti, "jika ingin selamat, rajinlah beribadah." (Selalu ingat Tuhan).

2. Urap

Selama kita hidup di dunia ini, jadilah orang yang berguna bagi masyarakat sekitar, alam semesta, lingkungan, agama, dan negara. Kalau diartikan maka jadilah orang yang berguna, yang baik, yang positif dan memberikan kontribusi yang baik.

3. Bubur panca warna

Panca Warna artinya lima warna. Bubur panca warna terdiri dari bubur jagung, ketan putih, bubur kacang hijau, ketan hitam dan bubur beras merah. Bubur tersebut diletakkan di semua arah mata angin, yang satu diletakkan di tengah, orang Jawa menyebutnya sebagai "Kiblat Papat Limo Pancer". Hal tersebut menyimbolkan kelima elemen alam yaitu air, udara,  api, tanah dan angkasa.

4. Jajanan pasar

Adalah representasi dari kerukunan, walaupun manusia dan komunitasnya selalu berbeda, hendaknya selalu ada tenggang rasa.

5. Pisang raja gandeng

Merupakan simbolisasi dari cita-cita yang besar dan luhur. Sebagai manusia, hendaknya kita terus membangun bangsa dan negara.

6. Ayam ingkung

Melambangkan cinta kasih dan pengorbanan. Selama kita hidup, berikanlah kasih sayang, perhatian, kepedulian, pengorbanan.

7. Ikan bandeng atau ikan asin (yang berduri banyak)

Artinya, rejeki berlimpah. Jika memakai ikan teri, yang hidupnya biasa bergerombol, ini melambangkan kerukunan.

8. Telur

Merupakan simbol dari asal mula kehidupan yang selalu berada dalam dua sisi yang berbeda seperti laki-laki dan  perempuan, siang dan malam.

9. Air dan bunga

Air dan bunga melambangkan air yang menjadi kebutuhan pokok manusia sehari-hari

10. Kopi pahit

Melambangkan elemen air tetapi juga sebagai simbol kerukunan dan persaudaraan (karena kopi biasanya diminum pada saat pertemuan, acara sosial, perkumpulan.

Dari kesepuluh komponen sesajen diatas, yang manakah yang musyrik? Semuanya melambangkan cinta, kerukunan, dan cita-cita yang luhur. Tidak ada isi atau bagian dari sesajen yang melambangkan pembohongan, pembunuhan, kehancuran, apalagi keharusan untuk merugikan orang lain atas nama Tuhan.

Pendapat Budayawan Terkait Dengan Sesajen

1. Menurut Pendapat Cak Nun (Emha Ainun Najib)

Mengutip dari www.suara.com, Cak Nun berpesan agar kita tidak mudah menilai sesuatu secara negatif dan memiliki pandangan positif terhadap berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat.

"Jangan gampang-gampang menilai, mending husnudzon aja. Yasudah dia saja enggak menyakiti siapa-siapa, dia juga tidak merusak apa-apa. Semoga doanya diterima Allah. Anggap begitu saja dalam menyikapi hidup," tegas Cak Nun.

Cak Nun mengimbau agar orang-orang tidak mudah terpengaruh anggapan orang lain.

"Jangan cuma paham dari kata orang, kamu harus merdeka dari itu. Kamu harus punya pikiran sendiri, harus punya akal sendiri. Tidak ada agama, bagi manusia yang tidak punya akalnya. Jadi aku tidak menentang siapa-siapa, aku ini cuma mau kamu autentik dengan pilihanmu sendiri, Sebab kalau kamu ngomong begitu dan salah, kamu yang akan diadili malaikat dan gusti Allah," pungkasnya.

2. Menurut Pendapat Sartini (Dosen Filsafat UGM)

Mengutip dari laman www.republika.co.id, dosen Filsafat UGM, Sartini mengatakan, di masyarakat Indonesia tradisi sesajen sering diartikan sebagai bentuk persembahan. Baik kepada dewa, roh leluhur atau nenek moyang dan mahluk-mahluk yang tidak terlihat lain.

Ia menilai, tradisi ini sudah ada sejak sebelum Islam masuk, bahkan sebelum Hindu dan Budha. Sesajen biasanya dikaitkan ritual yang diadakan untuk tujuan tertentu, sehingga benda-benda yang disiapkan untuk tiap sesajen dapat berbeda.

Kemudian, masing-masing unsur dalam sesajen memiliki filosofi sendiri. Di Jawa, kata Sartini, sesajen sering disebut uborampe atau kelengkapan. Di Lumajang, bila itu tradisi mungkin orang yang melakukan sesajenmenganggap Semeru sebagai mahluk.

"Memiliki kekuatan dan berharap Semeru tidak murka lagi. Dalam konteks sekarang, tentu di sana termuat permohonan kepada Tuhan agar mereka diberi keselamatan. Perlu penelitian khusus untuk mengkaji fenomena ini," kata Sartini, Sabtu (15/1).

Ia menilai, keyakinan dan pemahaman sebagian masyarakat soal sesaji akumulasi pengalaman sepanjang hidup. Dalam kelompok yang mungkin mengakomodasi agama dan tradisi, hibridisasi mungkin dapat dilakukan dengan sosialisasi makna simbol.

Sehingga, orang tidak memahami sebagai mitos dan kepercayaan semata yang bila tidak dilakukan, maka menyebabkan hal-hal tertentu. Rasionalisasi simbol-simbol ritual diperlukan hadapi masyarakat yang semakin modern, rasional dan materialistik.

Selain itu, ia berpendapat, kelompok beragama perlu sering berdialog dan sering bertemu, sehingga satu dengan yang lain lebih merasa sebagai teman. Menurut Sartini, sering berkumpul dan berkunjung akan dapat menimbulkan empati.

"Karena ikut merasakan kehidupannya, sehingga tidak akan mudah memaksa-maksa orang lain untuk sama dengan dirinya," ujar Sartini. 

3. Menurut Pendapat Profesor HM Quraish Shihab (Cendekiawan Muslim)

Profesor HM Quraish Shihab
credit:instagram@galeri_maha

Hal ini terkait dengan viralnya aksi seorang pria tendang sesajen di gunung Semeru Jawa Timur beberapa waktu yang lalu. 

Seperti dikutip dari laman https://www.nu.or.id/, Cendekiawan Muslim Indonesia Profesor HM Quraish Shihab mengajak agar umat Islam tetap menghormati kepercayaan orang lain. “Menghormati itu bukan berarti setuju. Itu (sudah) adatnya (orang yang berbeda keyakinan), itu kebiasaannya, itu kepercayaannya. Kenapa diganggu,” ujar Prof Quraish dalam bincang santai dengan putrinya, Najwa Shihab, di Channel YouTube Najwa Shihab dilihat NU Online, Jumat (14/1/2022). 

Lebih lanjut, alumnus Pesantren Darul Hadis Al-Faqihiyah Malang, Jawa Timur itu menjelaskan, tujuan menghormati tradisi orang berlainan keyakinan adalah untuk menjaga kerukunan lintas agama. Jika umat Islam tidak bisa menghormati keyakinan umat lain, kerukunan antarumat bakal sulit tercipta.  

Mendasari argumennya, Prof Quraish mengutip Al-Qur’an surat al-An’am ayat 108 yang artinya:  ‘Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah. Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.’  “Memaki saja tidak boleh, apalagi menendang,” tandas Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) itu.  

Soal praktik sesajen dinilai sebagai bentuk perbuatan syirik (menyekutukan Allah) dan  konsekuensinya mendapat siksa dari Allah, lanjut Prof Quraish, itu menjadi hak prerogatif-Nya kelak di hari pambalasan. Selain itu, turun atau tidaknya murka bagi pelaku juga atas izin Allah. 

Manusia tidak memiliki hak untuk mengadili.  “Tidak apa-apa, nanti Tuhan yang akan menentukan di hari kemudian, apa pandangan Tuhan, keputusan Tuan terhadap mereka. Jadi mestinya, itu jangan ditendang,” ujar pria kelahiran Sidrap Sulsel 1944 itu. 

Berikut ini adalah 7 Sesajen yang Ada di Masyarakat Indonesia dan Maknanya:

1. Sesajen Tahun Baru Imlek

Etnis Tionghoa di Indonesia memiliki jenis sesajen yang bermacam-macam. Salah satu upacara yang memerlukan sesajen adalah perayaan tahun baru Imlek. Isi sesajennya antara lain wajik tumpeng yang bermakna harapan untuk diberi bimbingan pengetahuan dan budi pekerti luhur. 

Ada juga kue ku yang melambangkan panjang umur, kue moho sebagai simbol rezeki melimpah, dan kue keranjang yang bermaksud agar keluarga pemberi sesajen selalu kompak juga tidak terpecah belah. Imlek sendiri dalam tradisi Tionghoa biasanya lebih erat disimbolkan dengan kue keranjang.

2. Sesajen Labuhan di Lereng Gunung Merapi

Labuhan di Yogyakarta adalah upacara pemberian sesajen sebagai tanda syukur masyarakat karena telah diberikan keselamatan dan rezeki kepada Tuhan Yang Maha Esa. Labuhan biasanya diadakan di Gunung Merapi dan Pantai Parangkusumo. 

Isi labuhan tersebut berupa hasil bumi (pertanian). Sementara itu, ada sesajen yang spesifik seperti sinjang kawung, sinjang kawung kemplang, desthar daramuluk, desthar udaraga, arta tindih, kampuh paleng, semekan gadung mlati, semekan gadung dan seswangen.

3. Sesajen Mappanretasi Nelayan Bugis di Kalimantan

Mappanretasi merupakan upacara adat yang dilakukan oleh para nelayan Bugis di Kalimantan. Sajian yang mereka berikan adalah ayam panggang, buah-buahan dan ketan. Sesajen tersebut kemudian dilarung di laut sebagai wujud rasa syukur terhadap rezeki yang telah mereka terima. Mappanretasi sendiri, kini telah menjadi acara pariwisata rutin tahunan di daerah tersebut.

4. Sesajen Canang Sari di Bali

canang-sari

Canang bermakna “tujuan yang indah”. Tujuan dari Canang Sari adalah permohonan kepada sumber kehidupan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Canang sendiri adalah sesajen yang dibentuk dengan indah, terdiri dari bunga warna-warni dan wadah janur. Isinya terdiri dari sirih, gambir, pamor, tembakau dan buah pinang.

5. Sesajen Buang Jong (Suku Sawang di Pulau Belitung)

Buang Jong merupakan upacara adat yang dilakukan oleh Suku Sawang di Pulau Belitung. Tradisi tersebut biasanya dilakukan sekitar Agustus sampai November ketika angin muson barat berhembus. 

Sesajennya berupa replika rumah kecil yang dibangun di atas miniatur perahu dan diisi dengan jajanan atau hasil bumi. Suku Sawang berharap dengan melakukan ritual ini, keselamatan mereka akan terjaga ketika pergi melaut atau mencari ikan.

6. Sesajen Buka Sasi (Kaimana, Papua Barat)

Buka Sasi adalah tradisi upacara ketika sebuah wilayah laut yang sempat ditutup, dibuka kembali. Penutupan tersebut bertujuan agar ekosistem di area tersebut dapat pulih kembali. Ini adalah tanda masyarakat di Kaimana menghargai alam sebagai sumber kehidupan. 

Ritual Buka Sasi di Kaimana, Papua Barat ditandai dengan meletakkan sesajen yang terdiri dari sirih, pinang, dan batu laga yang diletakan di atas piring.

7. Sesajen hewan ternak Kasodo (Suku Tengger, Jawa Timur)

Kasodo adalah ritual atau upacara sedekah bumi yang dilakukan suku Tengger di Jawa Timur. Upacara Kasodo dilakukan pada bulan kesepuluh menurut penanggalan Jawa. 

Dalam upacara Kasodo, seluruh desa yang dihuni oleh suku Tengger di sekitar Gunung Bromo akan membawa sesajen berupa uang, hasil bumi (pertanian) seperti kentang dan sayuran, beserta hewan ternak (bahkan ada juga yang sampai memberi sajen berupa seekor kerbau utuh!). 

Sesajen tersebut kemudian dilempar ke kawah Gunung Bromo sebagai bentuk penghormatan terhadap roh leluhur suku Tengger.

Demikianlah ulasan mengenai Tradisi, Filosofi dan Makna Sesajen. Semoga ulasan ini dapat menambah wawasan kita dan membuat kita bersikap menghormati tradisi dan kearifan lokal yang dilakukan oleh masyarakat di Indonesia tersebut dan tidak menghakiminya secara serampangan.

Posting Komentar untuk "Sesajen: Tradisi, Filosofi dan Maknanya"