Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Contoh Perubahan Sosial Budaya - Globalisasi dan Konformitas

Barongan
credit:instagram@baronganindonesia

Apa yang terbayang di benak kamu ketika mendengar kata perubahan sosial budaya? Apakah kata kuno dan modern? Atau reformasi? Atau kerusuhan? Ataukah mungkin globalisasi? 

Jika diajukan pertanyaan apa contoh perubahan sosial budaya yang kamu tahu di Indonesia, apa kira-kira yang akan kamu ambil sebagai contoh? 

Sebelum membahas perubahan sosial budaya dan terlebih contoh perubahan sosial budaya, kiranya kita perlu membahas dan memahami dahulu apa yang dimaksud dengan sosial, budaya, sosial budaya, dan perubahan itu sendiri.

Sosial, Budaya, Sosial Budaya, dan Perubahan

Secara etimologis, definisi sosial diambil dari kata Latin socius atau socii, yang berarti ‘teman', ‘rekan', atau ‘sekutu'. Manusia yang menurut para ahli sosiologi atau sosiolog dikatakan sebagai makhluk sosial, berarti manusia selalu memerlukan teman, tidak bisa benar-benar hidup sendirian selama hidupnya. Bahkan manusia mustahil ada tanpa perantara manusia lain.

Karena itu ‘sosial’ lebih mengacu kepada ‘interaksi manusia yang satu dengan yang lainnya,’ atau mengacu kepada ‘koeksistensi kolektif manusia'.

Sementara budaya berasal dari kata cultura atau cultus, istilah yang berkaitan dengan colonus atau colonia yang berarti ‘koloni,’ atau ‘perkumpulan.’

Menurut Benny H. Hoed (2008: 35), kebudayaan manusia dapat dilihat dari aspek material dan non material atau idealisnya. Dari aspek material, budaya atau kebudayaan dapat diartikan lebih lanjut sebagai ‘segala seni, adat, dan kebiasaan yang mengkarakterisasi sebuah perkumpulan atau Negara'.

Sementara dari aspek non material, budaya atau kebudayaan dapat diartikan sebagai ‘keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, dan cara-cara yang mencerminkan perilaku atau cara hidup seseorang'.

Jadi, sosial budaya atau sosio budaya berarti segala aspek yang ada di dalam, yang memungkinkan terbentuknya, hingga mengkarakterisasi perkumpulan manusia. Aspek-aspek tersebut berasal dari dalam diri manusia sendiri. 

Dan ketika mereka berkumpul dan berkomunikasi terbentuklah suatu konvensi atau kesepakatan di antara mereka yang kemudian menjadi sosial budaya tadi.

Perubahan sendiri berarti ‘proses menjadi berbeda'. Ketika kita mendengar kata ‘proses', berarti kita mengetahui bahwa ada sebuah kegiatan atau kejadian yang berlangsung di dalamnya.

Seperti halnya dalam contoh ‘proses pemanggangan roti', kita tahu bahwa selama roti tersebut dipanggang, ada aktifitas kalori atau panas yang terjadi, ada aktifitas para bakteri yang mengembangkan dan mematangkan roti tersebut yang terjadi. Sehingga hal ini dapat dikatakan sebagai proses.

Perubahan juga merupakan sebuah proses. Sesuatu yang tidak berubah yang dapat kita sebut sebagai hal yang ‘sama', tetap sama karena tidak mengalami suatu proses atau perlakuan yang ‘berbeda'. 

Tetapi, sesuatu yang berubah, kita sebut ‘berbeda’ karena memang mengalami perlakuan yang berbeda, seperti halnya ‘roti panggang’ tadi.

Perubahan sosial budaya terjadi karena ada suatu hal atau suatu perlakuan atau pengalaman atau proses yang berbeda yang ‘menginterupsi’ keberlangsungan sosial budaya tersebut di suatu komunitas atau perkumpulan manusia. 

Pitirim Sorokin, sosiolog abad klasik Eropa menjelaskan, sebenarnya sosial budaya memang tidak pernah statis, melainkan selalu berubah.

Hal ini dikarenakan sosial budaya sendiri terbentuk oleh konvensi atau kesepakatan manusia di lingkungan tersebut. Kreatifitas manusia adalah satu yang menyebabkan sosial budaya tersebut pasti berubah.

Belum lagi ketika mereka bertemu dengan manusia lain dari lingkungan sosial budaya lain. Hal ini segera akan memberikan mereka masukkan baru yang mendorong mereka untuk membentuk konvensi baru lagi.

Perubahan sosial budaya adalah satu hal yang tidak dapat dihindari. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah intensitas perubahannya. 

Apakah perubahan itu akan mengubah sepenuhnya atau sebagian, dan yang paling penting, apakah perubahan itu mengakibatkan dampak positif atau negatif.

Globalisasi dan Konformisme: Contoh Perubahan Sosial Budaya di Indonesia

Globalisasi adalah satu istilah yang juga sering kita dengar. Globalisasi mengacu kepada konsep ‘terbukanya batas-batas antara Negara', yang mungkin terjadi karena adanya teknologi.

Terbukanya batas-batas ini kemudian memungkinkan untuk terjadinya interaksi langsung antar Negara, otomatis juga antar lingkungan sosial budayanya, dan terjadinya pertukaran antar unsur-unsur sosial budayanya.

Globalisasi ini diharapkan membawa perubahan yang positif dan bermanfaat bagi kedua, lebih negara, atau lingkungan sosial budaya tersebut.

Bila kita menilik sejarahnya, globalisasi dimulai dari era industrialisasi atau revolusi industri Eropa, di mana kemajuan teknologi saat itu paling terlihat signifikan. Sejak saat itu, arus globalisasi melanda seluruh benua, termasuk Asia, termasuk negara Indonesia.

Sorokin menjelaskan, perubahan sosial budaya masih dapat ditoleransi, jika perubahan yang terjadi pada aspek materialnya tidak sampai mengubah sama sekali aspek non materialnya. Terutama yang lebih ke arah negatif.

Motor klasik

Contoh perubahan sosial budaya pada aspek material adalah pada teknologi transportasinya, dari sepeda menjadi sepeda motor. 

Perubahan teknologi transportasi ini kemudian tidak boleh sampai mengubah aspek non material sosial budaya, misalkan pada budaya bekerja keras menjadi bermalas-malasan karena kemudahan yang dirasakan begitu besar.

Jadi, ketika kita mengalami suatu fase globalisasi, dan kita melihat adanya persinggungan antar unsur sosial-budayanya, kita dapat menyimpulkan bahwa globalisasi dapat dikatakan sebagai salah satu contoh perubahan sosial budaya di Indonesia.

Akan tetapi, bila kita mau meneliti lebih jauh, contoh perubahan sosial budaya yang seperti apa yang terjadi di Indonesia? Apakah positif atau negatif? 

Apakah contoh perubahan sosial budaya ini menghilangkan karakteristik asli atau ciri khas sosial budaya Indonesia atau tidak? Ini yang perlu kita identifikasi. Kita perlu telaah lagi apa itu globalisasi.

Ketika konsep globalisasi disebar, bersamaan dengan itu juga disebarkan konsep modernisasi. Menurut Giddens (1991: 1-9, dalam Hoed, 2008: 106), modernisasi adalah sebuah perubahan budaya yang didasari oleh konsep modernitas. 

Modernitas ini mempunyai dua ciri khas. Pertama, cenderung mengurangi nilai adat kebiasaan yang sudah mantap (trust). Kedua, cenderung melihat ke luar (risk to globalizing).

Dalam setiap lingkungan sosial budaya, pada dasarnya telah memiliki bibit-bibit modernisasi. Karena seperti yang telah dijelaskan, budaya selalu bersinggungan dengan budaya lainnya karena sifat manusia yang sosial tadi.

Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah apabila modernisasi ini berjalan tidak imbang pada kedua budaya yang bersinggungan. Yang satu terus memberi atau menjadi donor, yang lain terus menerima atau menjadi resipien. Yang terjadi kemudian adalah konformitas di satu pihak.

Konformitas berasal dari kata Inggris conform yang berarti ‘nyaman'. Konsep konformitas mengacu pada hal di atas, kepasifan atau tidak adanya sikap kritis satu lingkungan sosial budaya dalam menerima sosial budaya lain.

Konformitas ini jelas mengakibatkan perubahan, tetapi perubahan pada apa yang dimaksud Sorokin, perubahan pada aspek non material budaya. Mengapa, karena sikap pasif ini sendiri sudah merupakan perubahan aspek non material, seperti sikap, keyakinan, adat, atau kebiasaan.

Konformitas ini sendiri sudah menjadi suatu contoh perubahan sosial budaya di Indonesia, tapi tidak boleh ditoleransi. Inilah contoh perubahan sosial budaya yang nyata terjadi di Indonesia kini.

Contoh Perubahan Sosial Budaya Konformitas dan Antisipasinya


Telpon klasik
credit:instagram@waroeng_loak

Kita telah mengetahui bahwa konformitas adalah satu contoh perubahan sosial budaya yang tidak baik yang terjadi di Indonesia. Jelasnya satu contoh perubahan sosial budaya dalam bentuk konformitas, yang paling tampak adalah penggunaan teknologi informasi-komunikasi.

Teknologi informasi-komunikasi, seperti yang kita tahu jelas, merupakan satu hal yang pernah tercipta untuk membantu memudahkan interaksi manusia. Teknologi informasi-komunikasi dapat dikatakan sebagai contoh perubahan sosial budaya pada aspek material.

Misalnya, menghubungkan dua orang yang ruang dan waktunya jauh menjadi lebih dekat, itu memberikan mereka kesempatan berkomunikasi dengan lebih efektif dan efisien. Tetapi, kemudian teknologi ini bukan lagi dimanfaatkan secara efektif dan efisien, justru memperbudak para penggunanya untuk menjadi rumit dan boros.

Dua orang yang sudah dekat ruang dan waktunya, justru dijauhkan dan dipisahkan karena keduanya menggunakan teknologi informasi-komunikasi tadi untuk berkomunikasi. 

Atau karena kesibukan keduanya ‘mencari-cari’ komunikasi dengan pihak lain lagi yang jauh, keduanya saling tidak peduli dan tidak berkomunikasi, sehingga menjadi jauh.

Ini jelas manusianya yang merugikan diri sendiri dengan penggunaan teknologi tadi, atau dengan kata lain, ‘memperbudak diri.’ Inilah konformitas. Tindakan hanya ikut-ikutan memanfaatkan contoh perubahan sosial budaya, tapi tidak mengatasinya secara efektif dan efisien.

Contoh perubahan sosial budaya dalam bentuk konformitas yang lain adalah model berbusana atau yang sering disebut fashion. Busana memang mempunyai dua fungsi dasar, yaitu fungsi biologis, yakni sebagai pelindung tubuh dan fungsi sosial, yakni busana sebagai bagian dari tata cara berinteraksi atau bergaul dalam lingkungan sosial budaya.

Indonesia jelas telah memiliki sendiri budaya berbusananya, yaitu apa yang disebut ‘adat ketimuran', yang mengutamakan kesopanan, kepantasan, dan tertutup yang merupakan pencerminan terhadap orang Timur itu sendiri.

Tetapi, kemudian ketika ide-ide perkembangan gaya berbusana yang dihembuskan tanah Barat sampai ke Indonesia, adat-adat keTimuran ini kemudian segera dianggap kuno atau langsung ditinggalkan.

Sekarang toleransi atau pemakluman terhadap gaya berbusana terbuka, berantakan alias tidak sopan, makin aneh itu makin pantas, menjadi satu contoh perubahan sosial budaya yang dianggap baik.

Padahal pada hakikatnya hal tersebut telah mengubah sosial budaya kita sendiri, apakah itu dapat disebut baik? Ini konformitas dan kita hanya ikut-ikutan, budaya kita sendiri tidak berkembang, apa ini baik?

Kita adalah manusia, makhluk yang diciptakan dengan kemampuan berpikir. Karena itu, tiap kali kita menghadapi contoh perubahan sosial budaya, harus kita antisipasi dengan berpikir. Berpikir kritis, dengan mempertanyakan kembali tiap perubahan itu kepada hakikat perubahan yang baik.

Jangan sampai suatu saat budaya kita sendiri menghilang di muka bumi dan kita hanya menjadi budak budaya Negara atau lingkungan sosial budaya lain. 

Jangan sampai kita sendiri menjadi contoh perubahan sosial budaya yang negatif bagi anak-anak turun kita nanti.

Posting Komentar untuk " Contoh Perubahan Sosial Budaya - Globalisasi dan Konformitas"