Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Strategi Kebudayaan Dalam Pembangunan Daerah Minahasa

suku-minahasa

Syukur pada Tuhan karena hanya oleh perkenanNya sehingga kita bisa sama-sama pada hari ini bercakap-cakap secara lebih serius tentang seni dan budaya. Hal yang sangat — untuk belum mengatakan: paling — penting dan strategis dalam pembangunan masyarakat. 

Kiranya tak ada salahnya pembahasan ini diawali dengan mengingatkan kita semua tentang mutlak penting dan mendasarnya peran budaya dalam pembangunan. Sudah sangat lama para ahli melihat betapa faktor budayalah, dan bukan terutama kekayaan sumber daya alam, yang determinan bagi keberhasilan suatu negara ataupun masyarakat. 

Dan sejumlah penelitian mutakhir telah memaparkan data dan fakta tak terbantahkan bagaimana sejumlah negara termaju di dunia meninggalkan sangat banyak negara lainnya berkat budayanya yang lebih unggul.

Pada awal dekade 1960-an Ghana setara dengan Korsel dalam hampir semua kondisi dan modalitas ekonomi (prasarana, tingkat income perkapita, kas negara, modal demografis, dan lain-lain), maka ketika 3 dekade berikutnya Korsel mencapai income perkapita sebesar 15 kali dari yang dapat dicapai Ghana pastilah tak ada penjelasan lain mengenai keunggulan itu selain dari faktor kebudayaan.

Kebudayaanlah yang membuat Eropa Barat, kemudian AS dan Jepang, jauh melampaui Indonesia dan semua negara berkembang lainnya.

Kebudayaanlah yang membuat sukubangsa di Indonesia mengalami masa kejayaan, salah satunya adalah suku Minahasa. Suku Minahasa pernah mencapai taraf relatif terunggul di antara etnis-etnis lain di Nusantara.

Kebudayaan pulalah yang membuat subetnis Tonsea pernah mencapai taraf relatif termaju di antara semua subetnis lain di Minahasa bahkan Sulawesi Utara (kosakata tou sia’ di dalam bahasa subetnis lain di Minahasa itu menjadi “monumen sejarah kebudayaan” untuk kenyataan tersebut).

Memajukan budaya akan memajukan budaya politik, budaya ekonomi, dan sistem budaya dalam semua aspek kehidupan lainnya, sehingga secara keseluruhan masyarakat ybs akan mencapai kemajuan optimal, solid dan mendasar. 

Sistem dan aturan politik yang seideal apapun tak akan membawa kemajuan bila tanpa didukung budaya politik yang memadai dari segenap warganya; demikian halnya sistem serta aturan perekonomian. 

Sebaliknya, sejumlah negara maju telah membuktikan, meski mereka memulai dengan sistem-sistem sosial yang masih penuh cacat dan kekurangan namun budaya mereka yang menumbuhkan kecerdasan, sikap kritis dan daya kreatif itu telah membawa bangsa itu pada perbaikan demi perbaikan sistemik yang pada gilirannya menjadikan negara tersebut benar-benar sebagai wahana pencapaian kemakmuran dan keadilan bagi warganya.

Inilah yang disebut strategi budaya (cultural strategy). Upaya membangun pelbagai aspek kehidupan dengan mengandalkan pendekatan budaya.

Ke arah manakah hendaknya kebudayaan setiap masyarakat dimajukan? Budaya yang dibutuhkan bagi keberhasilan pembangunan manusia tidak bisa lain adalah budaya yang menumbuhkembangkan daya cipta. Daya cipta atau kreativitas harus merupakan agenda utama setiap politik kebudayaan.

Peradaban umat manusia hanya akan bisa meninggalkan tahap yang lebih rendah ke tahap yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi berkat kreativitas. Bila ilmu ekonomi merupakan upaya manusia memenuhi kebutuhannya di tengah kelangkaan, maka jawaban atas kelangkaan bahkan ketiadaan pastilah daya cipta. 

Pendidikan sebagai proses pembudayaan, maupun sistem pengembangan sumber daya manusia pada umumnya, harus terutama berujung tombak pada pengembangan daya cipta.

Resesi dan segala krisis ekonomi tak lain diakibatkan ketidakseimbangan antara supply uang serta hasil produksi dan pertumbuhan kreativitas masyarakat. Yang antara lain ditandai dengan fenomena stagflasi, overheat, slumflation, dan sebagainya.

Daya cipta membuat manusia lebih waskita (visioner), outward-looking; memiliki semangat tumani o apar — hanya kreativitas yang merupakan daya dorong dari dalam jiwa dan dilatari nilai luhurlah yang membuat tou Minahasa relatif lebih berani meninggalkan kosmologi lamanya yang antaranya ditandai oleh pertautan/integrasi abadi antara manusia dan tanahnya.

Nilai tumani o apar, jiwa pelopor, mental pionir, itulah yang membekali keberhasilan tak kepalang tanggung dari sejumlah putra-putri Tonsea di masa lampau. Mr.A.A. Maramis, Arie Lasut, M.R. Dajoh, Maria Josephine Maramis (Ny. Walanda), FDJ Pangemanan, HV Worang, Prof Dr. Albertina Kaunang Baramuli SH, untuk sekadar menyebut beberapa nama.

Dalam hal pengandalan dan pengutamaan kreativitas ini saya sedikit berbeda dengan umumnya para strateg budaya. Kebanyakan mereka mengusulkan semangat bersaing (kompetitif) sebagai ujung tombak kemajuan. Kompetitif bisa menumbuhkan inovasi, tetapi juga bisa tidak. 

Sementara kreativitas niscaya melahirkan inovasi. Kompetitif dapat surut sesudah sukses dicapai, tetapi kreativitas adalah dorongan naluriah tak pernah padam untuk selamanya berkarya dan berproduksi. Semangat bersaing tak selalu disertai daya saing, tapi daya cipta pasti memperbesar daya saing.

Kreativitas menyanggupkan setiap masyarakat untuk senantiasa merevitalisasi jatidiri (self authentic). Manusia mencapai daya optimal bila ia mengejar pengembangan daya (kemampuan teknis, kaya pengetahuan, hingga keunggulan fisik) tersebut dengan selamanya bertumpu kokoh di atas nilai-nilai budaya aslinya yang terbaik. Kemajuan yang tidak membuat seseorang atau suatu masyarakat mengidap “budaya portable” alias budaya tanpa pijakan dan mengambang.

Salah satu ancaman globalisme adalah kehilangan jatidiri kultural. Padahal jatidiri membuat seseorang bisa lebih cepat mencapai puncak keunggulan serta keberhasilannya.

Tumbuh dan berkembangnya Kreativitas berawal dari dorongan serta arahan etika — lebih khusus lagi nilai perduli sesama (care the other). Nilai etika ini menumbuhkan sikap mengapresiasi hal-hal yang bagi kebanyakan orang tak diperhatikan, dan dorongan besar untuk menolong atau memecahkan masalah yang ada.

Sikap serta kebiasaan ini menumbuhkan dimensi atau daya estetika pada manusia; berupa kesanggupan menyimpan serta menghadirkan bahan baku bagi kesadaran, dan memperbesar daya kreatif. 

Muara dari semua ini ialah proses mental menemukan konstruksi logika seturut kebutuhan, yang dirumuskan berupa teori-teori, ide-ide, ilmu dan teknologi yang dibutuhkan bagi kehidupan dan penghidupan manusia. 

Seorang yang ingin menjadi ilmuwan lalu hanya menimbunkan sebanyaknya ilmu dalam otaknya niscaya kalah cerdas dengan ilmuwan yang memberi porsi cukup bagi aktivitas apresiasi seni dan tak menganggap itu sebagai buang waktu. Begitu pula politisi, usahawan, dan lain - lain.

Tiga Fungsi-Hirarkhis Seni dalam Budaya:

budaya-minahasa

1. Karya seni (tak kecuali lukisan atau tarian yang masih berada di alam imajinasi, irama yang belum digubah utuh sebagai sebuah lagu, dan sebagainya) adalah bahan baku bagi proses penciptaan logika. 

Dalam hal ini, bahan baku yang diperbanyak dibanding ketersediaan di alam sekitar; atau dipercepat kehadirannya di hadapan manusia yang membutuhkannya untuk proses penciptaan logika (ide, teori, ilmu dan teknologi). Seniman mencipta dunia, bukan meniru dunia.

2. Karya seni membuat logika dan etika yang ada di dalamnya diterima secara lebih cepat dan digenggam dengan antusias oleh manusia. Ibadah keagamaan, pendidikan/proses belajar, maupun visi politik yang dikemas dalam/dengan seni akan lebih efektif mencapai tujuan.

3. Karya seni yang pada tahapan waktu tertentu menjadi bagian dari seni budaya tradisional yang dilestarikan akan menjadi cerminan jatidiri suatu masyarakat. Masyarakat Minahasa akan mempertanyakan kadar demokratis dirinya sendiri jika mengapresiasi kembali tari maengket.

Tiga fungsi tersebut tentu saja di luar fungsi seni dalam ekonomi. Baik itu sebagai komoditas “jasa hiburan” (meski istilah yang sangat jamak digunakan ini sudah saatnya kita kritisi), industri pariwisata, maupun jasa yang lebih serius sebagaimana kebutuhan manusia pada pengayaan batin dan pembentukan karakter.

Tiga fungsi seni tersebut menjelaskan bahwa:

1. Pengembangan kebudayaan mensyaratkan pengembangan kesenian, yang pada hulunya mensyaratkan pengembangan etika yang benar dalam masyarakat.

2. Pengembangan kesenian tak boleh hanya ditekankan pada seni budaya tradisional; justru seni avant garde-lah yang harus diberi porsi lebih besar.

Peran ideal masyarakat untuk pengembangan seni dan budaya:

1. Berdasarkan pada kesadaran bahwa seni menjalankan fungsi sangat fundamental dan strategis (menumbuhkembangkan kreativitas manusia, memperbanyak dan mempercepat bahan baku kesadaran manusia, mengefektifkan ibadah dan pendidikan, dan sebagai komoditas ekonomi), maka masyarakat (baik secara langsung maupun institusi negaranya) harus memiliki program pengembangan seni yang terarah benar dan memadai secara terukur (antaranya terindikasi pada besarnya prosentase anggaran belanja negara untuk bidang kesenian).

Problem mendasar selama ini, seni tidak pernah sepenuhnya disadari sebagai pemeran fungsi semendasar dan sestrategis yang sebenarnya, sehingga peranan masyarakat/negara bagi pengembangan seni pun tak pernah memadai (underdosis). 

Kurangnya kesadaran ini tidak hanya di lingkungan masyarakat awam seni dan birokrasi pemerintahan, namun pula pada banyak seniman sendiri. Seni cuma dianggap berperan untuk hiburan, acara selingan.

Masyarakat dididik untuk hanya memandang kebudayaan sebagai salahsatu aspek di antara aspek-aspek lainnya (i-pol-ek-sos-bud-han-kam). Untuk perspektif dan program tertentu, itu tak masalah. 

Tetapi tidak boleh untuk semua perspektif dan semua program, karena kita pun tahu betapa penting dan ampuhnya program strategi budaya (cultural strategy, upaya pembangunan bidang ekonomi, politik, hukum, apa saja, dengan mengandalkan budaya). 

Tetapi kenyataan sering lebih parah; dulu kebudayaan masih dikaitkan dengan pendidikan (DepDikBud, Dep.P&K), tapi sekarang kebudayaan menjadi bagian dalam industri pariwisata — hanya bagian dari salahsatu bagian dalam bidang ekonomi.

2. Masyarakat/negara harus memfasilitasi dan mengiklimi proses kreatif para seniman. Harus cukup memadai pengembangan tingkat apresiasi seni masyarakat semenjak di usia dini. Kebebasan berekspresi, dan sistem demokrasi pada keseluruhannya, merupakan habitat bagi tumbuh dan berkembangnya kesenian.

3. Masyarakat/negara harus memiliki program konservasi dan dokumentasi seni tradisional. Pengembangan pelbagai karya seni yang dikembangkan bertumpu dari seni tradisional hanya mungkin optimal oleh tersedianya dokumentasi dan hasil konservasi itu.

Iyulah ulasan singkat mengenai Strategi Kebudayaan Dalam Pembangunan Daerah Minahasa. Semoga informasi ini berguna dan bermanfaat.

Posting Komentar untuk " Strategi Kebudayaan Dalam Pembangunan Daerah Minahasa"