Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kearifan Lokal Suku Baduy Provinsi Banten Yang Tetap Terjaga



Kearifan Lokal Suku Baduy Provinsi Banten Yang Tetap Terjaga
image via instagram@sabila_adventure

Sebagai negara yang memiliki begitu banyak kekayaan dan keragaman seni dan budaya, Indonesia merupakan satu - satunya negara di dunia ini yang memiliki jumlah suku terbesar. Indonesia dihuni oleh berbagai macam suku yang tinggal dan menetap di segala penjuru tanah air.

Setiap suku tersebut sudah barang tentu memiliki tradisi, budaya, adat istiadat, kesenian dan kearifan lokal masyarakatnya dalam menjaga kelestarian alam Indonesia sehingga mampu terjaga dengan baik dan tetap lestari hingga saat ini.

Salah satu suku bangsa Indonesia yang memiliki begitu banyak kearifan lokal misalnya suku Jawa, suku Sunda dan suku lainnya. Diantara suku lainnya terdapat suku Baduy yang menetap di pedalaman Kabupaten Lebak, provinsi Banten. 

Suku Baduy ini termasuk kedalam etnis Sunda hidup bersama dan berdampingan dengan alam di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.

Suku Baduy terbagi dalam dua golongan yang disebut sebagai suku Baduy Dalam dan suku Baduy Luar. Perbedaan yang paling dasar dari kedua suku Baduy ini adalah dalam menjalankan pikukuh atau aturan adat dalam kehidupan mereka sehari - hari. 

Jika suku Baduy  masih memegang teguh adat dan tradisi warisan para leluhurnya dalam menjalankan aturan adat dengan baik, maka sebaliknya tidak dengan dengan suku Baduy Luar dimana mereka sudah tersentuh dengan peradaban modern.

Masyarakat suku Baduy Luar sudah terkontaminasi dengan budaya modern yang berasal dari luar suku Baduy. Sebagai contoh misalnya penggunaan barang - barang elektronik dan sabun mandi / sabun cuci diperbolehkan oleh ketua adat yang di sebut sebagai Jaro untuk memudahkan mereka dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. 

Selain itu, suku Baduy Luar juga diperbolehkan untuk menerima tamu yang berasal dari luar Indonesia (turis atau peneliti mancanegara), mereka diperbolehkan mengunjungi bahkan menginap di salah satu rumah warga Baduy Luar tersebut.

Perbedaan lain dari kedua suku Baduy ini terlihat dari cara mereka berpakaian. Pakaian adat atau baju adat dalam keseharian suku Baduy Dalam didominasi oleh balutan warna putih, terkadang hanya bagian celananya saja bewarna hitam atau biru tua.

Kearifan Lokal Suku Baduy Provinsi Banten Yang Tetap Terjaga
image via instagram@ra_ayodia

Warna putih tersebut melambangkan kesucian dan budaya yang tidak terpengaruh oleh budaya yang berasal dari luar suku Baduy. Hal ini tentu berbeda dengan suku Baduy Luar yang menggunakan baju dengan dominasi warna serba hitam atau biru tua saat melakukan aktivitas sehari - hari.

Suku Baduy Dalam memiliki tiga kampung yang menjadi tempat tinggal bagi semua masyarakat Suku Baduy Dalam. Adapaun yang bertugas sebagi pemimpin di kampung tersebut disebut sebagai Pu'un selaku ketua adat tertinggi dan dibantu oleh Jaro sebagai wakilnya. 

Ketiga kampung yang menjadi tempat tinggal suku Baduy Dalam tersebut adalah Kampung Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo, sedangkan suku Baduy Luar tinggal dan menetap di 50 kampung lainnya yang berada di bukit-bukit Gunung Kendeng, Kabupaten Lebak provinsi Banten.

Secara historis penyebutan Baduy merupakan pemberian dari seorang peneliti bangsa Belanda yang melihat kemiripan masyarakat di wilayah tersebut dengan masyarakat Badawi atau Bedoin di jazirah Arab. 

Kemiripan tersebut karena dahulu, masyarakat di wilayah ini sering berpindah-pindah lokasi dalam mencari tempat untuk mereka tinggali. Akan tetapi, ada versi lain yang menyebutkan, bahwa nama Baduy adalah nama sebuah sungai yang ada di wilayah tersebut yakni sungai Cibaduy yang berada di bagian utara Desa Kanekes, Kabupaten Lebak.

Mata pencaharian utama mayarakat suku Baduy pada umumnya adalah berladang dan bertani. Kondisi alamnya yang subur dan sangat berlimpah mempermudah suku Baduy dalam menghasilkan makanan pokok dan hasil alam lainnya untuk kebutuhan makan mereka sehari-hari. 

Hasil pertanian berupa kopi, padi, dan umbi-umbian menjadi komoditas yang paling sering ditanam oleh masyarakat Baduy tersebut.

Terdapat keunikan suku Baduy dalam cara mereka bercocok tanam, berladang dan bertani, Suku Baduy ini tidak menggunakan bantuan hewan kerbau atau sapi dalam mengolah lahan pertanian dan ladang milik mereka. Hewan berkaki empat selain anjing tidak diperbolehkan masuk atau dipelihara di Desa Kanekes demi menjaga kelestarian alamnya.

Bukan itu saja, praktek menjaga kelestarian alam juga berlaku ketika suku Baduyt membangun rumah adat mereka yang terbuat dari kayu dan bambu. 

Kondisi lantai tanah rumah mereka dibiarkan apa adanya dan kadang terlihat masih miring dan sengaja tidak digali demi menjaga keseimbangan alam yang sudah memberi mereka kehidupan.

Rumah-rumah adat masyarakat suku Baduy dibangun dengan menggunakan batu kali sebagai dasar pondasi rumah mereka, sehingga tiang-tiang yang menjadi penyangga rumah mereka terlihat tidak sama tingginya. 

Jika di bedah, terdapat 3 buah ruangan yang ada didalam rumah adat suku Baduy dengan fungsi yang berbeda - beda. Pada bagian depan rumah difungsikan sebagai ruangaan untuk menerima tamu dan tempat untuk menenun bagi kaum perempuan. 

Kemudian pada bagian tengah difungsikan sebagai ruang untuk keluarga dan tidur. Sedangkan ruangan ketiga yang terletak di bagian belakang rumah digunakan sebagai tempat untuk memasak (dapur) dan tempat untuk menyimpan hasil pertanian mereka seperti padi. 

Semua ruangan tersebut ditutup dengan dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Sedangkan pada bagian atap rumah, digunakan serat ijuk atau daun pohon kelapa sebagai penutupnya.  Rumah suku Baduy ini sengaja dibangun dengan saling berhadap-hadapan dan selalu menghadap ke utara atau arah selatan. 

Faktor sinar matahari yang menyinari dan masuk ke dalam ruangan rumah mereka adalah yang menjadi alasan mengapa rumah - rumah tersebut dibangun dengan menghadap ke dua arah saja.

Seperti mayoritas suku yang ada di Indonesia, maka Suku Baduy juga mengenal budaya dan tradisi menenun kain yang telah diturunkan sejak zaman nenek moyang mereka. Kegiatan menenun ini dilakukan oleh kaum perempuan dan sudah diajarkan sejak mereka kecil. 

Terdapat sebuah mitos yang berlaku di masyarakat Baduy yakni bila kaum laki-laki tersentuh oleh alat menenun yang terbuat dari kayu ini maka laki-laki tersebut akan berubah perilakunya dan bertingkah seperti seorang perempuan.

Kearifan Lokal Suku Baduy Provinsi Banten Yang Tetap Terjaga
image via instagram@yendie_limiardy

Tradisi menenun kain ini menghasilkan kain tenun yang digunakan sebagai pakaian adat Suku Baduy. Kain hasil tenin yang dihasilkan bertekstur lembut, namun ada juga kain yang bertekstur kasar. Jenis kain yang agak kasar biasanya digunakan oleh masyarakat Baduy sebagai ikat kepala dan ikat pinggang.

Selain digunakan dalam kehidupan mereka sehari - hari, kain hasil tenun ini juga diperjualbelikan untuk wisatawan (baik lokal maupun mancanegara) yang datang berkunjung ke Desa Kanekes, Kabupaten Lebak ini. 

Selain itu juga ada kerajinan yang terbuat dari kulit kayu pohon terep yang menjadi ciri khas dari Suku Baduy. Tas yang disebut koja atau jarog ini digunakan oleh suku Baduy untuk menyimpan segala macam kebutuhan mereka (bekal) yang diperlukan ketika mereka beraktivitas atau dalam perjalanan.

Kepercayaan Suku Baduy

Suku Baduy mempercayai, bahwasannya mereka mereka adalah keturunan dari Batara Cikal, yang merupakan salah satu dari tujuh dewa yang diutus ke bumi. Asal usul Batara Cikal tersebut sering pula dihubungkan dengan keberadaan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama manusia. 

Menurut kepercayaan suku Baduy, warga Kanekes mempunyai tugas untuk menjaga harmoni dunia ini. Jenis kepercayaan seperti ini disebut sebagai kepercayaan Sunda Wiwitan, yakni sebuah kepercayaan yang memuja nenek moyang mereka sebagai bentuk penghormatan.

Kearifan Lokal Suku Baduy

Di balik sifat lugu, sederhana dan “keterbelakangan" mereka secara peradaban seperti yang terlihat oleh masyarakat luar, pada dasarnya suku Baduy adalah sebuah kelompok masyarakat yang hidup dengan konsistensi, dalam menjalankan sistem sosial kemasyarakatan dan nilai-nilai adat serta keyakinan yang membuat hidup mereka penuh dengan keharmonisan. 

Kampung yang menjadi tempat tinggal mereka sangat asri, hijau, rindang, dan penuh dengan kedamaian. Rumah-rumah dan leunyit (lumbung padi) milik mereka ditata rapih, dan tersembunyi di bawah pohon-pohon besar yang rindang, seperti pohon bambu, pohon aren, pohon durian, pohon sukun, pohon limus, pohon kiara, kianggir, kokosan, areuy kawao, rotan, dan sebagainya. 

Pohon - pohon tersebut sengaja dibiarkan tumbuh liar seperti apa adanya, dan tumbuh mengelilingi wilayah perkampungan. 

Di sekeliling kampung juga terdapat banyak mata air, dengan sumber airnya yang jernih, dan kemudian ditampung dalam bentuk kolam-kolam kecil. Sebagian airnya kemudian dialirkan ke rumah - riumah warga melalui saluran yang terbuat dari sambungan batang-batang bambu. 

Bahkan karena teramat bersih dan jernihnya, air dari mata air itu bisa langsung diminum tanpa direbus terlebih dahulu.

Kearifan Lokal Suku Baduy Provinsi Banten Yang Tetap Terjaga
image via instagram@louzieadventure

Seakan menyatu dengan alam, masyarakat suku Baduy menjalani kehidupan sosial-ekonomi mereka dengan sangat harmonis, antara satu dengan lainnya saling membantu, menghormati dan saling tolong menolong. 

Menyatu dengan alam, melindungi dan menjaga alam, bersikap ramah pada siapapun yang datang, dan memiliki kekayaan hasil bumi berlimpah menjadi jaminan untuk masa depan anak cucu mereka dimasa yang akan datang.  Mereka bisa hidup dengan damai dan sejahtera tanpa perlu merasa khawatir akan kekurangan bahan pangan. 

Menganggap masyarakat suku Baduy sebagai kelompok etnis yang terbelakang sesungguhnya adalah sebuah sikap  yang agak kurang bijaksana. Karena di balik kesederhanaan mereka inilah justru tersimpan nilai-nilai luhur yang patut dipelajari, yang sangat berguna untuk menjaga keseimbangan dan keselamatan serta keutuhan masa depan umat manusia dan lingkungannya. 

Kelompok masyarakat seperti suku Baduy ini mungkin salah satu dari sedikit kelompok masyarakat yang masih ada di dunia ini yang menyimpan dan tetap memelihara serta menjaga dengan baik nilai-nilai dan kearifan lokal untuk menyelamatkan masa depan manusia dari ancaman krisis, yang diakibatkan oleh hubungan sosial-ekonomi dan pribadi antar manusia serta kerusakan alam dan lingkungan sebagai akibat dari kerakusan mereka. 

Ketika sebgian besar masyarakat modern di seluruh dunia merasa panik dan cemas karena ancaman kelaparan dan kemiskinan yang melanda dunia akibat dari kekeringan dan kebijakan sistem ekonomi yang salah, atau karena akibat krisis ekonomi global, masyarakat Baduy tetap bisa hidup dengan tenang, tanpa perlu memikirkannya. 

Mereka telah memiliki konsep dan strategi dalam mempertahankan ketahanan pangan yang menghindarkan anggota keluarga terhindar dari ancaman kemiskinan dan kelaparan. Rata-rata dari mereka yang sudah berkeluarga memimiliki simpanan padi (pangan) dalam lumbung mereka. 

Simpanan padi hasil panen yang mereka simpan tersebut bisa digunakan untuk menopang hidup mereka hingga beberapa tahun bahkan puluhan tahun ke depan.

Ketika masyarakat modern merasa gelisah dan merasa ketakutan dengan merebaknya berbagai macam jenis penyakit ganas yang bermunculan seperti flu burung, flu babi, tumor ganas, liver, gagal jantug, stroke, types, parkinson, bahkan yang menghebohkan dunia sekarang ini yakni virus corona, masyarakat Baduy tetap bisa hidup sehat kecuali beberapa  penyakit kulit ringan yang mereka alami dan tidak berbahaya. 

Mereka memiliki metode pengobatan tradisional terhadap tiap - tiap penyakit, menyerahkan pada apa yang telah disediakan oleh alam, diantaranya dengan ramuan obat alami dari dedauan dan akar berbagai jenis tumbuhan berkhasiat, tanpa perlu obat- obat kimia dari dokter atau berobat kerumah sakit dengan biaya sangat mahal. 

“Urang kami hirup sarehat karena hati jeung pikiran dijaga supaya sehat (orang kami hidup sehat karena menjaga hati dan pikiran agar tetap sehat)” kata Jaro Nalim, tokoh masyarakat Baduy Dalam Cikartawana.

Ketika masyarakat modern sibuk memikirkan keselamatan lingkungan dunia yang makin kritis, terjadinya bencana banjir, gempa bumi, pemanasan global (global warming), gejala rumah kaca, pencemaran udara oleh emisi rumah kaca, pencemaran air oleh karena limbah industri, penggundulan hutan yang tak terkendali, masyarakat Baduy justru menjalani hidup mereka dengan damai berdampingan dengan alam. 

Mereka memiliki keyakinan dan kepercayaan, bahwa keberadaan orang Baduy di dunia mempunyai tugas dan tanggung jawab yang mulia dan penting, yakni menjaga alam. Mereka tinggal di sebuah tempat yang disebut panjer bumi (inti daari jagat raya).

Wilayah yang menjadi tempat tinggal suku Baduy telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah daerah Kabupaten Lebak pada tahun 1990. Kawasan yang melintas dari Desa Ciboleger hingga sampai ke Rangkasbitung ini telah menjadi tempat tinggal suku Baduy yang menjadi suku asli Provinsi Banten. 

Rute Ke Kampung Suku Baduy Lebak

Bagi Anda yang ingin berkunjung ke kampung masyarakat suku Baduy, maka Anda dapat berangkat melalui terminal Ciboleger sebagai pemberhentian terakhir kendaraan bermotor.

Dari sini Anda harus melintasi bukit masuk ke dalam hutan hingga menemukan kampung terluar Desa Baduy Luar. Waktu yang ditempuh mencapai sekitar 1 jam dengan medan jalan yang mendaki dan menurun. 

Bagi Anda yang ingin mengunjungi wilayah suku Baduy Dalam bisa menghabiskan waktu sekitar 7 jam dengan berjalan kaki sebelum tiba di Kampung Cibeo, salah satu kampung dari 3 kampung Baduy Dalam.

Itulah uraian artikel tentang Kearifan Lokal Suku Baduy Provinsi Banten Yang Tetap Terjaga. Semoga dengan memahami kearifan lokal suku Baduy ini semakin membuat kita bertanggung jawab dalam melestarikan lingkungan demi menjaga keseimbangan alam.

Posting Komentar untuk "Kearifan Lokal Suku Baduy Provinsi Banten Yang Tetap Terjaga"