Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Posmodernisme dan Filsafat Budaya

Posmodernisme dan Filsafat Budaya
credit:instagram@habibie_bukuku_

Untuk masyarakat Indonesia istilah postmodern masih terasa asing terdengar ditelinga kita. Kita hanya mengenali istilah "ini zaman kekinian" kata orang Indonesia walaupun mereka tidak paham dengan apa itu arti kekinian.

Yang kita ketahui adalah jika zaman kekinian itu adalah zaman hebat dan canggih. Semua sudah memakai mesin dengan teknologi tinggi dan mutakhir.

Tahukan Anda jika kita telah hidup, jauh melebihi zaman kekinian. Zaman kekinian itu telah berakhir semenjak 100 tahun lalu. Zaman yang dikatan kekinian adalah zaman saat berkembang cepatnya ilmu dan pengetahuan ketika zaman Renaissance pada abad ke-15 di benua Eropa.

Ranaisance dipandang sebagai permulaan zaman kekinian. Renaisance bisa disimpulkan sebagai lahirnya kembali jiwa atau semangat baru dari manusia sesudah terbelenggu dan diliputi psikis  pada era abad pertengahan.

Di zaman renaissance beberapa orang mulai meninggalkan adat lama yang dipandang kolot dan melakukan penyempurnaan dengan mencari nilai-nilai baru sebagai usaha untuk menggedor paham-paham ortodok yang biasanya menampik pemikiran-pemikiran baru atau melawan kebebasan berpikir.

Salah satu figur yang punya pengaruh pada zaman ini ialah Immanuel Kant dan Herbert Marcuse yang menjelaskan jika kebebasan itu harus diperjuangkan walaupun pada akhirnya manusia akan terbelenggu karena di bumi ini umum terjadi pertentangan dan kemelut di antara kebebasan dan ilmu pengetahuan.

Herbert Marcuse memvisualisasikan lingkaran hidup manusia yang pada akhirnya tetap terkurung oleh kemajuan teknologi karena berkat teknologi manusia bisa mengontrol alam.

Teknologi itu bisa menjamin kehidupan manusia. Namun manusia dalam memanfaatkan peluang itu pada akhirnya masih tetap menderita, terbelenggu, dan tidak bebas. Bersamaan dengan perubahan zaman dan makin bebasnya karena itu selalu terjadi kegelisahan-kegelisahan yang memunculkan pertimbangan baru.

Salah satu figur pencetus zaman posmodern adalah Nietzshe dan Heidegger. Mereka melemparkan kritiknya jika zaman kekinian sudah kehilangan kritisnya, toh filsafat kekinian rupanya tidak sanggup menjawab semua tuntutan zaman. Kekinian hanya alat untuk memisah-misahkan pertimbangan dan budaya.

Di akhir abad ke-19 semua perubahan pertimbangan sebetulnya sudah berhenti. Sama seperti yang disebutkan Nietzsche dalam buku yang dengan judul the Genology of morals, "Sekarang kita tidak menyaksikan kembali suatu hal yang akan tumbuh besar, kebalikannya, kita berprasangka buruk jika segala hal terus akan melorot turun."

Ini bisa tergambar oleh kita, jika kita tidak lagi menyaksikan penemuan-penemuan baru di bagian sains yang paling fenomenal seperti pada zaman kekinian (. 

Manusia-manusia saat ini hanya meneruskan perubahan yang sudah hebat semenjak zaman dahulu. Tidak ada tokoh baru yang membuat mesin baru, seperti Thomas Lalai Edison, Aleksander Grahambel, James Watt, dan sebagainya.

Apa yang dikatakan sebagai zaman posmodern, rekomendasi dan realita bersama musnah serta artinya ditempatkan pada satu permasalahan. 

Kita didiamkan di dalam permainan random penanda-penanda yang kita sebutkan posmodernisme yang tidak lagi menghasilkan karya yang bersejarah sama seperti dalam modernisme, namun secara tidak berhenti-hentinya mengaduk-ngaduk fragmen-fragmen yang telah ada.

Kemungkinan kita tidak pernah sadar jika posmodermisme sudah masuk pada diri kita. Dalam budaya posmodern semua sudah membaur menjadi satu. Di antara relalitas dan idealitas tidak mempunyai batasan.

Contoh yang bisa kita sikapi adalah representasi media sudah menutupi bukti hingga kita tidak paham yang mana betul dan yang mana salah, yang mana buatan dan yang mana yang riil (nyata). 

Bahkan juga, dogma juga jadi arti konotatif yang melingkupi sehari-hari kita. Misalkan, beberapa acara tv yang menganggap dogma itu betul-betul ada.

Banyak kreasi seni yang menciptakan beberapa bentuk yang hyperreal dan kepalsuan dibungkus sebagai kebenaran. Dan teori semiotika jadi alat untuk berdusta. Karena itu bila demikian dimanakan relalitas pada zaman ini jika dia benar ada.

Kita saat ini berada pada sebuah zaman saat segala hal sudah bersatu dan kita tidak punya keingintahuan untuk mencari sebuah kebenaran dunia yang nyata. Itulah posmodermisme, sebuah kanjian budaya yang teramat nyata sekaligus demikian abstrak.

Posmodern disebutkan nyata karena menyangkut apa saja yang ada di dunia sekarang ini. Posmodern disebutkan abstrak karena kebudayaan sudah berkembang demikian sulit, skeptis dan penuh pro-kontra. 

Siapa saja yang mengikuti kebudayaan posmo akan menyaksikan banyak kepalsuan dibandingkan dengan kenyataan.

Posmodernisme sudah memunculkan beragam klaim atau pernyataan yang berambisi subtansif-objektif atau empiris-positivitistik. Seperti yang sudah dilakukan malaysia pada beberapa budaya indonesia.

Sebetulnya kita tak perlu geram dengan tingkah laku malaysia karena kebudayaan dareah itu berkembang bukan secara diplomatis, tetapi secara sosialis. Budaya wilayah berkembang dan tumbuh dalam warga yang egaliter selanjutnya secara arbitrer mereka terima budaya tiap kebudayaan yang masuk.

Bila selanjutnya ada budaya yang sama, ini suatu hal yang lumrah karena zaman dahulu awalnya tercipta sebuah negara malaysia dan indonesia sebagai satu teritori Nusantara.

Bila selanjutnya malaysia mengaku-ngaku kebudayaan kita sebagai kebudayaannya, kita tidak harus mengaku-ngaku jika itu kebudayan kita. Ditambah dengan selekasnya mempopulerkan ke dunia internasional dan mengajak perang Malaysia, toh kasus budaya dapat didelesaikan dengan jalan politis.

Posmodernisme menyebabkan segala hal menjadi kacau-balau dalam melihat dan memandang kebenaran nyata. Mari kita berpikiran lebih obyektif dengan melihat beragam pemikiran dalam menanggapi permasalahan. Supaya ringkasan yang bisa kita ambil adalah ringkasan yang paling mendekati kebenaran.

Berbicara filsafat budaya, khususnya budaya posmo memang bagus sekali kita ulas dalam beragam pemikiran dan teori. Rasanya, kita tidak akan kekurangan bahan untuk mengulas budaya ini.

Posting Komentar untuk " Posmodernisme dan Filsafat Budaya"