Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Contoh Wujud Rasa Syukur Kepada Tuhan Lewat Budaya Dan Tradisi Masyarakat


Nyadran
credit image:instagram@boyolalikita

Contoh Wujud Rasa Syukur Kepada Tuhan Lewat Budaya Dan Tradisi Masyarakat - Jika kita pelajari, ada banyak sekali bentuk kearifan lokal masyarakat di Indonesia yang berhubungan dengan keagungan Tuhan dan alam. 

Kearifan lokal tersebut dapat kita lihat dari banyaknya upacara dan ritula yang berhubungan dengan alam dan juga hubungannya dengan Tuhan sebagai pencipta alam semesta.

Berikut ini adalah beberapa contoh tradisi upacara dan ritual yang berhubungan dengan alam dan Tuhan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia, antara lain:
  • Grebeg Kupat
  • Belimbur
  • Merti Dusun
  • Legenan
  • Wiwitan
  • Nyadran
Kita akan coba telaah lebih jauh terkait dengan tradisi masyarakat di Indonesia tersebut dalam ulasan artikel berikut ini.

1. Tradisi Grebeg Kupat

Grebeg Kupat adalah sebuah tradisi masyarakat suku Jawa, khususnya Jawa Tengah yakni di daerah Kendal. Gerbeg Kupat di awali dengan Kidung doa empat kiblat yang mengalun syahdu di Joglo Saridin, Keraton Kawitan Amarta Bumi, Desa Margosari, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, provinsi Jawa Tengah. 

Doa dengan kidung - kidung dalam bahasa Jawa terus dilantunkan mengiringi lima orang gadis yang menari lemah gemulai sembari menabur bunga melati ke seluruh penjuru ruangan keraton.

Setelah do'a dilantunkan, sembilan orang penari bedaya nawa tirta akan membawakan tarian sakral tersebut dengan lembut dan anggun di depan raja, keluarga dan kerabat Keraton Amarta Bumi.

Tradisi tahunan yang diselenggarakan pada setiap perayaan Hari Raya Idul Fitri ini, diawali dengan mengarak dua gunungan yang berisi kupat dan lepet serta aneka hasil bumi. Arak-arakan gunungan tersebut kemudian diikuti oleh seluruh keluarga dan kerabat keraton termasuk prajurit dan abdi dalem, serta para tamu undangan. 

Dengan diterangi obor bambu, rombongan kirab gunungan berjalan kaki dari pendapa keraton menuju Joglo Saridin yang berada di komplek keraton atau biasa dikenal dengan Kampung Jawa Sekatul.

Bangunan khas Jawa kuno dengan atap, penyangga, dinding, hingga lantai yang terbuat dari kayu jati tua itu menjadi tempat diselenggarakannya tradisi leluhur yang setiap tahun digelar oleh Keraton Amarta Bumi. 

Mengenakan busana khas adat Jawa, Sri Anglung Prabu Konto Joyonegara Cakra Buana Giri Natha beserta keluarga dan para tamu, mengikuti berbagai ritual grebeg kupat tersebut dengan khidmat. Grebeg kupat kemudian ditutup dengan acara berebut gunungan oleh seluruh peserta acara dan warga masyarakat yang hadir saat itu.

Menurut Sekda Jateng Dr. Ir. Sri Puryono KS MP,  acara tahunan yang diselenggarakan setiap bulan Syawal ini merupakan wujud syukur kepada Allah SWT (Tuhan Yang Maha Esa) atas anugerah dan karunia-Nya. 

Setelah berpuasa Ramadan selama sebulan penuh, kemudian masyarakat akan mengarak gunungan ketupat dan aneka hasil bumi yang sarat dengan makna dan filosofi tersebut.

Ketupat atau dalam bahasa Jawa di sebut kupat mempunyai arti "Ggaku lepat" atau mengaku bersalah dan kemudian meminta maaf kepada sesama manusia. 

Selain itu kupat juga mempunyai arti empat "L", yaitu:
  • Lebar atau telah selesai beribadah puasa
  • Luber yakni mudah memafkan terhadap sesama
  • Lebur atau saling memaafkan
  • Labur yang memiliki arti kembali putih
Lebih lanjut Sekda Jawa Tengah juga mengatakan bahwa "Apa yang dilakukan Keraton Amarta Bumi ini sangat bagus, karena tidak semua dapat melakukan ini. Acara seperti ini salah satu upaya mengangkat budaya tradisional." 

Grebeg kupat ini adalah salah satu bentuk berkepribadian dalam kebudayaan. Tradisi warisan leluhur ini sangat baik dilaksanakan dan lestarikan karena nguri-nguri kebudayaan daerah.

Tradisi asli suku Jawa ini, dapat membentuk kepribadian bangsa. Sebab dalam ritual yang diadakan sekitar sepekan setelah hari raya Iedul Fitri ini selain terdapat hubungan manusia dengan Tuhan (Habluminallah), sekaligus manusia dengan manusia (Habluminannas).

2. Tradisi Belimbur

Tradisi Belimbur Kutai
credit image:instagram@isnuwardana

Tradisi Belimbur adalah tradisi luhur yang diadakan oleh keraton kerajaan Kutai. Acara tersebut di mulai dengan rombongan Keraton yang mengantarkan Naga Bini dan Naga Laki ke Kutai Lama, diadakan serangkaian ritual lainnya di depan Keraton Kutai. 

Rangkaian ritual ini dimulai dengan beumban, begorok, rangga titi, dan berakhir dengan belimbur. Belimbur tidak hanya menjadi ritual terakhir dari rangkaian ini, akan tetapi juga menjadi puncak dari seluruh rangkaian acara tersebut. 

Dalam ritual ini, masyarakat Kutai larut dalam suka cita sambil berbasah-basahan. Setiap sudut jalan di Kutai pada sore itu basah dengan siraman air yang dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat.

Belimbur merupakan tradisi saling menyiramkan air kepada sesama anggota masyarakat yang merupakan bagian dari ritual penutup Festival Erau. Tradisi ini menjadi wujud rasa syukur masyarakat atas kelancaran pelaksanaan Erau. 

Selain itu, Belimbur memiliki maksud filosofis sebagai sarana pembersihan diri dari sifat buruk dan unsur kejahatan. Air yang menjadi sumber kehidupan dipercaya sebagai media untuk melunturkan sifat buruk manusia.

Ritual Belimbur ini dilakukan setelah upacara rangga titi berakhir. Dimulainya ritual Belimbur ini ditandai dengan dipercikkannya air tuli (yaitu air yang diambil dari Kutai Lama) oleh Sultan kepada para hadirin. Kemudian, masyarakat saling menyiramkan air kepada sesamanya. Ritual ini terbuka untuk masyarakat umum, kecuali orangtua yang membawa anak di bawah umur serta para lansia dianjurkan untuk tidak ikut serta.

Saat ini, tradisi Belimbur ini telah berkembang menjadi sebuah acara festival yang penuh dengan suka cita. Selain memiliki nilai filosofis, ajang festival ini juga menjadi sarana untuk menjalin keakraban antar masyarakat dalam suasana yang jauh dari tata krama formal.

Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat kini tidak sekadar menyiram air secara harfiah. Ada beberapa di antara mereka yang sampai menggunakan media seperti pompa pemadam kebakaran atau membungkus air dalam kantong-kantong plastik. Bagi para remaja, festival ini menjadi ajang perang air antar sesamanya yang hanya terjadi setahun sekali.

3. Tradisi Merti Dusun

Tradisi Merti Dusun
credit image:instagram@yuskristiono_portrait

Tradisi upacara Merti Dusun adalah tradisi masyarakat Dusun Gadung Bangunkerto Kabupaten Selam provinsi DIY. Tradisi upacara Merti Dusun ini diadakan setiap tahun yaitu pada bulan Sapar.

Adapun tujuan dari diselenggarakannya upacara adat Merti Dusun ini menurut Dukuh Gadung Acon Sulaksono adalah sebagai wujud rasa syukur masyarakat terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan keselamatan, kesehatan dan rezeki yang berlimpah selama ini.

Dengan semua karunia Tuhan tersebut membuat masyarakat bisa hidup dan damai. Selain itu, tradisi Merti Dusun ini juga dimaksudkan untuk melestarikan kesenian dan kebudayaan yang ada di Dusun Gadung.

Pelaksanaan acara Merti Dusun dimulai dari pukul 08.00 pagi dengan mujahadah dan kemudian dilanjutkan dengan kirab gunungan keliling kampung oleh Bregodo Jagul Wulung dan berhenti di lapangan bola voli Dusun Gadung. 

Gunungan tersebut terdiri dari beberapa macam hasil bumi mulai dari nasi tumpeng, buah-buahan, dan sayuran. Setelah didoakan, gunungan tersebut kemudian diperebutkan oleh masyarakat dengan harapan jika mendapatkan salah satu makanan yang ada didalam gunungan tersebut akan mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa.

Kemudian acara Merti Dusun berlanjut ke pentas kesenian jatilan putri hingga sore harinya. Pada malam harinya acara yang bersifat gratis untuk masyarakat ini ditutup dengan pagelaaran wayang kulit semalam suntuk.

4. Tradisi Legenan

Tradisi Legenan
credit image: https://konfirmasitimes.com/

Banyak cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengekspresikan rasa syukur kepada Tuhan sang pencipta alam. Seperti yang dilakukan oleh Warga Desa Beji, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang. 

Mereka mempunyai tradisi unik dalam mengekspresikan rasa syukur kepada sang pencipta, yaitu dengan melaksanakan upacara sedekah bumi atau biasa disebut Legenan.

Acara legenan biasanya diselenggarakan satu tahun sekali, yaitu di pada akhir tahun dengan diawali oleh kegiatan bersih desa bersamaan dengan acara haul desa Beji tersebut. Acara Legenan biasanya dikemas dalam bentuk kirab budaya yang diikuti oleh masyarakat dan perangkat desa setempat sehingga membuat acara tersebut semakin meriah dan ramai.

Acara Legenan ini adalah salah satu wujud dan bentuk rasa syukur atas rezeki yang telah diberikan oleh Allah SWT (Tuhan Yang Maha Esa). Selain bentuk rasa syukur, dalam acara Legenan ini masyarakat juga berdoa agar rezeki di tahun-tahun mendatang bisa semakin bertambah dan mereka akan dijauhkan dari mahara bahaya dan musibah.

Tradisi Legenan tersebut saat ini dikemas dalam kirab budaya untuk mendukung program Bupati Batang dalam rangka tahun kunjungan wisata Visit To Batang 2022. 

5. Tradisi Wiwitan

Tradisi Wiwitan
credit image:instagram@gerbangbudaya

Tradisi Wiwitan adalah ritual persembahan tradisional masyarakat suku Jawa sebelum panen padi dilakukan. Ritual tersebut dilakukan sebagai wujud rasa terima kasih dan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan juga bumi sebagai sedulur sikep, dan Dewi Sri ( Dewi Padi) yang mereka percaya menumbuhkan padi.

Disebut sebagai tradisi "Wiwitan" karena arti dari "Wiwit" adalah "Mulai", memotong padi sebelum panen diselenggarakan.

Yang disebut bumi adalah sedulur sikep bagi orang Jawa karena bumi dianggap sebagai saudara manusia yang harus dihormati dan dijaga dilestarikannya. Tradisi wiwitan ini telah ada sejak sebelum Agama masuk ke tanah Jawa di masa lalu.

Menurut penuturan Mbah Tarmiji yang nerupakan warga Dusun Kalongan Desa Karangmangu, Kecamatan Ngambon mengatakan, setelah didoakan prosesi berikutnya adalah para pemilik lahan akan menyebar beberapa makanan di tengah sawah dan meletakkan empat bungkusan hidangan yang diletakkan di empat sudut sawah sebagai simbol kiblat papat siji pancer.

Selanjutnya petani pemilik lahan akan memulai untuk memetik tangkai padi. Jumlah tangkai yang dipetik pertama kali pada prosesi wiwitan disesuaikan dengan hari pasaran Jawa dimana padi tersebut mulai dipetik.

Tangkai padi yang dipetik nantinya akan dibawa pulang pemilik lahan dan dipasang atau ditempelkan di tembok rumahnya. Hal tersebut bermakna agar rezeki yang didapat selalu dimiliki oleh pemilik rumah dan sebagai pepiling (pengingat) bagi pemilik rumah tersebut.

Ketika mereka melihat untaian tangkai padi yang dipasang ditembok, diharapkan pemilik rumah selalu bersyukur bahwa rezeki yang didapat tidak lain berasal dari sang pencipta, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

Prosesi tradisi Wiwitan diakhiri dengan kenduri bersama dengan seluruh masyarakat yang hadir di tempat prosesi tersebut dilakukan. Kenduri bersama ini sebagai simbol kebersamaan dan berbagi kepada orang lain sebagai ungkapan rasa syukur atas rezeki yang melimpah.

6. Tradisi Nyadran

Tradisi Nyadran
credit image:instagram@njo_dolan

Nyadran adalah serangkaian upacara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat suku Jawa, terutama Jawa Tengah. kata "Nyadran" berasal dari bahasa Sanskerta, yakni "Sraddha" yang artinya keyakinan. 

Tradisi Nyadran adalah tradisi pembersihan makam yang dilakukan oleh masyarakat suku Jawa, yang pada umumnya tinggal di wilayah pedesaan. Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata "Sadran" yang artiya adalah "Ruwah Syakban"

Nyadran merupakan suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan yang dilakukan di sekitar makam leluhur.

Nyadran merupakan salah satu tradisi masyarakat suku Jawa dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. 

Kegiatan yang biasa dilakukan saat Nyadran atau Ruwahan, antara lain:
  • Menyelenggarakan kenduri, dengan pembacaan ayat Al-Quran, zikir, tahlil, dan doa, kemudian ditutup dengan makan bersama.
  • Melakukan besik, yaitu pembersihan makam leluhur dari kotoran dan rumput - rumput liar.
  • Melakukan upacara ziarah kubur, dengan berdoa kepada roh yang telah meninggal di area makam.
Tradisi Nyadran biasanya dilaksanakan pada setiap hari ke-10 pada bulan Rajab atau saat datangnya bulan Sya’ban. Dalam ziarah kubur, biasanya para peziarah akan membawa bunga, terutama bunga telasih. 

Bunga telasih digunakan sebagai lambang adanya hubungan yang akrab antara peziarah dengan arwah yang akan diziarahinya. Masyarakat yang mengikuti Nyadran biasnya berdoa untuk kakek-nenek, bapak-ibu, kerabat serta saudara-saudari mereka yang telah meninggal dunia. 

Seusai berdoa, masyarakat kemudian akan menggelar acara kenduri atau makan bersama di sepanjang jalan yang telah digelari tikar dan daun pisang. Setiap keluarga yang mengikuti acara kenduri tersebut harus membawa makanannya sendiri. 

Makanan yang dibawa tersebut harus berupa makanan tradisional, seperti ayam ingkung, sambal goreng ati, urap sayur dengan lauk rempah, prekedel, tempe dan tahu bacem, dan sebagainya.

Tradisi Nyadran sebenarnya berasal dari tradisi Hindu-Budha. Namun dalam perkembangannya, sejak abad ke-15 para Walisongo yang menyebarkan Agama Islam di tanah Jawa telah menggabungkan tradisi tersebut dengan dakwahnya, agar agama Islam dapat dengan mudah diterima. 

Pada awalnya para walisongo tersebut berusaha meluruskan kepercayaan yang ada pada masyarakat Jawa saat itu tentang pemujaan roh yang dalam Agama Islam yang dinilai sebagai kegiatan musyrik yang dilarang oleh Allah SWT. 

Agar tidak berbenturan dengan tradisi masyarakat Jawa saat itu, maka kemudian para wali tidak menghapuskan adat dan tradisi masyarakat tersebut, melainkan menyelaraskannya dan mengisinya dengan ajaran Islam, yaitu dengan pembacaan ayat - ayat kitab suci Al-Quran, tahlil, dan do'a. 

Nyadran kini lebih dipahami sebagai bentuk hubungan antara leluhur dengan sesama manusia dan dengan Tuhan.

Demikianlah ulasan artikel mengenai Contoh Wujud Rasa Syukur Kepada Tuhan Lewat Budaya Dan Tradisi Masyarakat. Semoga bermanfaat dan dapat menambah wawasan serta pengetahuan Anda.

Posting Komentar untuk "Contoh Wujud Rasa Syukur Kepada Tuhan Lewat Budaya Dan Tradisi Masyarakat"