Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Asal-usul Pedukuhan Mangir, Kampung yang Bikin Mataram Cemas

Asal-usul Pedukuhan Mangir, Kampung yang Bikin Mataram Cemas

Runtuhnya Kerajaan Majapahit pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 membuat para bangsawan dari kerajaan ini melarikan diri ke berbagai daerah. Mereka berusaha untuk menjauhi pusat Kerajaan Majapahit yang semakin kacau karena konflik. Raja Majapahit terakhir, yakni Prabu Brawijaya 5 juga melarikan diri bersama dengan anak - anaknya yang berjumlah 117 orang, mereka tercerai-berai pergi ke berbagai arah. 

Salah satu anaknya tersebut adalah Raden Lembu Amisani, terpaksa menyelamatkan istri dan anaknya, Raden Joko, dengan cara menembus hutan belantara. Dan berdasarkan cerita babat Ki Ageng Mangir, perjalanan keluarga Lembu Amisani ini yang nanti membesarkan pedukuhan Mangir yang legendaris itu.

Cerita Lembu Amisani dan keluarganya dikisahkan penuh liku-liku dan kepedihan, namun akhirnya melahirkan sejarah dramatis yang mewarnai sejarah Mataram Islam. Keturunan Lembu Amisani inilah yang kelak mendirikan pedukuhan Mangir, hingga berkonflik dengan pendiri Mataram Islam, Panembahan Senopati.

Dalam Babad Tanah Jawi, tidak ditemukan nama Lembu Amisani dalam daftar nama anak Brawijaya 5. Dia justru disebutkan sebagai Brawijaya 3, yang seharusnya kakek Brawijaya 5. Namun, dalam cerita babat Ki Ageng Mangir, Lembu Amisani disebut sebagai putra Brawijaya 5 dan merupakan adik dari Betoro Kantong yang tinggal di Ponorogo.

Untuk menghindari kejaran musuh Majapahit, Lembu Amisani dan istri serta putranya, Raden Joko, menembus lebatnya hutan belantara. Mereka berusaha terus mencari tempat baru yang dirasa aman dan bisa mengembangkan hidupnya dalam pelariannya itu. 

Raden Lembu Amisani sempat mampir ke rumah kakaknya, Betoro Katong di Ponorogo. Kala itu Betoro Katong sudah memeluk agama Islam dan ia menyarankan agar Lembu Amisani agar mengikuti keyakinannya. Namun, Lembu Amisani menolak dan memilih untuk melanjutkan pelariannya.

Sebagai kakak, Betoro Katong kemudian memberi banyak bekal, termasuk uang, kepada keluarga Lembu Amisani. Namun, dalam perjalanan, bekal itu kemudian menyusut dan akhirnya habis. Mereka kemudian memakan apa yang ditemui di hutan, dan itu diceritakan dalam babat Ki Ageng Mangir. 

Akhirnya, sampailah mereka di desa Dander, Wono Sari, Gunung Kidul. Di sini, Lembu Amisani dan istrinya terus bertapa memohon wahyu agar keturunannya kelak menjadi raja yang menguasai tanah Jawa. Namun, doanya belum terkabul.

Raden Lembu Amisani dan istrinya moksa alias wafat dengan jasad menghilang. Ini membuat Raden Joko terpukul hebat karena sendirian ditinggal oleh kedua orangtuanya. Dalam kepedihan, Raden Joko kemudian meninggalkan Desa Dander dan terus berjalan ke barat hingga sampailah di Gua Langse. Karena bersama ayah dan ibunya pernah singgah di Wonoboyo, ia kemudian mengubah namanya dari Raden Joko menjadi Ki Ageng Wonoboyo agar orang tidak mengenali bahwa dirinya adalah bangsawan.

Di Gua Langse, Ki Ageng Wonoboyo bertapa cukup lama hingga dikisahkan mendapatkan wangsit dalam bentuk suara-suara. Seperti ditulis dalam babat Ki Ageng Mangir, berbunyi, "Nak, tinggalkan tempat ini dan pergilah ke arah barat laut menuju sebuah desa yang bernama Mangir. Buatlah pertapaan dan masuklah agama suci. Bertanilah di pinggir Kali Progo dan berdahalah. Kelak kau akan mendapat anugerah. Kau akan mendapatkan sebuah pusaka yang sangat ampuh. Tak ada seorangpun yang sanggup menahan kesaktiannya. Sekalipun sakti orang itu, siapapun yang terkena senjata itu pasti akan mati." Demikian bunyi suara - suara itu.

Keesokan harinya, Ki Wonoboyo menuju tempat yang dikatakan suara dalam pertapaannya. Ia menyusuri laut selatan sambil bermain ombak, sempat mampir di Palangwedang, kemudian melanjutkan ke Parangkusumo dan Mancingan. Sesampainya di Kali Opak, ia berhenti untuk bertapa selama tujuh hari, baru kemudian menuju ke Muara Kali Progo.

Sesampainya di Muara Kali Progo, Ki Ageng Wonoboyo bertapa selama empat puluh hari. Setelah itu, ia kemudian menyusuri Kali Progo ke arah utara hingga menemukan pedukuhan Mangir. Ki Ageng Wonoboyo kemudian segera membangun pedukuhan itu. Kemudian ia pun dijuluki Ki Ageng Mangir. Dalam waktu sekejap, Dukuh Mangir semakin maju dan sejahtera, hingga banyak orang dari luar yang pindah ke pedukuhan Mangir.

Setelah sekian lama membangun Mangir, Ki Ageng Wonoboyo memiliki putra berparas tampan. Ketika dewasa, putranya ini kemudian dinikahkan dengan putri Ki Pager. Nah, ketika menikahkan puteranya itu, Ki Ageng Wonoboyo berjumpa dengan Sunan Kalijogo yang datang sebagai tamu tak diundang. 

Sunan Kalijogo menyamar sebagai orang biasa. Setelah sempat dikagetkan oleh penyamaran Sunan Kalijogo, Ki Ageng Wonoboyo kemudian menyatakan ingin berguru kepada Sunan. Permintaan itu dikabulkan hingga Ki Ageng Wonoboyo meninggalkan pedukuhan Mangir lalu menemui Sunan Kalijogo di Kembanglampir untuk belajar agama. Sejak saat itu, Mangir dipimpin oleh putranya, Ki Ageng Mangir 2.

Setelah dirasa cukup dalam belajar agama, Ki Ageng Wonoboyo diminta oleh Sunan Kalijogo bertapa di Gua Plawangan. Ia baru pulang ke Mangir ketika istri Ki Ageng Mangir 2 mengandung, dan dilakukan upacara tingkepan. Itulah saat Ki Ageng Wonoboyo terlibat insiden pisau dengan Roro Jelegong. 

Roro Jelegong akhirnya hamil dan dikisahkan punya anak berupa ular. Anak itu menyusul Ki Wonoboyo yang sedang bertapa di Gunung Merbabu. Pertemuan itulah yang akhirnya menandai munculnya pusaka, tombak Baru Klinting. Tombak itu dikisahkan berasal dari lidah ular tersebut yang dipotong Ki Ageng Wonoboyo. Dan tombak Baru Klinting itu menjadi senjata Pedukuhan Mangir yang paling ditakuti banyak orang.

Sementara Ki Ageng Mangir 2 yang memimpin Mangir sudah punya beberapa orang anak. Yang sulung diberi nama Joko Mangin. Karena sudah dewasa, Joko Mangir diminta memimpin Pedukuhan Mangir, dan ayahnya kemudian menyusul. Ki Ageng Wonoboyo untuk ikut dan mendekat kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Inilah masa penting Pedukuhan Mangir dibawah kepemimpinan Joko Mangir, alias Ki Ageng Mangir 3. Ia diberi warisan tombak Baru Klinting oleh kakeknya, Ki Ageng Wonoboyo. Pedukuhan Mangir pun semakin maju dan dihormati banyak orang. Ini juga masa kebesaran Mangir, apalagi Mangir adalah tanah perdikan. 

Saat itu, Kerajaan Mataram Islam yang baru didirikan oleh Danang Sutowijoyo, alias Panembahan Senopati, dan pada tahun 1586 juga sedang berkembang. Saat itu, Mataram meminta Mangir untuk tunduk, namun Ki Ageng Mangir 3 menolak tunduk kepada Mataram. Ia baru mau tunduk kepada Mataram jika Panembahan Senopati berani duel dengannya dan mampu menahan tombak Baru Klinting.

Dengan sikap Mangir itu, dianggap mengancam Mataram. Apalagi sikap itu mempengaruhi beberapa daerah untuk menolak tunduk kepada Mataram, seperti Pati, Jepara, Kudus, Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Blambangan, Lumajang, Probolinggo, Kediri, Ponorogo, dan Madiun. 

Panembahan Senopati semakin cemas dan meminta pasukannya untuk menyerang Mangir. Namun, patihnya, Adipati Mondoroko, alias Juru Martani, mencegahnya. Menurutnya, perang melawan Mangir bisa sangat berbahaya, apalagi Ki Ageng Mangir memiliki pusaka tombak Baru Klinting.

Lalu, atas saran Adipati Mondoroko, Panembahan Senopati mengirim rombongan wayang Gemangin sebagai penyamaran. Dalam rombongan itu, ada Putri Panembahan Senopati, yakni Roro Pembayun. Singkat cerita, Ki Ageng Mangir kemudian jatuh cinta kepada Roro Pembayun dan menikahinya. Ketika Roro Pembayun hamil, ia mengajak Ki Ageng Mangir untuk sowan ayahandanya yang tak lain adalah Raja Mataram Islam pertama, yakni Panembahan Senopati.

Di sinilah akhir hidup Kyai Ageng Mangir 3. Maksud hati Ki Ageng Mangir sowan dan menghadap mertua, yakni Panembahan Senopati, untuk memberikan sembah bakti sebagai menantu. Namun, Panembahan Senopati kemudian emosi mengingat perlawanan Ki Ageng Mangir yang tidak mau tunduk kepada Mataram. Panembahan Senopati yang duduk di atas batu Gilang langsung marah. Ia kemudian meraih kepala Ki Ageng Mangir dan membenturkan ke batu Gilang hingga tewas.

Tidak lama setelah kematian ki Ageng Mangir 3 itu, Panembahan Senopati tutup usia di tahun yang sama. Kedudukannya kemudian digantikan putranya, Mas Jolang, alias Hanyokrowati. Sejak itu, Pedukuhan Mangir kehilangan tokohnya dan kebesarannya runtuh. Kemudian berada di bawah kekuasaan Mataram. Kini, bekas Pedukuhan Mangir itu menjadi Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul.

Posting Komentar untuk " Asal-usul Pedukuhan Mangir, Kampung yang Bikin Mataram Cemas"