Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Seni Dalam Masyarakat Indonesia

Seni Dalam Masyarakat Indonesia

Desa merupakan suatu tempat yang subur bagi pertumbuhan kesenian tradisional pada masa lalu, yang sudah barang tentu didukung oleh faktor-faktor internal dan seksternal. Secara internal, masyarakat merupakan pendukung dan sekaligus penyangga adat, maka secara khusus tradisi leluhur menjadi tanggung jawab moral yang tidak dapat diabaikan. 

Faktor eksternal lebih disebabkan oleh kondisi lingkungan yang kondusif, termasuk keberadaan ruang dan waktu, yaitu yang setidaknya belum memaksa manusia menahami secara matematis. Tetapi lingkungan masih merupakan bagian yang integral, yaitu menempatkan lingkungan sebagai suatu dinamika yang bersifat mistis.

Desa pada waktu yang lampau merupakan sentral dari budaya rakyat sebagai lawan dari budaya kota atau pusat pemerintahan, di mana lazim disebut negara (Kerajaan). Terminologi kesenian desa atau tradisional, lebih dikarenakan oleh terdefinisikannya : Desa itu sebagai sebuah tempat yang bersifat maginal, terpencil, dan irasional. 

Sehingga masyarakat kota atau negara (kerajaan) memandang sebagai tempat yang berada dibawah, atau bawahan. Atau dengan istilah Pigeoud sebagai daerah Swapraja. Sungguhpun keberadaan daerah ini sejak dahulu mempunyai perkembangan yang dinamis, hidup dan alamiah.

Masyarakat desa mempunyai seperangkat cara dan hukum-hukum yang ditegakkan para pamong-pamong desanya secara tradisional. Hubungannya dengan kota (kerajaan) didasarkan perjanjian diplomatis. Mengalirnya mayarakat desa ke kota didasarkan atas hasrat mengabdikan diri pada raja. Selain hubungan diplomatis ternyata ada hubungan moral.

Desa ternyata mempunyai tata cara sesuai dengan tradisi sendiri yang jauh berbeda dengan tata cara kota yang identik dengan kerajaan bukan kiblat. Masyarakat desa tidak berani meniru segala yang ada dikota. Dengan demikian tradisi desa dengan semua yang tersimpan di sana terus menusuri alur sendiri. 

Pada jaman penjajahan Belanda seiring perkembangan budaya Islam, terjadi suatu perubahan dalam bentuk-bentuk kasenian tradisional. Kalau kita mengenali tari tradisional jenis selawatan yang berkembang di daerah pesisiran, dalam tarian tersebut tampak menonjol sekali unsur ke Islamannya serta pengaruhnya terhadap budaya Barat, khusunya pada kostum. 

Bukan dengan desain model “ kompeni “ merupakan mode yang tetap abadi, ditambah dengan kacamata hitam yang manis. Kaus tangan dan kaus kaki suatu bukti yang jelas dari kesenian rakyat tersebut butuh penyegaran. Dari sini dapat disimak adanya pengaruh dari luar yang secara sembarangan diterima.

Sungguhpun masyarakat kota secara diam-diam telah banyak mencuri, mengadopsi, dan mengangkat kesenian yang tumbuh di desa sebagai seni keraton (kota) yang adiluhung. Kondisi ini yang menjadi sebuah titik tolak yang menyebabkan dinamika antara desa – kota. 

Desa mulai mencari makna atas legitimasi desa, sementara kota tetap memarginalkan desa dengan berbagai pridikat; Ndeso, bodoh, dekil, norak, dan predikat yang tidak menyenangkan.

Masyarakat Urban

Perkembangan kota bersama sejuta pembangunan-pembangunan yang dilakukan, secara tiba-tiba menyedot sejumlah tenaga yang cukup besar seperti : Kuli pengeruk dan pengangkut tanah, tukang serta kuli batu, pemecah dan pengangkut batu kali, dan buruh kasar lainnya. 

Kedatangan masyarakat desa ke kota sudah tidak seperti dulu lagi yang sebatas pada bulan-bulan tertentu setelah mereka merampungkan musim tanam, sewaktu menunggu musim panen secara serentak tenaga mereka banyak yang tidak punya aktivitas, atau menjelang musim kemarau panjang yang banyak mengakibatkan lahan pertanian mereka tidak bisa digarap.

Mengalirnya masyarakat desa pada bentuk yang permanen merupakan bentuk yang berikutnya, setelah berbagai industri sudah rampung digarap.

Industri pada tahap awal banyak menggunakan tenaga manual yang cukup banyak jumlahnya, maka industri tersebut banyak menyerap tenaga wanita. Tetapi sepuluh tahun kemudian tenaga tersebut berangsur-angsur mulai dikurangi karena alih teknologi mulai dilaksanakan, serta awal suatu era komputerisasi.

Pada fase ini tampak suatu masalah yang besar melanda kaum urban, banyak pencari kerja yang terus mengalir ke kota tetapi lapangan kerja semakin sempit, demikian pula kondisi desa yang sudah berubah wajah seperti kota dalam bentuk yang sederhana tampak kehilangan identitas ke tradisionalannya.

Segala kehidupan yang melingkupi masyarakat desa sudah mencerminkan suatu budaya kota. Terlebih terciptanya suatu desa kota, yaitu suatu pemukiman yang berada di pinggiran kota yang sudah sulit untuk diidentivikasikan. Daerah baru ini yang rupanya sudah tidak lagi mengenal budaya desa dan sejumlah tata cara yang bersifat tradisional.

Setelah beberapa waktu berkembang, desa dan desa kota menjadi suatu daerah yang punya ciri khas yang lain, demikian pula membentuk selera bagi mereka. Sedangkan kesenian tradisional mulai dikikis padahal fase tersebut adalah dalam fase alih generasi. 

Maka tidak mengherankan kalau kesenian tradisional yang dimiliki sudah tidak mampu lagi dihidupkan. Pangaruh budaya luar khususnya cara hidup orang kota tidak lagi berpengaruh terhadap tradisi nenek moyangnya tetapi menggantikannya dengan yang lain. 

Minuman keras yang menjadi kegemaran remaja, budaya interkom mulai melanda. Sedangkan pusat-pusat kesenian yang pada mulanya berada dibalai desa secara berangsur-angsur pindah pada studio-studio privat yang diidentivikasikan sebagai sanggar-sanggar budaya.

DINAMIKA LOKAL

Sungguhpun pada saat ini terminologi desa-kota telah mengalami redivinitif, dimana munculnya daerah antara desa – kota, baik dipandang dari sudut pemekaran kota yang melanda desa, atau penciutan desa yang menjadi kota.

Kedua hal tersebut secara sosiologis telah merubah sikap masyarkat, bahkan sikap masyarakat terhadap kehadiran kesenian, baik kesenian kota pada waktu lampau (kerajaan) yang telah dimaknai sebagai seni kelasik, dan juga seni desa yang telah dimaknai sebagai seni rakyat. 

Tampak hal tersebut telah menapakan perubahan cara memahami, bahkan cara mengapresiasi. Hal ini bukan semata-mata karena adanya penolakan, dan atau kehadursan untuk menerima bentuk-bentuk kesenian masa lalu. 

Tetapi kondisi ruang dan waktu telah mengkondisikan cara mereka menanggapi kesenian, termasuk bagaimana menanggapi ekspresi kesenian yang tumbuh di wilayah yang baru.

Persoalan yang selalu meresahkan seniman, yang sekarang telah menampakan kegiatan berkeseniannya sebagai profesi. Mereka merasakan tidak memiliki ruang komunikasi yang bertendensi komersial, sungguhpun hal yang direshkan seringkali tidak selalu dapat ditangkap secara jelas. 

Termasuk memahami apresiasi masyarakat desa – kota, tetapi hal tersebut menunjukan suatu tanda-tanda yang sebenarnnya telah ditangkap dalam kondisi bawah sadar; baik seniman maupun masyarakat. 

Setidaknya kondisi kegelisahan yang telah meisahkan dikotomi ruang dan waktu, sehingga merasakan adanya sebuah sekat yang sangat tebal antara desa-kota.

Gejolak ini menunjukan sebuah dinamika yang mendesak ekspresi dan apresiasi yaitu mulai mencarikan elemen-elemen kesenian, dan mekolaborasikan berbagai bentuk, warna, dan juga elemen-elemen simbolik yang pernah mereka miliki. 

Berbagai atribut yang semula menjadi lambang status dari elite desa seperti hiasa pintu (gebyok), keris hingga akik, serta berbagai barang dan juga citarasa yang secara tidak disadari bertukar dan berbawur dan mengabaikan bentuk, rasa dan cara. 

Hal ini tampak sekali dan nyata dari ekspresi para seniman seni pertunjukan dan juga para penikmatnya, dalam menerima bentuk kolaborasi yang disebut dengan Campursari. Ini merupakan sebuah fenomena kesenian yang hadir atas dinamika terminologi baru dari desa – kota.

Posting Komentar untuk " Seni Dalam Masyarakat Indonesia"