Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengungkap Tabir Sultan Hamengkubuwono I dan Sejarah Masjid Pathok Negoro

Masjid Pathok Negoro
credit:instagram@bantulcreativecity

Ada cerita menarik tentang pendiri Kesultanan Yogyakarta, Pangeran Mangkubumi yang juga dikenal dengan nama Sri Sultan Hamengkubuwono 1. Ceritanya terhubung dengan seorang tokoh agama yang tinggal di desa Ketonggo Pleret, kabupaten Bantul, yaitu Kyai Muhammad Faqih. 

Hubungan mereka tersembunyi dan penuh dengan penyamaran, tapi akhirnya terungkap dengan fakta-fakta yang mengagetkan. Kisah inilah yang menjadi awal munculnya masjid-masjid pathok negoro di Yogyakarta, termasuk Masjid Wonokromo di Pleret Bantul.

Perjanjian Giyanti dan Pembagian Mataram

Mari kita tengok sedikit ke belakang, tepatnya pada tanggal 13 Februari 1755. Pada hari itu terjadi perjanjian Giyanti antara Pangeran Mangkubumi, yang kemudian menjadi Sri Sultan Hamengkubuwono 1, dengan Sunan Pakubuwono 3 dan VOC. Akibat perjanjian tersebut, Kerajaan Mataram terbagi menjadi dua wilayah. Pakubuwono 3 menguasai Mataram bagian timur, sementara Pangeran Mangkubumi mendapatkan bagian Mataram Barat. 

Dan begitu perjanjian itu terjadi, Pangeran Mangkubumi segera mendirikan Kesultanan Yogyakarta dan memakai gelar Sri Sultan Hamengkubuwono 1. Gelar lengkapnya adalah "Larso dalam sampeyan dalam Engkang sinuwun kancing Sultan Hamengkubuwono Senopati ing alogo Abdurrahman sayidin panotogomo kalifatullah". Artinya, Sri Sultan Hamengkubuwono 1 tidak hanya menjadi pemimpin Kerajaan Yogyakarta, tetapi juga pemimpin agama di wilayahnya.

Pertemuan dengan Kyai Muhammad Faqih

Sebagai seorang pemimpin, Sri Sultan Hamengkubuwono 1 mencari nasihat dari para ulama yang dianggap memiliki kebijaksanaan dalam agama. Salah satu tokoh yang sangat dihormati olehnya adalah Kyai Muhammad Faqih, seorang ulama sederhana di Desa Ketonggo, yang termasuk dalam wilayah Pleret. Kyai Muhammad Faqih memiliki banyak murid, dan Sri Sultan Hamengkubuwono 1 mengirim utusan untuk memohon izin agar bisa berguru kepada ulama tersebut.

Namun, tak terduga, permohonan Sri Sultan Hamengkubuwono 1 ditolak oleh Kyai Muhammad Faqih. Alasannya, Kyai Muhammad Faqih hanya mengajarkan ilmu agama kepada murid-muridnya, dan tidak kepada seorang raja seperti Sri Sultan Hamengkubuwono 1. 

Tapi jangan remehkan kecerdikan Sang Sultan! Ia pun mencari jalan pintas untuk mendapatkan ilmu dari Sang Kiai. Ia menyamar sebagai seorang abdi di Keraton Yogyakarta dan secara langsung mendatangi Kyai Muhammad Faqih, memohon agar bisa diangkat sebagai muridnya.

Ternyata, Kyai Muhammad Faqih tak mengetahui bahwa orang yang menyamar sebagai abdi tersebut adalah Sri Sultan Hamengkubuwono 1 sendiri. Akhirnya, setelah mengetahui niat tulus Sang Sultan, Kyai Muhammad Faqih menerima dia sebagai murid. Apalagi, niat Sri Sultan Hamengkubuwono 1 untuk belajar sungguh-sungguh sangat terlihat. Sejak itu, Sri Sultan Hamengkubuwono 1 yang menyamar sebagai abdi belajar ilmu agama kepada Kyai Muhammad Faqih.

Kyai Muhammad Faqih dan Nasihat-Nasihatnya

Sultan Hamengkubuwono 1 sering memanfaatkan kesempatan untuk meminta nasihat dari Kyai Muhammad Faqih tentang bagaimana cara memerintah dengan baik dalam sebuah kerajaan sambil tetap menjaga nilai-nilai keagamaan Islam di wilayah yang terpencil. Salah satu nasihat penting dari Sang Kyai adalah Sultan harus mengangkat tokoh yang mampu menuntun akhlak rakyat. Nasihat-nasihat ini sangat dipegang erat oleh Sri Sultan Hamengkubuwono 1.

Meskipun Sri Sultan Hamengkubuwono 1 sudah menjadi raja, ia tetap menghormati Kyai Muhammad Faqih sebagai gurunya. Bahkan, nasihat-nasihat Sang Kyai banyak dipakai oleh Sultan dalam menata Kerajaan Yogyakarta, terutama dalam urusan keagamaan. 

Sri Sultan Hamengkubuwono 1 kemudian mengangkat beberapa tokoh agama sebagai perwakilan Kesultanan Yogyakarta. Tokoh-tokoh tersebut dikenal sebagai patok negoro dan mereka ditempatkan di beberapa daerah seperti Plosokuning, Babadan, Gedong Kuning, Ringinsari, Demak Ijo, Klegum, Godean, dan Jumeng.

Masjid Wonokromo dan Kyai Muhammad Faqih

Setiap patok negoro membangun masjid yang sering disebut sebagai masjid pathok negoro. Nah, di Desa Ketonggo, Sri Sultan Hamengkubuwono 1 memberikan tanah perdikan kepada Kyai Muhammad Faqih. Tanah ini terletak di selatan Desa Ketonggo dan bernama Alas Awar-Awar. Di tanah inilah, Kyai Muhammad Faqih kemudian mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Masjid Taqwa. Tapi nama masjid ini juga dikenal dengan nama masjid Wonokromo. 

Kenapa? Karena Sri Sultan Hamengkubuwono 1 memberikan nama "Wonokromo" yang berarti "supaya benar-benar Mulia" untuk daerah tersebut. Seiring berjalannya waktu, nama itu berubah menjadi Wonokromo, dan masjid yang didirikan oleh Kyai Muhammad Faqih pun terkenal dengan nama Masjid Wonokromo.

Masjid Wonokromo ini terletak di Desa Wonokromo, yang sekarang termasuk dalam Kecamatan Pleret, kabupaten Bantul. Masjid ini semakin megah setelah melalui beberapa kali renovasi. Ada dua versi mengenai waktu pembangunan Masjid Taqwa atau Wonokromo ini. 

Versi pertama mengatakan bahwa masjid ini didirikan pada tahun 1755, yang bertepatan dengan berdirinya Kesultanan Yogyakarta dan naik tahtanya Sri Sultan Hamengkubuwono 1. Pendapat ini didasarkan pada prasasti yang pernah ada di masjid dengan redaksi "Nyoto Luhur pandito Ratu". 

Namun, ada keraguan mengenai pendapat ini karena masjid Wonokromo termasuk dalam masjid pathok negoro, dan umumnya pembangunan masjid-masjid pathok negoro dilakukan setelah pembangunan Masjid Gede Kauman pada tahun 1773.

Masjid Wonokromo ini memiliki bangunan yang luas dengan ukuran 750 meter persegi dan berdiri di atas tanah seluas 5000 meter persegi. Masjid ini menjadi salah satu tonggak sejarah perjalanan Keraton Kesultanan Yogyakarta.

Penutup

Itulah kisah menarik tentang terungkapnya tabir Sultan HB I dan sejarah Masjid Pathok Negoro. Cerita ini memberikan kita gambaran tentang hubungan antara Sri Sultan Hamengkubuwono 1 dan Kyai Muhammad Faqih, serta bagaimana masjid-masjid patok negoro, termasuk Masjid Wonokromo, akhirnya muncul di Yogyakarta. Semoga artikel ini bermanfaat dan menambah pengetahuan kita tentang sejarah yang terkait dengan daerah kita sendiri.

Posting Komentar untuk " Mengungkap Tabir Sultan Hamengkubuwono I dan Sejarah Masjid Pathok Negoro"