Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Geguritan Bahasa Jawa dan Usaha Pelestariannya

Geguritan Bahasa Jawa dan Usaha Pelestariannya
credit:instagram@dinaskebudayaan kotajogja

Saat ini Geguritan bahasa Jawa dalam lagu sudah mulai dilupakan oleh masyarakat Jawa. Meskipun bermunculan penggurit-penggurit, jumlahnya tidak begitu banyak. Boleh dikatakan hampir tidak ada pelantun geguritan bahasa Jawa dalam bentuk lagu atau tembang saat ini. 

Hanya musik dengan kekhasan Jawa saja yang kita dengarkan. Suara musik gamelan yang dipadu dengan musik modern. Hal ini lambat laun akan surut secara terus-menerus jika tidak ada usaha untuk melestarikannya lagi.

Bila kita mengingat nama para musisi Jawa senior seperti Waldjinah, Gesang, Mus Mulyadi, dan sederet nama pelantun tembang Jawa, seperti tidak ada regenerasi dari kaum muda untuk melanjutkannya. Pengaruh musik modern kian kentara ketika tembang dari geguritan bahasa Jawa sudah dibahasakan dengan bahasa Indonesia. 

Kekhasan Akan Punah

Geguritan bahasa Jawa yang di tembangkan sudah mendekati kepunahan. Penyebabnya tidak lain adalah kita sendiri sebagai orang Jawa yang tidak mau melestarikannya. 

Sangat langka memang mencari orang dengan bakat menyusun geguritan bahasa Jawa. Apalagi, generasi muda kita lebih dikenalkan oleh orang tuanya dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa dasar mereka.

Kenyataannya, mereka para generasi muda hampir tidak mengenal bahasa Jawa sama sekali. Yang dikejar ketika dewasa juga bukan lagi kembali kepada kebudayaan, melainkan lebih mendalami bahasa asing.

Jika tidak ada lagi yang mampu mencipta dan mau menembangkan geguritan bahasa Jawa, ke depan, geguritan bahasa Jawa akan punah dan tinggal sejarah saja. 

Ini yang perlu kita waspadai terhadap kebudayaan kita sendiri, kebudayaan yang mestinya menjadi ciri khas masyarakat Jawa dan kebudayaan nasional.

Menjadi Musik Klasik

Layaknya musik zaman dulu atau mungkin lebih tua, geguritan bahasa Jawa menjadi musik klasik yang dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Lebih banyak oleh mereka yang sudah tua usianya atau orang-orang yang mengerti bahasa Jawa.

Bila keklasikan ini menjadi benar-benar terjadi, tentu geguritan bahasa Jawa akan mendapat sebuah bentuk penghargaan yang luar biasa. Akan ada banyak pertunjukan tentang geguritan bahasa Jawa dalam bentuk tembang-tembang. 

Meskipun sudah tidak ada yang mencipta geguritan lagi, namun musik klasik yang didengar akan menempati posisi tersendiri dalam hati penikmat musik.

Gengsi Kebudayaan

Bila benar ada sebuah gengsi kebudayaan, akan ada pelestarian mati-matian dari pihak pemerintah daerah untuk terus memunculkan geguritan bahasa Jawa sebagai gengsi kebudayaan. Bukan malah mendiskreditkan geguritan bahasa Jawa sebagai musik yang tertinggal dan kuno.

Sebuah tindakan yang jelas sangat keliru. Tindakan yang akan menyudutkan diri kita sendiri ke dalam bentuk pengingkaran diri, dari mana kita berasal, dan kebudayaan apa yang kita miliki.

Regenerasi Kebudayaan

Tidak adanya regenerasi kebudayaan oleh pihak-pihak terkait atau oleh pihak-pihak pelaku seni. Mereka malah lebih sering menonjolkan kebudayaan barat dalam pertunjukan yang diadakan di daerahnya.

Ini adalah sebuah penjajahan kebudayaan. Kita akan merasa akrab dengan kebudayaan dari bangsa asing, sementara kebudayaan sendiri akan terasingkan dari kehidupan kita, pemilik kebudayaan geguritan.

Saat ini memang perlu diadakan regenerasi kebudayaan. Misalnya saja kita membuat langkah bagaimana agar di daerah masyarakat senang dengan geguritan bahasa Jawa yang di tembangkan. 

Sebagai bentuknya, bisa kita pilih perlombaan-perlombaan dalam bidang geguritan bahasa Jawa. Paling tidak, dari kegiatan tersebut generasi muda akan mengenal dan minimal mau belajar untuk lomba.

Dengan cara pengenalan semacam itulah akan didapatkan bibit-bibit yang mampu bergerak di bidang geguritan bahasa Jawa dan penembang geguritan bahasa Jawa. Jika ada istilah tak kenal maka tak sayang, akan sangat mungkin langkah berikutnya lebih muda dalam pelestarian kebudayaan jawa khususnya geguritan bahasa Jawa.

Geguritan Puisi Jawa Mati Suri

Geguritan Bahasa Jawa dan Usaha Pelestariannya
credit:instagram@kedai_pataba

Geguritan puisi jawa makin hari makin merosot saja jumlah peminatnya. Ini disebabkan masyarakat jawa sendiri yang mulai enggan menggunakan bahasa jawa dalam keseharian mereka. Seakan berbahasa Indonesia menjadi satu hal utama dengan meninggalkan bahasa daerahnya atau jawa.

Kadang ada yang bangga malah dalam berbahasa Inggris dan mengajari anaknya sejak kecil untuk berbahasa inggris dengan meninggalkan bahasa jawa dan bahasa Indonesia.

Memang tidak bisa disalahkan, namun dengan keadaan yang demikian pelestarian kebudayaan jawa, terutama geguritan akan merasakan dampak buruk. Padahal produk sastra jawa ini sudah memiliki sejarah panjang bahkan melebihi sastra Indonesia sendiri.

Kurang cintanya masyarakat Indonesia kepada budaya sendiri tentu akan mendatangkan efek negatif yang bisa berasal dari mana saja. 

Efek ini lambat laun akan menghapus tradisi dan budaya khas indonesia yang bersumber dari budaya daerah. Seperti geguritan puisi jawa ini yang sangat kurang diperhatikan oleh masyarakat jawa sendiri.

Bahasa Krama Kurang Dikuasai

Kurangnya penguasaan bahasa jawa yang krama, bisa merupakan awal lunturnya geguritan dari benak orang-orang jawa. Masyarakat jawa cenderung memakai bahasa jawa yang ngoko dalam kehidupan sehari-hari meski kepada orang tua.

Kekasaran bahasa dalam masyarakat jawa inilah yang membuat geguritan jarang diminati. Majalah yang murni memakai bahasa jawa sudah jarang ditemukan.

Kurangnya Pelestarian Geguritan

Acara-acara sastra selama ini lebih menjurus pada perkembangan sastra Indonesia dan dunia. Pembicaraan sastra kontemporer dan postmodern lebih rancak bergaung di telinga dibanding sastra jawa. 

Tidak adanya pembicaraan dan diskusi khusus tentang sastra jawa ini lambat laun akan membuat sastra jawa akan mengalami kematian secara perlahan.

Ini akan terasa menyakitkan terutama bagi masyarakat jawa. Seperti sebuah bogem keras yang diarahkan ke wajah. Masyarakat jawa yang berbahasa jawa tak bisa memakai bahasa jawa dalam sastra jawa. Dan penyebutan sastra jawa tinggal sejarah akan terdengar dengan keras.

Peminat Kurang

Pendidikan dini dalam mengenalkan bahasa jawa yang krama dan sastra jawa akan lebih menjurus kepada usaha untuk mempertahankan budaya jawa. Apalagi jika didukung dalam pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan siswanya harus bisa berbahasa jawa yang krama.

Kesantunan dalam berbahasa jawa ini akan membawa iklim lain yang lebih sejuk dan akan membuat hidup sastra jawa lebih bergairah. Jangan sampai penjauhan diri dari bahasa jawa terus berlangsung.

Dampak yang lebih parah adalah jika anak-anak jawa nantinya mempelajari bahasa jawa sebagai bahasa asing. Ini akan memperparah dan akan membuat kita menangis jika kebudayaan masyarakat jawa akan dimiliki oleh bangsa lain.

Keluhuran tiap kebudayaan bisa dipetik nilai-nilainya untuk bisa diajarkan kepada anak-anak kita. Apalagi geguritan atau puisi jawa yang menawarkan nilai-nilai kehidupan yang luhur dan berbudi pekerti.

Posting Komentar untuk " Geguritan Bahasa Jawa dan Usaha Pelestariannya"