Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tujuh Unsur Budaya Batak Mandailing, Sumatera Utara

pakaian-pengantin-batak-mandailing
credit:flickr.com

Di provinsi Sumatera Utara terdapat suku Batak. Suku Batak sendiri terdiri dari beberapa etnik, misalnya Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Tapanuli, Batak Mandailing dan sebagainya. 

Pada pembahasan kali ini kita akan fokus pada satu topik yaitu  Tujuh Unsur Budaya Batak Mandailing, Sumatera Utara. Silahkan membacanya hingga selesai agar Anda bisa mendapatkan informasi yang berguna dan bermanfaat.

1. Bahasa

Mandailing adalah sebuah komunitas atau forum suku yang berada di wilayah Mandailing dan mengamalkan hukum adat. Suku Mandailing yang juga dikenal dengan Suku Mandailing adalah mereka yang memiliki ikatan turun temurun dengan wilayah Mandailing, baik yang saat ini bertempat tinggal di sana maupun di luar negeri.

"Hombar do Adat dohot Ibadat", yang menyiratkan bahwa Adat dan Ibadah tidak dapat dipisahkan, adalah ajaran Mandailing yang terkenal (artinya: Adat tidak boleh bertentangan dengan Islam).

Bahasa Andung, Bahasa Adat, Bahasa Parkapur, Bahasa na Biaso, dan Bahasa Bura adalah bahasa yang dituturkan oleh suku Mandailing, dengan bahasa Bura sebagai bahasa ibu mereka.

Mereka yang bermarga Nasution, Lubis, Pulungan, Batubara, Rangkuti, Daulae, dan Matondang dianggap anggota masyarakat Mandailing Natal. Orang Mandailing berbeda dari Batak Mandailing, juga dikenal sebagai Batak yang tinggal di sana dan termasuk klan Hasibuan, Harahap, dan Siregar. Mereka berasal dari pedalaman pantai barat Sumatera serta dari Tapanuli Selatan dan Utara di Indonesia.

2. Seni (Kesenian)

Tarian tor-tor magis dan tari serampang dua belas merupakan representasi dari budaya (hiburan) suku Mandailing. Dan berbicara tentang Gordang Sambilan, alat musik tradisional suku Mandailing yang tidak ada bandingannya dengan etnis lain di Indonesia atau Malaysia, itu adalah salah satu warisan budaya bangsa Mandailing.

Para ahli etnomusikologi melihat Gordang Sambilan sebagai ansambel musik yang unik di dunia. Musik tradisional keramat (kudus) yang paling penting, terutama di masa lalu, adalah milik orang Mandailing dan disebut Gordang Sambilan. 

Karena dianggap memiliki kemampuan magis untuk menyulap arwah leluhur untuk membantu melalui perantara atau dukun bernama Sibaso, Gordang Sambilan dipuja sebagai benda suci.

Oleh karena itu, dahulu kala, Gordang Sambilan harus ada di setiap kerajaan otonom yang banyak terdapat di Mandailing. Balai adat kerajaan, Sopo Godang, atau bangunan yang dibangun khusus untuknya di sana disebut Sopo Godang, yang keduanya dekat dengan Bagas Godang, rumah raja, adalah tempat penyimpanan alat musik suci. Hanya upacara adat pernikahan dan perayaan Idul Fitri yang menggunakan Gordang Sambilan.

Dan produk akhir seni berupa kain ulos, kerajinan tenun yang dibuat oleh suku Mandailing (Abid Godang). Kain ini selalu dipertunjukkan atau dikenakan pada saat pernikahan, proyek pembangunan rumah, pemakaman, pemindahan warisan, dan upacara tari tor-tor.

3. Sistem Mata Pencaharian

Etnis Mandailing memiliki beragam pilihan mata pencaharian, termasuk bertani, namun pada masa lalu, ada orang Mandailing yang bermata pencaharian sebagai pedagang emas, peternak, dan pedagang kuda ternama.

Masih banyak masyarakat, khususnya masyarakat Karo, Simalungun, dan Pakpak, yang masih bercocok tanam di ladang. Orang Batak menanam padi di sawah irigasi. Itu dikeluarkan dari hutan dengan menebang dan membakar pohon.

Hak ulayat dipegang oleh Huta atau Kuta Lah dalam sistem pertanian di sawah. Sedangkan wilayah tersebut hanya boleh digunakan oleh masyarakat Huta atau Kuta. Mereka mengolah tanah seolah-olah itu milik mereka sendiri, tetapi mereka tidak diizinkan untuk menjualnya tanpa persetujuan yang disengaja dari Hutan. 

Ada juga tanah yang dimiliki secara pribadi. Ada tanah panjaitan, tanah pausewang, dan tanah parbagi, misalnya, untuk orang Batak Toba.

4. Sistem Keagamaan

Masyarakat luar sering mendapat tanggapan yang salah tentang agama yang dianut oleh suku Mandailing, patung Sangalon yang merupakan simbol keadilan pada masyarakat Mandailing pertama kali sering disalahpahami tentang Sebelum Suku Mandailing memeluk agama Islam, dan memiliki sistem kepercayaan dan agama tentang patung pemulung.

5. Sistem Pengetahuan

Sistem pengetahuan masyarakat Mandailing didasarkan pada pemahaman mereka tentang sistem kerjasama pertanian yang saling menguntungkan. Masyarakat Mandailing juga berkolaborasi membangun kolam ikan selain bertani.

Orang Batak menguasai ide informasi yang berkaitan dengan jenis-jenis flora di sekitar mereka, selain pemahaman tentang perubahan musim. Agar aktivitas sehari-hari mereka—seperti makan, minum, tidur, dan minum obat—lebih nyaman, pengetahuan ini sangat penting. 

Misalnya, suku Batak menggunakan jenis tanaman bambu tertentu untuk membuat tabung air, ranting kayu sebagai bahan bakar, dan batang kayu jenis tertentu digunakan untuk membuat lesung dan alu, yang digunakan untuk menggiling beras.

Pemahaman tentang berbagai kayu, kulit kayu (lak-lak), dan batu yang digunakan orang Batak untuk membangun makam raja mereka. Sedangkan orang Batak biasanya memanfaatkan kulit kayu untuk menulis ratapan, surat, dan perdukunan. Karena hanya Datu yang menggunakan lak, kulit (lak-lak) tersirat tetapi belum ada.

Suku Mandailing mengikuti struktur kekerabatan yang terdiri dari Mora, Kahanggi, dan Anak Boru (bersama-sama dikenal sebagai Dalihan Na Tolu). Raja Mandailing memerintah wilayah tersebut.

Seperti adat, nama marga orang mandailing dapat digunakan untuk menentukan hubungan mereka. Bahasa Sansekerta adalah asal kata "klan" atau "klan". Varga, yang berarti warna, dalam konteks ini mengacu pada sekelompok atau klan individu yang memiliki nenek moyang yang sama.

Mirip dengan bagaimana orang Arab menggunakan nama syekh suku Cina, orang lain juga melakukan praktik ini. Nasution, Lubis, Pulungan, Daulae, Batubara, Rangkuti, Parinduri, Mardia, Dalimunte, dan Matondang adalah beberapa marga orang Mandailing yang sering dikenal di seluruh Malaysia dan Indonesia. 

Hasibuan, harahap, siregar, simalungun, sinambela, simanjuntak, sinaga, dan sihotang adalah komponen lebih lanjut dari Mandailing.

6. Sistem Teknologi

Masyarakat Mandailing telah mengenal dan menggunakan alat-alat sederhana yang digunakan untuk bercocok tanam dalam kehidupan mereka. Seperti cangkul, bajak, tongkat tunggal, sabit, atau ani-ani. Ada dua macam usaha tani dari segi alat bajak, yaitu: bajak dengan mesin dan bajak dengan tenaga hewan seperti kerbau atau sapi.

Orang Batak juga memiliki senjata tradisional, yaitu piso surit (sejenis keris), piso gajah dompak (sejenis keris panjang), hujur (sejenis tombak), podang (sejenis pedang panjang). Unsur teknologi lainnya adalah kain ulos, yaitu kain tenun yang memiliki banyak fungsi dalam kehidupan adat Batak. Masyarakat Batak juga memiliki rumah adat Batak.

7. Agama

Beberapa agama, khususnya Islam dan Kristen Protestan, yang menyusup ke dalam suku Batak sekitar awal abad ke-19, berdampak pada mereka. Sejak tahun 1810, Islam telah menyebar ke Minangkabau, di mana mayoritas orang Batak selatan saat ini mempraktikkannya (Mandailing dan Angkola). 

Sementara itu, organisasi penyiaran agama dari Jerman mulai menyebarkan agama Kristen ke wilayah Toba dan Simalungun pada tahun 1863, dan organisasi Belanda mulai menyebarkan agama Kristen ke wilayah Karo pada saat yang bersamaan. Selain agama asli, ada lebih banyak agama.

Terlepas dari kenyataan bahwa mandailing sering dikaitkan dengan Batak, mandailing yang khas tidak setuju. Hal ini dikarenakan mayoritas orang Mandailing dan Batak masing-masing menganut agama Islam, sedangkan mayoritas orang Batak pada umumnya menganut agama Kristen.

Posting Komentar untuk " Tujuh Unsur Budaya Batak Mandailing, Sumatera Utara"